CHARLIE Laiken penasaran. Ia merasa tak ada kerusakan pada telinganya. Dari jarak 100 meter ia bisa mendengar namanya dipanggil. Di kereta api yang riuh dengan suara gemeletak roda menghantam rel, ia juga bisa menangkap dengan jelas ucapan-ucapan lawan bicaranya. Bahkan ketika mobilnya berhenti menunggu tanda jalan lampu lalu lintas, ia bisa menguping pembicaraan di mobil sebelah. Tapi aneh. Di rumah, di tengah susana yang sangat hening pun, Charlie tak mampu mendengar suara istrinya. Dalam keadaan tertentu, tak sepotong kata pun ucapan istrinya bisa ia tangkap. Charlie akhirnya memutuskan untuk membuat semacam penelitian. Selama satu tahun ia berkeliling di lingkungan Kota New York mencari suami-suami yang punya kelainan pendengaran aneh itu. Hasilnya, "budek bini" itu memang sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal. Dua pekan lalu, Charlie menurunkan hasil penelitiannya di New York Times. Ia memang kolumnis harian itu. "Kehilangan pendengaran semacam ini adalah kelainan yang tidak terbatas pada pada suatu grup etnis," tulis Charlie. Ia beranggapan, dalam kehidupan modern, gejala ini sebenarnya meluas di seluruh dunia, tapi tak ada yang memperhatikannya. Selain karena suami-suami umumnya malu mengutarakannya, kebanyakan kehilangan pendengaran semacam itu tak sampai parah. Hilang-hilang timbul, hanya pada waktu-waktu tertentu suara istri lenyap dari pendengaran. Dari penelitian amatir itu, Charlie menemukan bahwa dalam beberapa kasus, tuli sebagian itu mengalami semacam komplikasi. Dibarengi buta sebagian: buta lemari es, buta kaus kaki, bahkan buta seluruh isi rumah. Artinya, suami tak bisa melihat (ah mungkin tak bisa menemukan?) sesuatu yang sebenarnya ada dekat di ujung hidungnya. Kehilangan daya ingat, pendengaran maupun penglihatan, yang serba khusus untuk Istri itu, kata Charlie, muncul terutama pada sore hari sepulang kerja, malam hari ketika menonton televisi, pagi hari ketika sarapan dan menjelang berangkat kerja. "Justru di saat-saat itu istri biasanya melantunkan pesan atau mengutarakan isi hati," tulis Charlie. Budek bini penemuan Charlie itu memang masih perlu diteliti oleh para ahli yang lebih berkompeten. Tapi nampaknya memang dekat dengan gejala psikologis yang dikenal sebagai "mekanisme bertahan", atau defence mechanism: reaksi kejiwaan kita, di bawah sadar, untuk melawan kondisi histeris, frustrasi, konflik, dan hal-hal yang sangat tidak disukai. Bentuk paling umum dari mekanisme pertahanan kejiwaan ini adalah menyangkal kenyataan. Contoh: seorang penderita kanker, yang sampai pada ketakutan paling kritis bahwa ia tak bisa sembuh, tiba-tiba menunjukkan sikap yang optimistis. Harapan atau keyakinan bisa sembuh ini ditunjang oleh sikapnya yang menyangkal kenyataan keadaan tubuhnya sendiri. Pada saat-saat inilah penderita kanker sering kali tampak segar dan mengaku tak merasakan sakit yang sebenarnya sedang menggigit. Dorongan psikologis untuk mempertahankan diri ini tidak senantiasa mempunyai dampak positif, misalnya pertahanan mental yang berhasil dalam mengatasi penderitaan. Dorongan kuat yang tampil pada kondisi shock, dalam psikiatri sering ditemukan menyerang sistem saraf sensorik (yang mendasari kepekaan) dan motorik (jaringan saraf yang bertanggung jawab pada gerak). Dalam buku teks psikologi dikenal beberapa cerita populer. Seorang gadis yang sangat kagum pada sifat dan kepribadian ayahnya bisa mengalami kebutaan total mendadak ketika melihat ayahnya melakukan suatu tindakan tak senonoh. Pada pemeriksaan medis terungkap tak ada gangguan anatomis pada kepekaan pancaindranya. Contoh lain, seorang istri yang tiba-tiba terganggu sistem saraf motoriknya dan lumpuh tanpa sebab-sebab medis. Pangkalnya, frustrasi menghadapi kenyataan suaminya yang lebih suka menganggur sementara ia sendiri harus membanting tulang menghidupi rumah tangga. Pada defence mechanisme ini, ada sikap reaktif, semacam keinginan untuk menghukum sang suami: kerja membanting tulang akan terputus begitu kedua kakinya lumpuh. Pertahanan kejiwaan menghadapi keguncangan memiliki sangat banyak bentuk. Tuli sebagian, maupun tuli total, sebagai akibat pertahanan kejiwaan, cukup dikenal dalam ilmu kedokteran jiwa. Tapi itu spesifik menghadapi suara istri -- seperti yang ditemukan Charlie Laiken -- sejauh ini memang belum tercatat. Walau, secara teoretis, bisa dipahami: suami menyensor suara istri karena tak menyukai omelan. Charlie sendiri tidak mendasarkan kesimpulan penelitiannya pada teori-teori psikologi. Dalam eseinya ia mengutip "Teori Keledai" yang dikemukakan pemikir abad ke 18, Festus Darwin. Menurut teori ini, seorang suami dalam menjalin komunikasi dengan istrinya mengikuti pola sifat keledai. Artinya, pendengarannya baru aktif setelah perhatiannya tergugah. Pada keledai pendengaran yang sangat tajam baru bekerja umumnya setelah kejadian ini: pantatnya disepak. Suatu gejala umum dalam perkawinan modern, tulis Charlie, bahwa suami -- seperti keledai -- tak mau mendengarkan pendapat istrinya. Karena itu, untuk menjalin komunikasi yang baik suami harus "diprogram", dalam arti diminta berjanji atau dipikat perhatiannya untuk mendengar pendapat -- dan suara -- istrinya. Tanpa "program" itu suami tak pernah sesungguhnya mendengar arti kata-kata istrinya. Lama-kelamaan "suara tanpa isi" itu jadi bunyi yang membosankan dan itulah yang dihilangkan tanpa sadar dari pendengaran. Charlie membuktikan budek bini bisa diatasi dengan menyusun program baru. Pertama-tama dengan mengatasi kebosanan lewat mengubah elemen-elemen bunyi pada suara istri. Dengan bantuan Institut Suara Lauren Bacall, New York, Charli mengubah suara istrinya. Dan, believe it or not, pendengarannya pun pulih. Dari jarak 100 meter ia bisa mendengar istrinya memanggil. Jim Supangkat, Indrayati, Bunga (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini