GAJI pegawai negeri akan naik sekitar 50%. Tapi P. Martoman (54
tahun) pegawai Departemen Perhubungan bagian Kas & Penggajian
justru merasa khawatir.
Setelah bekerja selama 21 tahun, Martoman banyak belajar dari
pengalaman. Sepanjang pengetahuannya, kenaikan tersebut biasanya
akan diikuti lonjakan harga barang kebutuhan. Kadangkala
persentase ngacungnya bisa lebih dari 50%
Martoman pikir-pikir sebenarnya tak usahlah pemerintah menaikkan
gaji, karena bahkan sering didahului oleh kenaikan harga. Cukup
menyediakan saja kebutuhan pokok pegawai. Misalnya minyak tanah,
gula pasir, sabun, serta bahan pakaian. Bila barang-barang itu
diberikan dalam bentuk natura, bukan dalam bentuk kenaikan gaji,
Martoman optimis harga barang tak akan naik. "Paling tidak, niat
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai lebih bisa
dirasakan," ujarnya.
Harapan Mulai Terbit
Martoman masih gagah. Ia pemegang sabuk coklat dalam cabang
olahraga karate. Dalam Pekan Olahraga antar Departemen tahun
1978 ia meraih juara kedua. Hidupnya sehari-hari sederhana.
Dengan seorang istri dan empat anak (yang sulung sudah menikah
dia mampu bertahan dari gaji golongan D-nya yang berjumlah Rp
52.700, bersih. Terutama karena istrinya gesit ikut bekerja
membuat kue atau kadangkala merangkap jual beli kain dengan
penghasilan sekitar Rp 35 ribu per bulan.
Bermula Martoman dan keluarganya mengontrak rumah di Kebon
Nanas, Jakarta Timur. Sejak pertengahan Desember lalu, ia
pindah ke Perumnas Tangerang. Tak lama kemudian ia menerima gaji
ke-14. Ia senang bukan main. Uang tersebut dibelanjakan bahan
bangunan, untuk mempermolek rumah barunya. Ia sebenarnya merasa
pemerintah sudah semakin memperhatikan orang-orangnya. Apalagi
dengan adanya rencana kenaikan mendatang.
Masa pahit sebagai pegawai negeri dialaminya antara 1959 - 1968.
Pada 1959 ia serta rekan-rekannya menderita akibat adanya
pengguntingan rupiah. Waktu itu ia melihat jarang orang mau
teken kontrak jadi pegawai negeri. Keprihatinan itu bersambung
terus dengan meletusnya peristiwa G30S. Ia merasa peristiwa itu
membuat pemerintah tak sempat terlampau memperhatikan nasib
pegawainya. Baru tahun 1969 dirasanya matahari harapan mulai
terbit lagi.
Kalau pensiun nanti, Martoman merencanakan membuka usaha
kecil-kecilan sebagai agen koran/majalah. Kini usaha tersebut
sudah mulai dirintisnya. Keinginannya yang lain menikmati hari
tua dengan nyaman -- setelah puluhan tahun banting tulang.
Rasanya itu tidak terlalu sulit lagi, karena setelah tak kurang
5 kali mengembara dari rumah ke rumah kontrakan, sekarang ia
sudah punya rumah tetap.
"Kalau harga-harga stabil, kenaikan gaji sekarang ini akan saya
pakai untuk menaikkan jumlah tabungan tiap bulan," ujar Djijoto
(28 tahun) seorang pegawai golongan II A yang tinggal di daerah
Tanjung Duren Jakarta. Pemuda ini dinas di bagian dokumentasi
RRI sejak 7 tahun yang lalu dan baru 6 bulan terakhir
ditempatkan di bagian redaksi Seksi Siaran Olahraga. Gaji
bersihnya Rp 25.800 tambah 20 kilogram beras. Menanggung 2 orang
anak. Istrinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Angkatan
Darat. "Gaji dan golongan istri saya lebih tinggi dari saya
sendiri," ujar pemuda itu terus terang.
Setiap bulan Djijoto menyisihkan Rp 5.000 untuk Tabanas. "Dulu
uang tabungan kami sediakan untuk ongkos kontrak rumah tiap
tahunnya," katanya. Sekarang tak usah lagi, karena scjak
setengah tahun yang lalu ia diberi kesempatan membangun rumah di
atas tanah milik RRI Tanjung Duren. Dengan sendirinya uang
tabungan kini diarahkan buat masa depan anak-anaknya.
"Istri pegawai negeri harus pandai mengatur penghasilan suami,"
kata suami muda itu. Ia biasa hidup dengan takaran tertentu.
Setiap hari misalnya biaya dapur cukup Rp 500. Uang sakunya
sendiri Rp 200. Berangkat ke kantor numpang jemputan istrinya.
Sementara seluruh gajinya dipasrahkan pada wanita itu. "Karena
kalau pegang uang sendiri boros," ujarnya.
Pengeluaran rutin keluarga Djijoto adalah: gaji pembantu Rp
4.500. Untuk arisan baik di lingkungan kampung maupun kantor Rp
1.500. Kadangkala beli rokok kalau kepingin, beli susu bubuk
dan, ah, pendeknya sama sebagaimana kebutuhan rumahtangga pada
umumnya "Pakaian saya saja yang beli istri saya," ujarnya, "yang
pasti kontrol keuangan rumahtangga saya ketat juga."
Alasan Djijoto menjadi pegawai negeri sederhana. "Saya merasa
kerja sebagai, pegawai negeri tidak memburuburu, tapi juga tidak
berarti santai," ujarnya. Ia menengok ke hari tua. Dengan adanya
uang pensiun ia merasa terjamin. Tatkala ia meninggalkan kota
kelahirannya, Wonogiri, pada 1973, ia memang sudah bertekad
untuk jadi pegawai negeri. "Kebetulan orang tua saya juga
pegawai negeri, sebagai Kepala Sekolah di Yogyakarta," katanya.
Ia bangga sebagai pegawai negeri. Apalagi orang-orang di kampung
kelahirannya punya penilaian baik terhadap status pegawai.
"Gajinya kontinyu, jelas asal kita bekerja baik," ujarnya.
"Dengan kenaikan gaji nanti, perasaan saya sama saja. Karena
harga-harga juga bakalan naik," kata Djijoto dengan gaya
peramal. Tapi ia mengaku dari gaji ke-13 dan 14 yang diterimanya
belum lama ini, ia mampu membeli perabot rumah tangga. Sampai
saat ini gaji baginya hanya sebagai alat untuk mempertahankan
hidup. Artinya secara materiil belum bisa langsung mengangkat
mutu hidupnya.
Di Yogyakarta, tatkala Presiden Soeharto mengumumkan kenaikan
gaji pegawai di sidang DPR yang disiarkan TVRI, Hamzah Denny
Subagio tidak sempat mendengar. Pegawai kantor telepon bagian
teknik berusia 28 tahun ini sedang asyik mengontrol anak
buahnya. Setelah kembali ke kantor ia menyaksikan seluruh
rekannya gembira. Ia pun tahu apa yang terjadi. Dan ketika ia
pulang ke rumah, anak istrinya menyambut dengan senyuman. Hari
itu ia benar-benar merasa bahagia.
Maka Hamzah langsung membuat kalkulasi. Mulai April nanti ia
akan menerima Rp 56.700. "Tapi kalau lemburnya banyak, ya,
semogalah dapat di atas Rp 80 ribu -- lumayan," katanya setengah
mengkhayal. Malam hari setelah pengumuman itu ia mengadakan
perayaan kecil sebagai penghormatan atas perbaikan nasibnya
dengan caranya endiri. Ia dan keluaranya jalan-jalan keliling
Yogya sambil makan duren. "Biasa kebudayaan Indonesia. Baru
rencana kenaikan gaji sudah dirayakan dengan pesta," ujarnya.
Tak kurang dari 6 buah duren yang disikat keluarganya malam itu.
Esok harinya, sebelum masuk kantor, Hamzah mengantar istrinya ke
pasar. "Eh .... istri saya hampir bertengkar. Beras sudah Rp 260
sekilo. Seminggu sebelumnya masih Rp 225," katanya lebih lanjut,
"langsung sore itu juga tak ada gairah untuk lembur. Lalu saya
sengaja mampir ke tempat jualan duren. Betul duren naik juga.
Kemarennya Rp 250 yang kecil, hari itu jadi Rp 350. Penjualnya
bilang karena gaji naik."
Halal Sekali
Hamzah yang kekar dan selalu berpakaian necis, bertanya-tanya:
apa artinya kenaikan gaji? Ia jawab sendiri: "Kesenangan semu."
Barang-barang sudah mulai naik, ia jadi cemas. Setengah melucu
ia berkata "Sesungguhnya pemerintah tidak mengumumkan kenaikan
gaji, tetapi kenaikan harga barang."
Sejak 8 Januari yang lalu harga telah naik rata-rata sampai Rp
30. Susu misalnya. Lalu Hamzah yang kini merasa gajinya sudah
pas-pasan, berpendapat, April mendatang mungkin tak punya arti
lagi. "Untung saya dan istri saya sama-sama orang Bandung, eh,
Sunda jadi kita bisa makan sayur tanpa diolah-olah," katanya
berkelakar.
Hamzah baru 1975 diangkat sebagai pegawai negeri. Di lingkungan
kerjanya ia merasa senang. "Sebab uang lembur lancar, kalau
sakit berobat gratis," katanya memberikan alasan. Walaupun
sebagai buntutnya ia sulit ngobyek untuk menambah penghasilan,
sebagaimana dilakukan sebagian pegawai negeri lainnya. Tapi
Hamzah tak menyerah. Ia punya akal. "Yakni menulis artikel.
Mengirim berita dan foto ke Majalah Gema Telekomunikasi yang
terbit di Bandung," katanya. "Dalam sebulan bisa dapat Rp 8.000.
Dan itu halal sekali," ujarnya.
Soetarno Asmoredjo (41 tahun) pegawai yang mengelola kebersihan
Universitas UGM, Yogya, tidak bisa mencari tambahan seperti
Hamzah. Setiap bulan ia harus menyerah pada uang gajinya yang Rp
23.300 serta 20 kilogram beras. Untung ia tak banyak tanggungan,
karena tak ada anak. Setelah selesai jam dinas, ia hanya
diam-diam saja di rumah. Untuk menutupi kekurangan, ia sering
kali menghutang pada bagian keuangan kantornya.
Mendengar kenaikan 60% untuk pegawai setingkatnya, lelaki ini
sama sekali tak gembira. Ia malah bertanya: "Apa kenaikan gaji
tak bisa disembunyikan saja?" Artinya secara diam-diam. Tak usah
masuk koran atau dipidatokan. Ketika ia melihat siaran ulangan
pidato Presiden soal kenaikan gaji, mukanya cemberut. "Keplok,
keplok saja . . . makan kita tetap tempe ! ", katanya.
Masih di kawasan Yogya, Giman (34 tahun) pegawai golongan Ib di
Pemda DIY rupanya seorang yang tenang. Ia kembali ke filsafat
nrimo. "Kita ini harus nrimo ing pandum," ujarnya. Maksudnya,
kita harus menerima nasib. Jadi, ayah dari 3 anak ini menerima
dan mencoba merasa puas dengan gajinya yang hanya Rp 18.000
tambah 15 kilogram beras. "Orang Jawa itu pintar nyulap,"
katanya kepada TEMPO kemudian. Maksudnya, biarpun gaji kecil
tapi bisa cukup hidup. Sebenarnya bukan soal sulapan. Tapi Giman
memang juga punya ternak ayam serta sawah di samping gajinya.
Ketika ditanyakan berapa besar kegairahannya mendengar gaji
naik, ia hanya menjawab: "Gaji kan belum naik. Nanti, begitu
gaji saya naik, datang lagi ke sini, baru kasih komentar!".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini