Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pesta Kebebasan di Penjara

Dalam satu tahun terakhir, sudah terjadi 27 pembobolan LP. Pekan lalu, LP Gunungsari dijebol untuk kedua kali. Kenapa pemerintah tidak waspada?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EUFORIA kebebasan—apa pun maknanya—telah merebak di mana-mana dan bahkan mengilhami kaum narapidana. Para penghuni lembaga pemasyarakatan (LP) itu rupanya sedemikian bergairah mencari kebebasan, sampai-sampai penjebolan penjara dianggap peristiwa biasa. Disebut demikian, tak lain karena pendobrakan di LP Gunungsari, Makassar, Ahad pekan lalu, merupakan pendobrakan yang kedua kali. Penjara terbesar di Sulawesi Selatan itu dibobol, dan 54 narapidana sempat melarikan diri. Sebelum perusakan terjadi pada Sabtu siang, tanda-tanda pemberontakan sudah terlihat. Dikoordinasi narapidana Tata Hamid, orang-orang hukuman berunjuk rasa. Mereka memprotes petugas yang menempelkan pengumuman tentang narapidana yang tidak disiplin di dinding-dinding. Demonstrasi ini reda setelah polisi berdatangan. Tapi, beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 20.00 malam, aksi itu berulang. Kali ini mereka menuntut petugas yang tidak adil. Soalnya, ada narapidana yang dibolehkan bekerja di luar tembok penjara, sedangkan lainnya tidak. ''Saya, misalnya, mau bekerja di pabrik rotan tak dikabulkan," gerutu Markus Luwu, yang belakangan tertembak petugas sewaktu melarikan diri. Tak mudah bagi pihak petugas untuk meredam ''euforia penjara" itu. Maklum, jumlah petugas ditambah polisi tak sebanding dengan jumlah pengunjuk rasa. Tak urung, penghuni penjara akhirnya bersedia menghentikan aksi mereka, tapi dengan syarat sel mereka tak digembok. Dan petugas memenuhi permintaan itu. Syarat itu ternyata siasat belaka. Menjelang subuh, lampu-lampu mendadak padam. Dalam selubung kegelapan, narapidana berebut menuju jendela kantor koperasi yang terletak dalam bangunan penjara. Jendela yang rusak akibat pembobolan pada 17 Agustus 1999 itu memang cuma bertutup seng sehingga gampang dijebol. Jendela itu berbatasan langsung dengan dunia luar. Maka, 54 narapidana langsung melonjak kegirangan menyongsong kebebasan. Sebagian dari mereka tampak membawa senjata tajam. Menyaksikan itu, petugas di menara jaga lantas melepaskan tembakan. Lima narapidana tersambar peluru. Lima lainnya luka parah karena terjatuh. Petugas dan polisi mengejar para buron sampai ke Kabupaten Gowa. Empat narapidana tertembak lagi. Tiga belas lainnya bisa dibekuk. Tapi masih ada 27 orang, termasuk Tata, yang sampai kini masih buron. Diduga, pembobolan itu akibat longgarnya pengawasan LP. Petugas juga dianggap tak sigap meminta tambahan polisi ketika aksi unjuk rasa semakin menjadi-jadi. Namun, menurut sebuah sumber, sikap petugas bukannya tanpa sebab. Rupanya mereka memendam kekesalan gara-gara sanksi akibat kasus pembobolan 17 Agustus 1999 dinilai tak adil. Kasus pembobolan yang terjadi hanya beberapa jam setelah pemerintah memberikan remisi kepada 881 narapidana itu diawali dengan pembakaran beberapa sel penjara. Akibatnya, sekitar 100 narapidana kabur. Jebolnya LP Gunungsari yang kedua kali ini jelas memperpanjang daftar kasus pembobolan LP. Dalam setahun ini tercatat setidaknya terjadi 27 kasus pembobolan LP, dari Aceh sampai Irianjaya. Itu berarti dalam sebulan terjadi lebih dari dua kali pembobolan. Ada penjebolan yang diawali dengan aksi bakar seperti terjadi di LP Gunungsari, LP Muara (Padang), LP Kerobokan (Denpasar), dan LP Kendari. Dalam berbagai kejadian itu, orang-orang hukuman lebih dulu menyerang petugas, sebelum mengambil langkah seribu. Bahkan, di LP Muara, mereka memiliki senjata tajam, menenggak minuman keras, dan menggunakan telepon genggam. Tapi ada pula pembobolan yang didahului serangan dari luar penjara. Hal itu terjadi di LP Jantho dan LP Banda-aceh. Juga di LP Singaraja, Bali, dan Rumah Tahanan Surakarta, ketika massa mengamuk seiring dengan gagalnya Megawati menjadi presiden, Oktober 1999. Di Aceh, dari 20 LP yang ada, tinggal enam LP yang belum dijebol. Bahkan, LP Banda-aceh dan Lhokseumawe sudah dua kali bobol. Boleh jadi situasi politik dan tingginya tuntutan kemerdekaan di Tanah Rencong ikut memicu penjebolan itu. Namun, di berbagai daerah lain pun, perubahan situasi politik yang diawali dengan gaung reformasi tampaknya juga punya andil dalam pembobolan LP. Apalagi, banyak tahanan politik yang dibebaskan pemerintah. Kenyataan itu agaknya semakin mempertebal hasrat orang-orang hukuman untuk cepat-cepat menghirup udara kebebasan. Seharusnya, penjebolan penjara tidak dianggap sepele oleh pemerintah. Gonjang-ganjing politik memang masih sulit diredakan, tapi bibit-bibit pemberontakan—di penjara sekalipun—seharusnya diwaspadai. Di satu sisi, narapidana buron tentu berpeluang melakukan berbagai kejahatan. Di sisi lain, ketidakstabilan politik semakin menjauhkan bangsa ini dari tujuan reformasi. Apakah ada rekayasa pihak luar atau tidak, pendobrakan penjara hendaknya tidak dibiarkan terjadi lagi. Hp. S., Tomi Lebang (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus