Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru pada Senin, 16 Desember 2024 di Istana Negara Jakarta. Pimpinan yang dilantik adalah Ketua KPK Komisaris Jenderal Setyo Budiyanto, serta Wakil Ketua: Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono. Sedangkan lima Dewan Pengawas atau Dewas KPK meliputi Gusrizal sebagai ketua, serta empat wakilnya yaitu Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Sumpeno, dan Wisnu Baroto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu pelantikan itu empat hari lebih cepat dari perkiraan. Sebab, masa jabatan pimpinan dan dewan pengawas lembaga antirasuah periode 2019-2024 baru habis pada Jumat, 20 Desember. Kendati dilantik lebih cepat, serah terima jabatan bakal dilakukan tepat di hari habisnya masa jabatan Pimpinan dan Dewas KPK lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan para pengurus baru awalnya mempersiapkan diri untuk pelantikan pada hari ini, 20 Desember 2024. Namun, sehari sebelum pelantikan, pihaknya mendapatkan kabar Presiden akan ada agenda kunjungan resmi kenegaraan. Mereka pun diminta mempersiapkan diri untuk dilantik pada Senin, 16 Desember 2024. "Kami juga enggak ada persiapan," ujar Setyo saat ditemui Tempo di Gedung KPK C1, Kuningan, Jakarta Selatan pada Rabu, 18 Desember 2024.
Seusai pelantikan, Setyo mengatakan tidak mendapatkan arahan khusus dari Prabowo. Mereka tidak sempat mengobrol. Pada hari itu, memang ada agenda pelantikan sejumlah pejabat negara lainnya. "Tapi kalau menurut saya, di beberapa kali kegiatan, Presiden sering memberikan arahan," kata dia. Setyo mencontohkan acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia atau Hakordia 2024 yang digelar KPK pada Senin, 9 Desember lalu. Pada acara itu, Prabowo diwakili oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Kemananan Budi Gunawan.
Kendati tak datang secara langsung, menurut Setyo, yang penting esensinya tersampaikan. Khususnya soal ketegasan pemberantasan korupsi, masalah pengadaan barang dan jasa, hingga mengurangi pemborosan anggaran. "Menurut saya, itu sudah sebuah arahan dan perintah yang harus kami jabarkan dan kami laksanakan dalam tugas kami di KPK," ucap Setyo.
Dalam 100 hari pertama, mantan Direktur Penyidikan KPK ini mengkonsolidasikan semua pimpinan. Sebab bila tidak, tiap pimpinan akan berjalan masing-masing. Imbasnya, menurut Setyo, dapat menyebabkan bias. Ini lantaran kebijakan yang dijabarkan masing-masing pimpinan. "Apa pun yang terjadi, saya berharap kami berlima solid, ini modal dasar buat organisasi kami," tutur Setyo.
Setelah itu, dia mengatakan akan mengkonsolidasikan para pegawai. Dia pun menyoroti permasalahan internal, seperti ketidakpercayaan. Oleh sebab itu, perlu dibangun pondasi untuk membangun kepercayaan antara pimpinan dan pegawai KPK.
Setyo pun tak menampik kadang pimpinan dan pegawai KPK tak seiya sekata dalam penanganan perkara. Tempo juga beberapa kali menulis ada semacam resistensi dari pegawai saat pimpinan menerbitkan surat perintah penyidikan. Namun, hal tersebut harus diteliti lebih jauh, misalnya mengapa pimpinan mengatakan tak cukup bukti dan pegawai mengarakan sudah cukup. "Kalau berbeda harus dicari titik tengahnya," tutur Setyo. "Pimpinan tidak boleh merasa jadi pimpinan kemudian kekuasaan full, sementara pegawai di bawah yang menangani lebih tahu."
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto sepakat perlu mengkonsolidasikan kelima pimpinan untuk menyepakati apa yang inginkan masyarakat. "Makanya konsep kerja Gatot Kaca itu perlu," tutur dia saat ditemui Tempo di Gedung C1, Jakarta Selatan, Rabu.
Fitroh menjelaskan, GA berarti gerak cepat, TOT adalah totalitas, K merupakan komprehensif, A itu adaptif, C artinya cerdas, dan A untuk amanah. Dia menuturkan, Gatot Kaca harus mesra dengan Pandawa Lima. Adapun yang dia ibaratkan dengan Pandawa Lima adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Jadi mesra itu juga punya arti," ucap jaksa ini. Dia menjelaskan, ME berarti dalam menindak dan mencegah korupsi harus S yaitu sinergi, tapi juga harus R yakni recovery asset atau pengembalian aset secara A atau akuntabel.
Fitroh dan Setyo juga sepakat ihwal membangun kesadaran nasional terhadap korupsi. Nantinya seluruh elemen bangsa akan terlibat, mulai dari petani hingga wartawan. "Itu lebih keren menurut kami," tutur Fitroh. "Tidak terjebak pada memberantas korupsi, nindak orang."
Kendati pemberantasan dan penindakan juga penting, Fitroh menilai sesungguhnya tujuan penegakan hukum adalah mendukung tujuan bernegara. Sehingga, tujuannya kepastian dan kemanfaatan.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak juga bicara hal senada. "Semua Pimpinan KPK adalah satu kesatuan," tutur dia saat dihubungi Tempo, 13 Desember 2024. Sebagai pimpinan petahana, dia menceritakan dinamika saat di kepengurusan sebelumnya. Tanak, sapaannya, mengatakan ada dua orang yang pernah menjadi ketua tapi mengundurkan diri. Sehingga diangkatlah seorang ketua sementara.
"Dalam pelaksanaan tugas di KPK, ketua selalu merasa yang paling berwenang dan paling menentuka dalam mengambil keputusan," tutur Tanak. Ini termasuk dalam menetapkan sebuah perkara layak disebut tindak pidana korupsi atau tidak. Menurut dia, idealnya lima Pimpinan KPK memiliki kedudukan yang sama dan tidak ada yang menjadi ketua atau wakil.
Setyo juga menanggapi upaya cawe-cawe pihak luar kepada insan KPK terhadap penanganan perkara tertentu. Dia tak berkomentar banyak, tapi memastikan akan belajar dari pimpinan sebelumnya. "Agar kami tidak terperosok juga."
Sedangkan Fitroh menilai, dalam kehidupan ini selain ada area idealis, ada juga wilayah realistis. Dia mencontohkan, realitanya semua orang tahu, untuk menjadi pejabat pasti menggunakan money politics atau politik uang. Belum lagi, dia menyebut sistem politik, hukum, dan budaya yang masih belum beres. Apabila dilihat dari sisi idealis, semua pasti salah.
"Makanya saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Pak Prabowo 'kita harus akui lah, kita itu masih begini', itu realitas kan?" ucap Fitroh.
Lebih lanjut, dia menyoroti aktor dengan kekuatan politik atau ekonomi yang bisa mempengaruhi perkara. "Tapi secara norma kita belum mengatur, jadi enggak bisa diusut."
Padahal, trading in influence atau perdagangan pengaruh telah masuk dalam delik korupsi pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC). Indonesia juga meratifikasi konvensi tersebut pada 2006 silam.
Selain itu, tantangan lainnya adalah menggenjot indeks persepsi korupsi (IPK). Transparency International mencatat IPK Indonesia melorot dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, berada di skor 40. Tiga tahun kemudian, skor IPK tersebut terjun menjadi 34. Angka tersebut tetap sama pada 2023, dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. "Jadi IPK itu, sekali lagi, selalu tembakannya ke kami," kata Setyo.
Setyo mengungkapkan sebenarnya indikator IPK ada banyak, sekitar delapan atau sembilan poin. Artinya, itu ditujukan kepada semua lembaga. Kendati demikian, dia mengakui kesannya indeks persepsi korupsi jeblok karena KPK. "Kami terima itu dengan lapang dada, dengan besar hati, kami terima," tutur Setyo.
Oleh sebab itu, salah satu tugas Pimpinan KPK baru adalah bersinergi dengan semua pihak. Misalnya, dengan kementerian maupun pemerintah daerah. Sebab, dia menilai, sekeras apapun usaha KPK, apabila instansi lainnya tidak berbuat apapun, maka tidak ada efeknya.
Setyo menengarai salah satu penyebab IPK turun dalam lima tahun terakhir adalah karena Covid-19. Begitu pandemi merebak, lanjur dia, pengadaan barang dan jasa yang tadinya aturannya ketat menjadi dibebaskan karena semua harus serba cepat. Dalam kondisi seperti itu, dia menduga beberapa pihak menabrak aturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
"Kondisi-kondisi seperti itu mungkin berdampak pada pascacovid ya, ada beberapa yang masih dilanggar," tutur Setyo. Oleh karena itu, dia berencana membicarakan sejumlah program dengan LKPP untuk mengatasi hal ini.
Lebih jauh, Fitroh memilih berpikir positif tatkala ditanya harapan di tengah berbagai isu yang menerpa KPK. "KPK masih bisa kami kembalikan marwahnya."
Kendati demikian, dia tak menampik ada penurunan maupun perubahan budaya karena revisi UU KPK. Tapi, mantan Direktur Penuntutan KPK ini meminta agar jangan terbelenggu dengan hal tersebut.
"Kewenangan tidak berubah, kita manfaatkan yang ada ini untuk memberikan kontribusi terbaik. Daripada kita ribut, enggak melakukan apa-apa. Ngapain?" tutur Fitroh.
Ketua Dewas KPK periode 2024-2029 Gusrizal meminta setiap insan Komisi Pemberantasan Korupsi agar senantiasa menjaga muruah lembaga antirasuah ini. Caranya, kata dia, dengan meningkatkan integritas dan menjaga kewibawaan lembaga mereka di mata masyarakat.
Dia mengatakan pengawasan oleh Dewan Pengawas akan berdampak terhadap Pegawai dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tentu, fungsi Dewas ini suatu kegiatan atau unit yang sangat tidak disenangi oleh seluruh insan atau seluruh struktur pegawai," kata Gusrizal dalam prosesi serah terima jabatan di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta Selatan pada Jumat, 20 Desember 2024.
Kendati begitu, dia menyebut tidak bertujuan untuk mencari masalah di KPK. "Tapi memperbaiki keadaan yang selama ini mungkin ada permasalahan, perlu dievaluasi," ujar mantan Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin ini.
Wakil Ketua Dewas KPK Sumpeno juga mengungkapkan urgensi Dewan Pengawas di lembaga antirasuah ini. Dia mengatakan tugas KPK sedemikian luas, hingga orang menyebutnya lembaga superbodi. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan supervisi. Kewenangan ini bahkan tidak dimiliki lembaga penegak hukum lainnya. Dengan kekuasaan yang luas, Sumpeno menilai KPK harus diawasi.
"Pepatah Jawa mengatakan 'kuoso iku nggendhong lali (pemegang kekuasaan itu sering lupa atau melupakan diri)," kata Sumpeno kepada Tempo. Dia mencontohkan, misalnya insan KPK yang menerima sogokan, bertemu pihak berperkara, dan sebagainya.
Menurut dia, di situlah peran Dewan Pengawas KPK. "Pokoknya Dewas harus mampu mengembalikan marwah KPK sebagai salah satu penegak hukum."
Kendati demikian, Sumpeno mengakui sejumlah pihak menyebut kewenangan Dewan Pengawas KPK sebagai macan ompong. "Ompong dan tidaknya dilihat dari sudut mana ia memandang," tutur dia.
Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta ini mengatakan, apabila Pimpinan KPK melanggar kode etik dan perilaku, Dewas KPK bisa menjatuhkan sanksi ringan, sedang, dan berat. Adapun sanksi berat itu berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan, serta dapat meminta Pimpinan KPK untuk mengundurkan diri.
"Bagi saya, kewenangan Dewas dalam menjatuhkan sanksi berat tersebut sudah cukup berat dibandingkan sebelum adanya Dewas KPK dimana sanksi-sanksi tersebut tidak pernah ada," ujar Sumpeno.
Dia mengibaratkan hubungan Dewas dan Pimpinan KPK seperti saudara kembar. Baju keduanya sama-sama bermerek KPK sehingga saling menghormati dan tidak saling mengancam. "Silakan pimpinan KPK menjalankan tugas sesuai kewenangannya, Dewas tidak akan intervensi," kata Sumpeno. "Tetapi harap diingat akan rambu-rambunya agar tidak salah jalan."