Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menang hanya ikra

Sutradara: ikranegara naskah: ikranegara resensi oleh: bambang bujono & syu'bah asa. (ter)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN KALONG dan RITUS TOPENG. Naskah dan Sutradara: Ikranagara Produksi: Teater Saja IKRANAGARA, dramawan yang riuh-rendah dengan semangat puber, kali ini muncul dengan tenang. Pertunjukannya di TIM, 7-10 Januari yang lalu, mengambil bentuk teater rakyat Bali: Topeng Pajegan. Ikra yang praktis bermain sendiri (pertunjukan terdiri dua bagian -- bagian pertama masih memakai beberapa pemain pembantu), ternyata sangat menguntungkan kualitas tontonannya. Bekas aktor Teater Kecil ini memang diakui sebagai pemeran yang jago. Dan kali ini dibuktikannya kejagoan itu dengan sebuah naskah yang diciptakannya sendiri, yang menampilkan beberapa tokoh yang satu per satu dimainkannya sendiri. Sebagai pengisi saat-saat peralihan, dimasukkannya beberapa anak muda ke panggung untuk berbuat sesuatu dan inilah cacat pertama: mereka tetap terasa berada dalam suasana puber. Alam Topeng Ikra bercerita tentang sebuah pohon raksasa yang penuh dihuni kalong. Pohon itu harus ditumbangkan -- karena merusak kehidupan: akarnya menjalar ke mana-mana dan menjebol jalan, rumah-rumah dan seterusnya. I Wayan, tokoh "pemberontak sosial", memimpin para gelandangan berdemonstrasi menuntut pohon itu ditumbangkan saja. Dan biasa, kemudian Wayan dituduh berambisi politik oleh penguasa setempat. Tapi akhirnya penguasa tersebut memutuskan untuk menumbangkan pohon tersebut juga -- setelah mendapat instruksi dari atasan. Ini tak memberikan kelegaan kepada penuntut semula, sebab pohon tersebut ditumbangkan dengan mesin-mesin besar. Artinya, para gelandangan tetap tak mendapat kesempatan bekerja. Pertunjukan pertama ini berjudul Zaman Kalong. Ada pohon raksasa, ada kalong (binatang malam, yang tak tahan terhadap sinar matahari) yang diceritakan sedemikian rupa, yang memang mengesankan sebuah satire. Dan Ikra telah menjalinnya dengan dialog (lebih tepat monolog) yang sangat menarik. Bukan karena penuh beban protes seperti yang udah-sudah. Tapi karena ia dilontarkan dengan bahasa sehari-hari yang enak -- terutama oleh satu peran orang kecil setengah sinting yang berhasil menghidupkan bau Bali yang pekat dan jelata. Conge, peran itu, tokoh penganggur yang bercerita bagaimana akar pohon "sempat menjebol kamar pengantin" sangat kocak dan akrab. "Pokoknya serem," katanya. Sebabnya karena dia tak menyaksikan sendiri -- sementara cerita orang tentang itu pun sulit dipercaya kebenarannya. Ada yang bercerita begini, ada yang bercerita begitu. Setelah pohon ditebang, si Conge pun ikut memberi komentar ia senang pohon akhirnya ditebang dengan mesin-mesin modern. Tapi kemudian menyusul adegan si Conge dilempar sekaleng 7 Up kosong, lantas sebuah sepatu. "Ini sepatu buatan Itali," katanya. Dan ia lantas mengeluh mengapa orang "lebih menyukai barang-barang buatan luar negeri." Itu memang sebuah kritik. Dan dalam teater rakyat, kritik apapun terasa hanya sebagai sampiran, dilontarkan dengan semangat humor. Misalnya adegan para punakawan dalam wayang -- tidak menjadi janggal karena pelakunya bukan tokoh-tokoh utama, dan adegan itu memang sudah dianggap bagian yang lepas. Tapi Conge dalam Zaman Kalong bukan tokoh sampingan, dan adegan yang dia bawakan bukan sebuah elemen yang lepas dari tema. Karena itu ketika dia berbicara tentang hal-hal yang lepas dari tubuh cerita, misalnya tentang "masuk fakultas," rasa risih pun muncul. Meski ini tak sampai mewarnai keseluruhan pertunjukan, terasa mengganggu juga. Adegan kedua, Ritus Topeng berjalan dengan tegang. Seseorang yang mencoba hidup di alam lain, alam topeng, ternyata tak diterima di alam yang baru itu. Dilontarkan ke dunia kembali, ia pun terkapar. Ada perbedaan suasana dengan tontonan pertama. Yang kedua berjalan dengan tegang, semi abstrak -- lebih menampilkan gerak tubuh daripada kata-kata. Berbagai jenis suara geram dan lenguh, gerak-gerak yang enak ditonton, asap dupa, memberi satu pemandangan yang indah. Tapi dibanding pertunjukan pertama, ia lebih miskin imajinasi -- barangkali karena bermaksud menyentuh rasa. Gaung monolog pada yang pertama, menembus panggung menciptakan ilusi yang kaya. Pada yang, kedua, bahasa gerak yang begitu luwes toh masih memancing orang untuk menebak-nebak. Bak seorang pelukis yang mencoba menampilkan gambar kuda dengan coretan yang kurang jelas. Walhasil, minus beberapa kekurangan, kali ini Ikra memang lain. Dan kalau dicari. kelainan itu, memang terletak pada permainan Ikra -- yang memerankan beberapa peran dengan sangat intens. Patut diperhatikan khususnya teknik perubahan suaranya, di samping dialek dan intonasi lokal yang rupanya dikenalnya dengan baik. Sambil mengingat bahwa praktis yang kita lihat di panggung memang hanya Ikra (ia belum berhasil membuktikan dirinya mampu membentuk pemain), acara ini merupakan prestasi terbaik Ikranagara di tahun-tahun terakhir. Dan salah satu tontonan yang bagus di TIM. Bambang Bujono Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus