Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bisnis Abdullah Di Pekalongan

Pengadilan perkara jual beli bayi di pekalongan, bi dan yang jadi perantara mati bunuh diri di tahanan, bayi-bayi tersebut diadopsi dengan melalui suatu yayasan a.l: yayasan nedindo.(krim)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGKRUT berdagang batik, Abdullah bin Walim, orang Pekalongan, mengalihkan bisnisnya: dagang bayi! Karena itu pengadilan, akhir bulan lalu, mempersalahkan usahanya yang demikian Abdullah, 45 tahun, diganjar hukuman 18 bulan. Sedangkan istrinya, Patri'in (40) beserta dua orang temannya, Mudaiyah (40) dan Kasturi (45) -- karena terbukti membantu keiahatan tertuduh pertama --masing-masing kena setahun penjara. Pekalongan pernah digegerkan berita simpang-siur: banyak bayi diculik. Itu berpangkal pada seorang babu yang tertangkap selagi menculik anak majikannya. Akibatnya memang ramai. Di sana-sini beberapa orang wanita, ibu-ibu, saling bertanya bagaimana nasib anak mereka yang pernah diserahkan kepada Abdullah melalui Patri'in, istrinya, Mudaiyah, Kasturi dan seorang lagi yang bernama Sumari? Jangan-jangan . . . sudah menjadi korban untuk tumbal pembangunan jembatan -- isu yang selalu mengikuti berita tentang penculikan bayi. Dari "keresahan" yang melanda daerah pinggir selatan Kota Pekalongan itulah, polisi menjejaki kegiatan Abdullah dkk. Maka terbongkarlah apa yang kemudian disebut "jual-beli bayi" di Pekalongan. Dan kegiatan tersebut, terbukti punya hubungan dengan beberapa yayasan di Jakarta yang aktif dalam bidang pengangkatan (adopsi) anak. "Tata niaga"-nya dapat diikuti sebagai berikut. Anak buah Abdullah bertugas berkeliling desa mencari bayi yang ditelantarkan orang tuanya yang dengan berbagai alasan enggan memelihara anaknya. Dengan janji akan dipungut oleh seseorang yang memerlukannya beriku imbalan antara Rp 2.000-Rp 3.000 tiap bayi, orok-orok tersebut diserahkan secara sukarela oleh orang tua masing-masing kepada salah seorang anak buah Abdullah. Lalu, oleh Abdullah, bayi-bayi tadi dibawa ke Jakarta. Untuk itu diperalatlah perempuan-perempuan yang masih menyusui bayinya sebagai ibu susu sepanjang perjalanan. Di Jakarta bayi-bayi dari Abdullah ini diterima oleh Nyonya EES, seorang bidan yang beralamat di daerah Tanah Abang. Bidan ini, yang punya hubungan dengan beberapa yayasan di sini -- seperti Nedindo (Nederland-Indonesia), Sayap Ibu, Pa v.d. Steur, Vincentius, Cinta Anak dan lain-lain, memberikan uang "ganti rugi" sekitar Rp 50 ribu per kepala. Nyonya EES dapat menerimanya berdasarkan surat-surat keterangan yang disertakan Abdullah -- yang kemudian ternyata palsu! Setelah dipotong ongkos, komisi buat anak buahnya sekitar Rp 5.000/bayi dan sedikit pengeluaran lain-lain, itulah semua keuntungan Abdullah. Sepanjang yang diakuinya di pengadilan, terungkap bahwa Abdullah telah melever 10 bayi kepada beberapa yayasan melalui Nyonya EES. Oleh EES, kabarnya, tiap bayi "dijual" dengan harga sekitar Rp 100 ribu sampai dengan Rp 150 ribu. Berapa tarif yang sebenarnya dan ke yayasan mana saja EES mengoperkan bayi eks Abdullah (serta sumber-sumber lain) tak terungkap. Karena tiga hari menjelang diperiksa pengadilan sebagai, saksi, EES -- yang ditahan polisi -- tiba-tiba ditemukan mati. Hasil pemeriksaan menyatakan nyonya ini mati karena bunuh diri. Walaupun, menurut keterangan sumber TEMPO di kepolisian, tak terdapat secara meyakinkan tanda-tanda yang laim Dada korban gantun diri (seperti lidah tidak terjulur) dan petunjuk lain (seperti: tak mungkin ia dapat menggantung diri di tempat tidurnya dengan kaki menyentuh lantai). Yang pasti Yayasan Nedindo, menurut kesaksian Nyonya Jeane Tumewu, Sekretaris Yayasan, hanya menerima 6 bayi berasal dari Pekalongan melalui Nyonya EES. Masing-masing bernama: Lukman, Rusmini, Mundari, Aridhon, Rasminah dan Rafiqah. Sebenarnya Nyonya Tumewu enggan mengungkapkan kepada siapa saja anak-anak tersebut diadopsi dan tinggal bersama orang tua angkat mereka di Nederland sana. Soalnya dapat dimengerti, yayasan -yang sebelumnya merasa telah memperoleh surat keterangan resmi dan kerelaan orang tua -- tak menghendaki kliennya dirongrong oeh ibu atau keluarga (semula) si anak angkat. Tapi atas desakan hakim -- juga untuk menjernihkan anggapan selama ini bahwa bayi yang "dibelinya" untuk tumbal jembatan, tentunya -- terpaksa Tumewu mengungkapkannya juga. Banyak wanita yang hadir di pengadilan menitikkan air mata melihat Nyonya Tumewu dapat membuktikan (bahkan dengan foto-foto) bahwa anak-anak itu selamat. Namun hanya 6 bayi itulah yang dapat dikemukakan nasibnya oleh Nyonya Tumewu. Selebihnya, yang diserahkan Abdullah kepada Bidan EES, tak diketahuinya. Kecuali seorang bayi, menurut Tumewu, semuanya telah mendapat ayah-ibu angkat. Lalu dipertanyakan, ada yang mau mengambil kembali? Ternyata baik hakim maupun yang mengaku orang tuanya, tak ada yang berminat. Adopsi Yayasan Nedindo, menurut Nyonya Tumewu (sekarang bukan pengurus lagi) adalah usaha sosial partikulir yang didirikan oleh Hydionze, sekitar 10 tahun lalu. Mulanya hanya membantu mengusahakan tiket murah, paspor dan visa bagi mereka yang punya keluarga di Belanda atau sebaliknya. Lalu karena kebutuhan, berkembang jadi usaha yang membantu orang-orang Belanda yang ingin mengangkat anak Indonesia. Bagi yang ingin mengadopsi anak, peraturan di Belanda ketat sekali. Harus mendapat izin pengadilan dan memenuhi segala macam prosedur yang tidak sederhana. Bila semuanya beres, mereka menghubungi yayasan-yayasan di Indonesia antara lain Nedindo itulah. Dengan bermacam-macam cara yayasan memperoleh anak. Dan dengan berbagai alasan banyak juga ibu yang datang menyerahkan bayinya. Yayasan biasanya memberikan macam-macam penggantian termasuk biaya bersalin dan menyusui selama dua bulan. Nedindo, juga yayasan sebangsanya kadang-kadang memperoleh bayi dari perantara semacam Nyonya EES. Menurut Nyonya Tumewu, suatu hari EES dijemput oleh 4 orang laki-laki yang tak dikenalnya dan dibawa ke Pekalongan. Tiga minggu berurusan dengan polisi membuat EES patah semangat. Karena menurut Nyonya Tumewu, yang mendapat sepucuk surat yang diselundupkan EES dari tahanan, bidan itu dituduh telah "membunuh" anak-anak yang diperolehnya dari Abdullah. Dan pada saat ia terdesak, menurut Tumewu, hanya Nedindolah yang mengaku berhubungan dengannya dalam urusan bayi. Yayasan lain cuci tangan. Adakah perlu mempersoalkan: Nyonya EES bunuh diri karena patah semangat atau oleh sebab lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus