Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Lalu orang kiri itu pun pergi

Pengarang: rex mortiner kualalumpur: oxford uni. press 1974 resensi oleh: gunawan mohammad. (bk)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIAN COMMUNISM UNDER SUKARNO: Ideology and Politics oleh: Rex Mortimer, 464 halaman, Oxford University Press & Cornell University Press, 1974 REX Mortimer tak melihat matahari tahun 1980. Ia meninggal 31 Desember 1979. Harian The Sydney Morning Herald 2 Januari yang lalu menulis obituari pendek untuknya -- menyebutnya sebagai "tokoh berpengaruh dalam politik Kiri (Australia)" ini. Umurnya 53. Di Australia bulan November yang lalu saya sudah mendengar ia dirawat karena kanker. Saya bertemu dengannya di Sydney pertengahan 1978, diperkenalkan oleh Herbert Feith, sarjana ilmu politik yang sangat mengaguminya itu. Pembicaraan kami tak sampai dua jam, di sebuah tempat sarapan di hotel. Tapi Mortimer adalah orang yang tak mudah dilupakan bukan karena ia begitu cemerlang, tapi karena ia begitu bersahabat. Ia dianggap, seperti kata The Sydney Mornng Herald "pengaruh yang terkemuka di masa sesudah perang dalam politik sayap kiri Australia." Pagi itu yang saya hadapi di seberang meja dan cangkir-cangkir kopi ialah seorang cendekiawan yang santai, bercelana pendek, ramping schat dan necis, dengan kulit baru terpanggang matahari liburan. Umurnya waktu itu sudah di atas 50 dan kepalanya tak kelihatan berambut lagi, tapi ia nampak sedang menyenangi hidup. Ia bukan tipe "kiri" yang hanya bermodal protes. Mungkin ia seorang yang sudah jauh berjalan, dengan perubahan di sana-sini. Ia bergabung dengan Partai Komunis Australia sejak ia masih studi hukum di Universitas Melbourne, tapi di tahun 1968, ketika ia berkunjung ke Yugoslavia, Uni Soviet menyerbu Cekoslowakia. Ia mengundurkan diri dari Partai. Itu tak berarti ia berubah dari dasar-nya. Buku Showcase State (1973) yang ia susun dari tulisannya sendiri bersama empat orang lain, adalah sebuah serangan atas Orde Baru dengan bertolak atas premis Marxis. Tentu saja harus dicatat: di dalamnya ada usaha untuk mempersoalkan konsep development (yang dalam bahasa Indonesia diartikan "pembangunan", tapi tentu saja tidak tepat), suatu diskusi yang tak sepenuhnya berciri Marxisme pra-1960-an. Tapi Showcase State sungguh tak mengesankan. Setelah David Ransom menulis dalam majalah Kiri-Baru yang mengkilap, Rampart dan membuat terkenal kata the Berkeley Mafia sederet ulasan Kiri-Baru tentang Orde Baru tak lagi baru: cuma pengulangan sebuah tesis, dengan sedikit variasi. Umumnya ditafsirkan bahwa Orde Baru kurang-lebih hanyalah ciptaan kepentingan Barat, CIA, perusahaan multinasional dan lain-lain sejenisnya -- suatu tafsiran sejarah yang amat mekanistis dan juga mengandung kecongkakan. Sebab di sana kekuatan sosial-politik di Dunia Ketiga digambarkan seakan-akan cuma boneka, bukan sesuatu yang juga lahir dari pergulatan impian dan kenyataan negeri itu sendiri. Seraya bicara soal dosa orang kulit putih, tafsiran sedemikian sebenarnya pantulan lain dari rasa supremasi kulit putih. Sebab itulah para cendekiawan "progresif" dari Barat biasanya (walaupun sering dikagumi) banyak yang terasa tak enak di hati. Hidup dalam suasana kemerdekaan berpikir dan ketenteraman sekitar, mereka berbicara dengan lancar tentang Dunia Ketiga -- tanpa secara eksistensial terlibat dalam keringat, lumpur dan darah Dunia Ketiga itu sendiri. Mereka tak menanggung beban sejarah yang di sini, pada kita, tak terelakkan. Saya ingat Prof. Wertheim, sebagaimana dikutip dalam satu wawancara dengan wartawan Salim Said yang diterbitkan di tahun 1970. Gurubesar Belanda ini, seraya mengecam Indonesia post Sukarno, menganjurkan agar negeri ini menempuh saja jalan pembangunan gaya RRC. Wertheim adalah seorang sarjana yang martabat akademisnya tak usah diragukan lagi. Tapi adakah ia mempertaruhkan dirinya untuk ide semacam itu, yang ia yakini dengan penuh semangat, sebagaimana jutaan orang Indonesia harus mempertaruhkan diri dan anak-anak mereka untuk memilih (atau menolak) "resep" RRC-nya? Mortimer, setidaknya dalam pembicaraan di tahun 1978, tak berbicara tentang resep. Tahun 1978 bukanlah tahun yang baik bagi para pembela revolusi di Asia. Pembunuhan besar-besaran oleh kaum revolusioner Kambodia (lebih dari yang terjadi di Indonesia 1965-66), berbaliknya RRC dari jalan Maois radikal, makin absurdnya pemujaan terhadap pribadi Presiden Kim Il-sung di Korea Utara, mulai mengalirnya "orang usiran" dari Vietnam, dan konflik yang makin bengis antara kekuatan-kekuatan komunis sendiri -- semua itu pasti membebani pikiran dan hati seorang kiri seperti dia. Tapi saya tak tahu pasti. Ia hanya mengesankan kepada saya sebagai seorang yang redup. Ia bicara tentang periode ini, tatkala masalah-masalah begitu besar dan ideologi (termasuk Marxisme-Leninisme) begitu terasa lumpuh untuk menjawabnya. Ia mungkin menyadari, bahwa buah pikiran terpenting tentang jalan lain bagi masa depan manusia dewasa ini tak ada yang lahir dari negeri-negeri sosialis. Ia pasti tahu bahwa gagasan radikal yang sebetulnya kini justru lebih dekat kepada Gandhi ketimbang kepada Lenin -- betapapun masih mentahnya gagasan itu. Saya rasa bagi orang seperti Mortimcr kesadaran sedemikian bukan mustahil. Biar pun Showcase State terasa klise dan agak pretensius, Indonesian Communism Under Sukarno menunjukkan Mortimer yang tajam justru dengan hati yang dingin. Ia bisa menjaga jarak. Tentu karena buku ini bukan suatu pembelaan bagi PKI, melainkan suatu evaluasi tentang kegagalan Aidit. Di samping itu: juga karena Mortimer memang tak dogmatis. Bagi Mortimer, masalah besar PKI menjelang kehancurannya, sepanjang masa "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno, adalah masalah ideologis. PKI di bawah Aidit, sejak 1954 mengambil strategi yang kemudian menimbulkan persoalan besar. Dalam bertumpu pada front persatuan nasional, Partai tak begitu mengutamakan "perjuangan klas" dan soal kepemimpinan kaum komunis dalam front itu. Itu tak berarti PKI di bawah Aidit tak pernah mencoba perjuangan klasnya sendiri. Tapi aksi sepihak 1964 di desa-desa seperti sebelumnya usaha-usaha menggerakkan buruh di kota-kota, praktis gagal. Aiditisme Dapat dibayangkan bahwa hal itu menimbulkan persoalan di antara pimpinan Partai. Buku Mortimer mungkin buku pertama yang menceritakan pertentangan lama antara tokoh seperti Njoto disatu pihak (yang lebih menyukai sikap "jinak" dalam front persatuan) dan tokoh seperti Oloan Hutapea, yang lebih menghendaki independensi Partai, dari front persatuan dan pemerintah Sukarno. Aidit sendiri mungkin tak sejauh Njoto, yang jadi favorit Bung Karno, tapi ia toh pada akhirnya tak menyebabkan Partai siap, dengan pilihan jalan lain, ketika saat yang menentukan tiba. "Aiditisme" mendapat kecaman, dari sisa-sisa pimpinan PKI. Partai yang demikian besar (mengaku beranggota 20 juta) ini memang kemudian bukan saja terbukti tak efektif, tapi juga Aidit akhirnya melibatkan diri dalam apa yang disebut oleh sisa-sisa PKI sebagai "adventurisme" petualangan yang berbentuk Gerakan 30 September. Yang juga tak disangka-sangka ialah bahwa Partai yang punya organisasi baik ini juga dalam saat krisis berlubang-lubang dengan tindakan saling mengkhianati antar sesama kader. Mortimer tak seluruhnya menyalahkan Aidit. In retrospect the odds seem always to have been against the Communists even when they were making they greatest advances. Yang perlu direnungkan mungkin ialah kenapa demikian. Tidakkah ini mungkin karena sejarah Indonesia dari 1945 sampai dengan 1965 telah berkembang sedemikian rupa, hingga apa pun yang diusahakannya untuk menang, sudah terlambat? Bagaimana pun pemimpin mereka dibesarkan dalam ethos nasional, lebih dari ethos klas, PKI tak kunjung berhasil memperoleh legitimasi sehagai suatu kekuatan nasional. Perkembangan masyarakat Indonesia dan riwayat hidupnya tidak menjadikan Aidit seorang Ho Chiminh seorang bapak bangsa dan juga pemimpin partai komunis. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus