ZAMAN KALONG dan RITUS TOPENG.
Naskah dan Sutradara: Ikranagara
Produksi: Teater Saja
IKRANAGARA, dramawan yang riuh-rendah dengan semangat puber,
kali ini muncul dengan tenang. Pertunjukannya di TIM, 7-10
Januari yang lalu, mengambil bentuk teater rakyat Bali: Topeng
Pajegan.
Ikra yang praktis bermain sendiri (pertunjukan terdiri dua
bagian -- bagian pertama masih memakai beberapa pemain
pembantu), ternyata sangat menguntungkan kualitas tontonannya.
Bekas aktor Teater Kecil ini memang diakui sebagai pemeran yang
jago. Dan kali ini dibuktikannya kejagoan itu dengan sebuah
naskah yang diciptakannya sendiri, yang menampilkan beberapa
tokoh yang satu per satu dimainkannya sendiri. Sebagai pengisi
saat-saat peralihan, dimasukkannya beberapa anak muda ke
panggung untuk berbuat sesuatu dan inilah cacat pertama: mereka
tetap terasa berada dalam suasana puber.
Alam Topeng
Ikra bercerita tentang sebuah pohon raksasa yang penuh dihuni
kalong. Pohon itu harus ditumbangkan -- karena merusak
kehidupan: akarnya menjalar ke mana-mana dan menjebol jalan,
rumah-rumah dan seterusnya. I Wayan, tokoh "pemberontak sosial",
memimpin para gelandangan berdemonstrasi menuntut pohon itu
ditumbangkan saja. Dan biasa, kemudian Wayan dituduh berambisi
politik oleh penguasa setempat. Tapi akhirnya penguasa tersebut
memutuskan untuk menumbangkan pohon tersebut juga -- setelah
mendapat instruksi dari atasan.
Ini tak memberikan kelegaan kepada penuntut semula, sebab pohon
tersebut ditumbangkan dengan mesin-mesin besar. Artinya, para
gelandangan tetap tak mendapat kesempatan bekerja. Pertunjukan
pertama ini berjudul Zaman Kalong.
Ada pohon raksasa, ada kalong (binatang malam, yang tak tahan
terhadap sinar matahari) yang diceritakan sedemikian rupa, yang
memang mengesankan sebuah satire. Dan Ikra telah menjalinnya
dengan dialog (lebih tepat monolog) yang sangat menarik. Bukan
karena penuh beban protes seperti yang udah-sudah. Tapi karena
ia dilontarkan dengan bahasa sehari-hari yang enak -- terutama
oleh satu peran orang kecil setengah sinting yang berhasil
menghidupkan bau Bali yang pekat dan jelata.
Conge, peran itu, tokoh penganggur yang bercerita bagaimana akar
pohon "sempat menjebol kamar pengantin" sangat kocak dan akrab.
"Pokoknya serem," katanya. Sebabnya karena dia tak menyaksikan
sendiri -- sementara cerita orang tentang itu pun sulit
dipercaya kebenarannya. Ada yang bercerita begini, ada yang
bercerita begitu. Setelah pohon ditebang, si Conge pun ikut
memberi komentar ia senang pohon akhirnya ditebang dengan
mesin-mesin modern.
Tapi kemudian menyusul adegan si Conge dilempar sekaleng 7 Up
kosong, lantas sebuah sepatu. "Ini sepatu buatan Itali,"
katanya. Dan ia lantas mengeluh mengapa orang "lebih menyukai
barang-barang buatan luar negeri."
Itu memang sebuah kritik. Dan dalam teater rakyat, kritik apapun
terasa hanya sebagai sampiran, dilontarkan dengan semangat
humor. Misalnya adegan para punakawan dalam wayang -- tidak
menjadi janggal karena pelakunya bukan tokoh-tokoh utama, dan
adegan itu memang sudah dianggap bagian yang lepas.
Tapi Conge dalam Zaman Kalong bukan tokoh sampingan, dan adegan
yang dia bawakan bukan sebuah elemen yang lepas dari tema.
Karena itu ketika dia berbicara tentang hal-hal yang lepas dari
tubuh cerita, misalnya tentang "masuk fakultas," rasa risih pun
muncul. Meski ini tak sampai mewarnai keseluruhan pertunjukan,
terasa mengganggu juga.
Adegan kedua, Ritus Topeng berjalan dengan tegang. Seseorang
yang mencoba hidup di alam lain, alam topeng, ternyata tak
diterima di alam yang baru itu. Dilontarkan ke dunia kembali, ia
pun terkapar.
Ada perbedaan suasana dengan tontonan pertama. Yang kedua
berjalan dengan tegang, semi abstrak -- lebih menampilkan gerak
tubuh daripada kata-kata. Berbagai jenis suara geram dan
lenguh, gerak-gerak yang enak ditonton, asap dupa, memberi satu
pemandangan yang indah. Tapi dibanding pertunjukan pertama, ia
lebih miskin imajinasi -- barangkali karena bermaksud menyentuh
rasa. Gaung monolog pada yang pertama, menembus panggung
menciptakan ilusi yang kaya. Pada yang, kedua, bahasa gerak
yang begitu luwes toh masih memancing orang untuk menebak-nebak.
Bak seorang pelukis yang mencoba menampilkan gambar kuda dengan
coretan yang kurang jelas.
Walhasil, minus beberapa kekurangan, kali ini Ikra memang lain.
Dan kalau dicari. kelainan itu, memang terletak pada permainan
Ikra -- yang memerankan beberapa peran dengan sangat intens.
Patut diperhatikan khususnya teknik perubahan suaranya, di
samping dialek dan intonasi lokal yang rupanya dikenalnya dengan
baik. Sambil mengingat bahwa praktis yang kita lihat di panggung
memang hanya Ikra (ia belum berhasil membuktikan dirinya mampu
membentuk pemain), acara ini merupakan prestasi terbaik
Ikranagara di tahun-tahun terakhir. Dan salah satu tontonan yang
bagus di TIM.
Bambang Bujono
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini