Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Keplok, Keplok...Tetap Makan Tempe

Komentar dan suka duka beberapa pegawai negeri tentang kenaikan gaji. malah cemas bukan senang, sebab barang lebih dulu naik.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAJI pegawai negeri akan naik sekitar 50%. Tapi P. Martoman (54 tahun) pegawai Departemen Perhubungan bagian Kas & Penggajian justru merasa khawatir. Setelah bekerja selama 21 tahun, Martoman banyak belajar dari pengalaman. Sepanjang pengetahuannya, kenaikan tersebut biasanya akan diikuti lonjakan harga barang kebutuhan. Kadangkala persentase ngacungnya bisa lebih dari 50% Martoman pikir-pikir sebenarnya tak usahlah pemerintah menaikkan gaji, karena bahkan sering didahului oleh kenaikan harga. Cukup menyediakan saja kebutuhan pokok pegawai. Misalnya minyak tanah, gula pasir, sabun, serta bahan pakaian. Bila barang-barang itu diberikan dalam bentuk natura, bukan dalam bentuk kenaikan gaji, Martoman optimis harga barang tak akan naik. "Paling tidak, niat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai lebih bisa dirasakan," ujarnya. Harapan Mulai Terbit Martoman masih gagah. Ia pemegang sabuk coklat dalam cabang olahraga karate. Dalam Pekan Olahraga antar Departemen tahun 1978 ia meraih juara kedua. Hidupnya sehari-hari sederhana. Dengan seorang istri dan empat anak (yang sulung sudah menikah dia mampu bertahan dari gaji golongan D-nya yang berjumlah Rp 52.700, bersih. Terutama karena istrinya gesit ikut bekerja membuat kue atau kadangkala merangkap jual beli kain dengan penghasilan sekitar Rp 35 ribu per bulan. Bermula Martoman dan keluarganya mengontrak rumah di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Sejak pertengahan Desember lalu, ia pindah ke Perumnas Tangerang. Tak lama kemudian ia menerima gaji ke-14. Ia senang bukan main. Uang tersebut dibelanjakan bahan bangunan, untuk mempermolek rumah barunya. Ia sebenarnya merasa pemerintah sudah semakin memperhatikan orang-orangnya. Apalagi dengan adanya rencana kenaikan mendatang. Masa pahit sebagai pegawai negeri dialaminya antara 1959 - 1968. Pada 1959 ia serta rekan-rekannya menderita akibat adanya pengguntingan rupiah. Waktu itu ia melihat jarang orang mau teken kontrak jadi pegawai negeri. Keprihatinan itu bersambung terus dengan meletusnya peristiwa G30S. Ia merasa peristiwa itu membuat pemerintah tak sempat terlampau memperhatikan nasib pegawainya. Baru tahun 1969 dirasanya matahari harapan mulai terbit lagi. Kalau pensiun nanti, Martoman merencanakan membuka usaha kecil-kecilan sebagai agen koran/majalah. Kini usaha tersebut sudah mulai dirintisnya. Keinginannya yang lain menikmati hari tua dengan nyaman -- setelah puluhan tahun banting tulang. Rasanya itu tidak terlalu sulit lagi, karena setelah tak kurang 5 kali mengembara dari rumah ke rumah kontrakan, sekarang ia sudah punya rumah tetap. "Kalau harga-harga stabil, kenaikan gaji sekarang ini akan saya pakai untuk menaikkan jumlah tabungan tiap bulan," ujar Djijoto (28 tahun) seorang pegawai golongan II A yang tinggal di daerah Tanjung Duren Jakarta. Pemuda ini dinas di bagian dokumentasi RRI sejak 7 tahun yang lalu dan baru 6 bulan terakhir ditempatkan di bagian redaksi Seksi Siaran Olahraga. Gaji bersihnya Rp 25.800 tambah 20 kilogram beras. Menanggung 2 orang anak. Istrinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Angkatan Darat. "Gaji dan golongan istri saya lebih tinggi dari saya sendiri," ujar pemuda itu terus terang. Setiap bulan Djijoto menyisihkan Rp 5.000 untuk Tabanas. "Dulu uang tabungan kami sediakan untuk ongkos kontrak rumah tiap tahunnya," katanya. Sekarang tak usah lagi, karena scjak setengah tahun yang lalu ia diberi kesempatan membangun rumah di atas tanah milik RRI Tanjung Duren. Dengan sendirinya uang tabungan kini diarahkan buat masa depan anak-anaknya. "Istri pegawai negeri harus pandai mengatur penghasilan suami," kata suami muda itu. Ia biasa hidup dengan takaran tertentu. Setiap hari misalnya biaya dapur cukup Rp 500. Uang sakunya sendiri Rp 200. Berangkat ke kantor numpang jemputan istrinya. Sementara seluruh gajinya dipasrahkan pada wanita itu. "Karena kalau pegang uang sendiri boros," ujarnya. Pengeluaran rutin keluarga Djijoto adalah: gaji pembantu Rp 4.500. Untuk arisan baik di lingkungan kampung maupun kantor Rp 1.500. Kadangkala beli rokok kalau kepingin, beli susu bubuk dan, ah, pendeknya sama sebagaimana kebutuhan rumahtangga pada umumnya "Pakaian saya saja yang beli istri saya," ujarnya, "yang pasti kontrol keuangan rumahtangga saya ketat juga." Alasan Djijoto menjadi pegawai negeri sederhana. "Saya merasa kerja sebagai, pegawai negeri tidak memburuburu, tapi juga tidak berarti santai," ujarnya. Ia menengok ke hari tua. Dengan adanya uang pensiun ia merasa terjamin. Tatkala ia meninggalkan kota kelahirannya, Wonogiri, pada 1973, ia memang sudah bertekad untuk jadi pegawai negeri. "Kebetulan orang tua saya juga pegawai negeri, sebagai Kepala Sekolah di Yogyakarta," katanya. Ia bangga sebagai pegawai negeri. Apalagi orang-orang di kampung kelahirannya punya penilaian baik terhadap status pegawai. "Gajinya kontinyu, jelas asal kita bekerja baik," ujarnya. "Dengan kenaikan gaji nanti, perasaan saya sama saja. Karena harga-harga juga bakalan naik," kata Djijoto dengan gaya peramal. Tapi ia mengaku dari gaji ke-13 dan 14 yang diterimanya belum lama ini, ia mampu membeli perabot rumah tangga. Sampai saat ini gaji baginya hanya sebagai alat untuk mempertahankan hidup. Artinya secara materiil belum bisa langsung mengangkat mutu hidupnya. Di Yogyakarta, tatkala Presiden Soeharto mengumumkan kenaikan gaji pegawai di sidang DPR yang disiarkan TVRI, Hamzah Denny Subagio tidak sempat mendengar. Pegawai kantor telepon bagian teknik berusia 28 tahun ini sedang asyik mengontrol anak buahnya. Setelah kembali ke kantor ia menyaksikan seluruh rekannya gembira. Ia pun tahu apa yang terjadi. Dan ketika ia pulang ke rumah, anak istrinya menyambut dengan senyuman. Hari itu ia benar-benar merasa bahagia. Maka Hamzah langsung membuat kalkulasi. Mulai April nanti ia akan menerima Rp 56.700. "Tapi kalau lemburnya banyak, ya, semogalah dapat di atas Rp 80 ribu -- lumayan," katanya setengah mengkhayal. Malam hari setelah pengumuman itu ia mengadakan perayaan kecil sebagai penghormatan atas perbaikan nasibnya dengan caranya endiri. Ia dan keluaranya jalan-jalan keliling Yogya sambil makan duren. "Biasa kebudayaan Indonesia. Baru rencana kenaikan gaji sudah dirayakan dengan pesta," ujarnya. Tak kurang dari 6 buah duren yang disikat keluarganya malam itu. Esok harinya, sebelum masuk kantor, Hamzah mengantar istrinya ke pasar. "Eh .... istri saya hampir bertengkar. Beras sudah Rp 260 sekilo. Seminggu sebelumnya masih Rp 225," katanya lebih lanjut, "langsung sore itu juga tak ada gairah untuk lembur. Lalu saya sengaja mampir ke tempat jualan duren. Betul duren naik juga. Kemarennya Rp 250 yang kecil, hari itu jadi Rp 350. Penjualnya bilang karena gaji naik." Halal Sekali Hamzah yang kekar dan selalu berpakaian necis, bertanya-tanya: apa artinya kenaikan gaji? Ia jawab sendiri: "Kesenangan semu." Barang-barang sudah mulai naik, ia jadi cemas. Setengah melucu ia berkata "Sesungguhnya pemerintah tidak mengumumkan kenaikan gaji, tetapi kenaikan harga barang." Sejak 8 Januari yang lalu harga telah naik rata-rata sampai Rp 30. Susu misalnya. Lalu Hamzah yang kini merasa gajinya sudah pas-pasan, berpendapat, April mendatang mungkin tak punya arti lagi. "Untung saya dan istri saya sama-sama orang Bandung, eh, Sunda jadi kita bisa makan sayur tanpa diolah-olah," katanya berkelakar. Hamzah baru 1975 diangkat sebagai pegawai negeri. Di lingkungan kerjanya ia merasa senang. "Sebab uang lembur lancar, kalau sakit berobat gratis," katanya memberikan alasan. Walaupun sebagai buntutnya ia sulit ngobyek untuk menambah penghasilan, sebagaimana dilakukan sebagian pegawai negeri lainnya. Tapi Hamzah tak menyerah. Ia punya akal. "Yakni menulis artikel. Mengirim berita dan foto ke Majalah Gema Telekomunikasi yang terbit di Bandung," katanya. "Dalam sebulan bisa dapat Rp 8.000. Dan itu halal sekali," ujarnya. Soetarno Asmoredjo (41 tahun) pegawai yang mengelola kebersihan Universitas UGM, Yogya, tidak bisa mencari tambahan seperti Hamzah. Setiap bulan ia harus menyerah pada uang gajinya yang Rp 23.300 serta 20 kilogram beras. Untung ia tak banyak tanggungan, karena tak ada anak. Setelah selesai jam dinas, ia hanya diam-diam saja di rumah. Untuk menutupi kekurangan, ia sering kali menghutang pada bagian keuangan kantornya. Mendengar kenaikan 60% untuk pegawai setingkatnya, lelaki ini sama sekali tak gembira. Ia malah bertanya: "Apa kenaikan gaji tak bisa disembunyikan saja?" Artinya secara diam-diam. Tak usah masuk koran atau dipidatokan. Ketika ia melihat siaran ulangan pidato Presiden soal kenaikan gaji, mukanya cemberut. "Keplok, keplok saja . . . makan kita tetap tempe ! ", katanya. Masih di kawasan Yogya, Giman (34 tahun) pegawai golongan Ib di Pemda DIY rupanya seorang yang tenang. Ia kembali ke filsafat nrimo. "Kita ini harus nrimo ing pandum," ujarnya. Maksudnya, kita harus menerima nasib. Jadi, ayah dari 3 anak ini menerima dan mencoba merasa puas dengan gajinya yang hanya Rp 18.000 tambah 15 kilogram beras. "Orang Jawa itu pintar nyulap," katanya kepada TEMPO kemudian. Maksudnya, biarpun gaji kecil tapi bisa cukup hidup. Sebenarnya bukan soal sulapan. Tapi Giman memang juga punya ternak ayam serta sawah di samping gajinya. Ketika ditanyakan berapa besar kegairahannya mendengar gaji naik, ia hanya menjawab: "Gaji kan belum naik. Nanti, begitu gaji saya naik, datang lagi ke sini, baru kasih komentar!".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus