BANGKRUT berdagang batik, Abdullah bin Walim, orang Pekalongan,
mengalihkan bisnisnya: dagang bayi! Karena itu pengadilan, akhir
bulan lalu, mempersalahkan usahanya yang demikian Abdullah, 45
tahun, diganjar hukuman 18 bulan. Sedangkan istrinya, Patri'in
(40) beserta dua orang temannya, Mudaiyah (40) dan Kasturi (45)
-- karena terbukti membantu keiahatan tertuduh pertama
--masing-masing kena setahun penjara.
Pekalongan pernah digegerkan berita simpang-siur: banyak bayi
diculik. Itu berpangkal pada seorang babu yang tertangkap selagi
menculik anak majikannya. Akibatnya memang ramai. Di sana-sini
beberapa orang wanita, ibu-ibu, saling bertanya bagaimana nasib
anak mereka yang pernah diserahkan kepada Abdullah melalui
Patri'in, istrinya, Mudaiyah, Kasturi dan seorang lagi yang
bernama Sumari? Jangan-jangan . . . sudah menjadi korban untuk
tumbal pembangunan jembatan -- isu yang selalu mengikuti berita
tentang penculikan bayi.
Dari "keresahan" yang melanda daerah pinggir selatan Kota
Pekalongan itulah, polisi menjejaki kegiatan Abdullah dkk. Maka
terbongkarlah apa yang kemudian disebut "jual-beli bayi" di
Pekalongan. Dan kegiatan tersebut, terbukti punya hubungan
dengan beberapa yayasan di Jakarta yang aktif dalam bidang
pengangkatan (adopsi) anak.
"Tata niaga"-nya dapat diikuti sebagai berikut. Anak buah
Abdullah bertugas berkeliling desa mencari bayi yang
ditelantarkan orang tuanya yang dengan berbagai alasan enggan
memelihara anaknya. Dengan janji akan dipungut oleh seseorang
yang memerlukannya beriku imbalan antara Rp 2.000-Rp 3.000 tiap
bayi, orok-orok tersebut diserahkan secara sukarela oleh orang
tua masing-masing kepada salah seorang anak buah Abdullah. Lalu,
oleh Abdullah, bayi-bayi tadi dibawa ke Jakarta. Untuk itu
diperalatlah perempuan-perempuan yang masih menyusui bayinya
sebagai ibu susu sepanjang perjalanan.
Di Jakarta bayi-bayi dari Abdullah ini diterima oleh Nyonya EES,
seorang bidan yang beralamat di daerah Tanah Abang. Bidan ini,
yang punya hubungan dengan beberapa yayasan di sini -- seperti
Nedindo (Nederland-Indonesia), Sayap Ibu, Pa v.d. Steur,
Vincentius, Cinta Anak dan lain-lain, memberikan uang "ganti
rugi" sekitar Rp 50 ribu per kepala. Nyonya EES dapat
menerimanya berdasarkan surat-surat keterangan yang disertakan
Abdullah -- yang kemudian ternyata palsu!
Setelah dipotong ongkos, komisi buat anak buahnya sekitar Rp
5.000/bayi dan sedikit pengeluaran lain-lain, itulah semua
keuntungan Abdullah. Sepanjang yang diakuinya di pengadilan,
terungkap bahwa Abdullah telah melever 10 bayi kepada beberapa
yayasan melalui Nyonya EES. Oleh EES, kabarnya, tiap bayi
"dijual" dengan harga sekitar Rp 100 ribu sampai dengan Rp 150
ribu.
Berapa tarif yang sebenarnya dan ke yayasan mana saja EES
mengoperkan bayi eks Abdullah (serta sumber-sumber lain) tak
terungkap. Karena tiga hari menjelang diperiksa pengadilan
sebagai, saksi, EES -- yang ditahan polisi -- tiba-tiba
ditemukan mati. Hasil pemeriksaan menyatakan nyonya ini mati
karena bunuh diri. Walaupun, menurut keterangan sumber TEMPO di
kepolisian, tak terdapat secara meyakinkan tanda-tanda yang
laim Dada korban gantun diri (seperti lidah tidak terjulur)
dan petunjuk lain (seperti: tak mungkin ia dapat menggantung
diri di tempat tidurnya dengan kaki menyentuh lantai).
Yang pasti Yayasan Nedindo, menurut kesaksian Nyonya Jeane
Tumewu, Sekretaris Yayasan, hanya menerima 6 bayi berasal dari
Pekalongan melalui Nyonya EES. Masing-masing bernama: Lukman,
Rusmini, Mundari, Aridhon, Rasminah dan Rafiqah. Sebenarnya
Nyonya Tumewu enggan mengungkapkan kepada siapa saja anak-anak
tersebut diadopsi dan tinggal bersama orang tua angkat mereka di
Nederland sana. Soalnya dapat dimengerti, yayasan -yang
sebelumnya merasa telah memperoleh surat keterangan resmi dan
kerelaan orang tua -- tak menghendaki kliennya dirongrong oeh
ibu atau keluarga (semula) si anak angkat. Tapi atas desakan
hakim -- juga untuk menjernihkan anggapan selama ini bahwa bayi
yang "dibelinya" untuk tumbal jembatan, tentunya -- terpaksa
Tumewu mengungkapkannya juga. Banyak wanita yang hadir di
pengadilan menitikkan air mata melihat Nyonya Tumewu dapat
membuktikan (bahkan dengan foto-foto) bahwa anak-anak itu
selamat.
Namun hanya 6 bayi itulah yang dapat dikemukakan nasibnya oleh
Nyonya Tumewu. Selebihnya, yang diserahkan Abdullah kepada Bidan
EES, tak diketahuinya. Kecuali seorang bayi, menurut Tumewu,
semuanya telah mendapat ayah-ibu angkat. Lalu dipertanyakan, ada
yang mau mengambil kembali? Ternyata baik hakim maupun yang
mengaku orang tuanya, tak ada yang berminat.
Adopsi
Yayasan Nedindo, menurut Nyonya Tumewu (sekarang bukan pengurus
lagi) adalah usaha sosial partikulir yang didirikan oleh
Hydionze, sekitar 10 tahun lalu. Mulanya hanya membantu
mengusahakan tiket murah, paspor dan visa bagi mereka yang punya
keluarga di Belanda atau sebaliknya. Lalu karena kebutuhan,
berkembang jadi usaha yang membantu orang-orang Belanda yang
ingin mengangkat anak Indonesia.
Bagi yang ingin mengadopsi anak, peraturan di Belanda ketat
sekali. Harus mendapat izin pengadilan dan memenuhi segala macam
prosedur yang tidak sederhana. Bila semuanya beres, mereka
menghubungi yayasan-yayasan di Indonesia antara lain Nedindo
itulah. Dengan bermacam-macam cara yayasan memperoleh anak. Dan
dengan berbagai alasan banyak juga ibu yang datang menyerahkan
bayinya. Yayasan biasanya memberikan macam-macam penggantian
termasuk biaya bersalin dan menyusui selama dua bulan.
Nedindo, juga yayasan sebangsanya kadang-kadang memperoleh bayi
dari perantara semacam Nyonya EES. Menurut Nyonya Tumewu, suatu
hari EES dijemput oleh 4 orang laki-laki yang tak dikenalnya dan
dibawa ke Pekalongan. Tiga minggu berurusan dengan polisi
membuat EES patah semangat. Karena menurut Nyonya Tumewu, yang
mendapat sepucuk surat yang diselundupkan EES dari tahanan,
bidan itu dituduh telah "membunuh" anak-anak yang diperolehnya
dari Abdullah. Dan pada saat ia terdesak, menurut Tumewu, hanya
Nedindolah yang mengaku berhubungan dengannya dalam urusan bayi.
Yayasan lain cuci tangan.
Adakah perlu mempersoalkan: Nyonya EES bunuh diri karena patah
semangat atau oleh sebab lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini