Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bisnis atau korupsi? bisnis atau korupsi ?

Y. sindhu pramono, presdir pt dwi sari utama, malang, diadili di pn jak-sel. dituduh mengutip dana leasing rp 7,28 milyar dari pt salindo. kasus yang pertama diadili dan belum ada dasar hukumnya.

31 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA belas tahun sudah usaha sewa guna atau populer disebut leasing berjalan. Tapi baru diketahui bahwa fasilitas pembiayaan jenis usaha itu gampang dibelokkan. Yakni dengan diperkarakannya Yohannes Sindhu Pramono, 38 tahun, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pekan ini. Sindhu, yang dijerat Jaksa B. Lukman dengan dakwaan korupsi dan pemalsuan dituduh mengutip dana leasing sekitar Rp 7,28 milyar. Inilah pertama kali perkara leasing disidangkan. Ceritanya, sekitar November 1983, selaku Presiden Direktur PT Dwi Sari Utama (DSU), Malang, Sindhu mengajukan permohonan leasing pada PT Salindo. Tersebut belakangan itu salah satu perusahaan leasing di Jakarta, yang merupakan usaha patungan antara Bank Dagang Negara, First Chicago International Finance Corp., The Mitsubishi Bank Ltd. Tokyo, dan The National Bank of Australian Ltd. Melbourne. Ketika itu Sindhu mengajukan permohonan leasing untuk mengembangkan usaha pabrik rokok 567-nya. Ia memerlukan barang modal berupa empat mesin pembuat rokok dan dua mesin pengepak, yang kesemuanya bernilai Rp 4,2 milyar. Permohonan lengkap dilampiri nilai kekayaan PT DSU, tercantum hampir Rp 11 milyar. Sebagai jaminan, adalah tembakau senilai Rp 6,6 milyar. Sebulan kemudian, permohonannya diluluskan, tidak sepenuhnya memang, tapi Rp 3,78 milyar saja. Anehnya, leasing ini, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk barang, dlberikan dalam uang tunai. Pada Januari tahun berikutnya, masih lewat fasilitas leasing PT Salindo, bersama Ivan Gunawan, Sindhu memperoleh lagi uang tunai Rp 3,5 milyar atas nama PT Indoraco. Obyek leasing-nya kali ini, satu set mesin pengalengan minuman. Tanah seluas 0,35 hektar dan bangunannya, di Surabaya, dipergunakan sebagai jaminan. Muslihat Sindhu terkuak setelah dana leasing kedua itu cair. Sebab, PT Indoraco itu lalu dibubarkan. Ini mengundang perhatian Solindo, karena masih ada PT Indoraco yang lain, yang ternyata pemilik sah mesin pengalengan minuman. Dengan kata lain, PT Indoraco Ivan ternyata perusahaan fiktif yang mengacu pada PT Indoraco asli. Terungkap pula neraca PT DSU yang digunakan memohon leasing yang pertama cuma karangan Sindhu. Tembakau yang dijadikannya agunan memang ada, tapi nilainya cuma sekitar Rp 140 juta, atau hanya sekitar 2% dari nilai yang ia ajukan. Barang jaminan untuk leasing kedua pun, tanah beserta bangunan, ternyata milik PT Suramal Jaya. Baik Sindhu maupun Ivan tak punya sangkut paut dengan kedua PT tersebut -- hanya PT DSU-lah yang nyata ada dan sah. Tambahan lagi, "Keenam mesin yang dijadikan obyek leasing, sebenarnya, tidak pernah diterima, dan memang tak pernah ada," kata Jaksa B. Lukman. Begitu gampangnya Sindhu mengeruk rupiah, agaknya ada pula unsur keteledoran dari pihak pemberi leasing. Ini diakui oleh Sumhadi Wiriadinata, 65 tahun, pensiunan BDN yang ketika itu menjabat direktur Salindo. "Semula saya tolak," kata Sumhadi yang kini tak lagi di Salindo. Tapi, "Rapat direksi Salindo ternyata menyetujui permohonan leasing itu," sambungnya. Menurut Sumhadi, yang konon pernah menerima satu sedan Lancer dari Sindhu, Sindhu belum berpengalaman dalam bisnis rokok. Namun, presdir Salindo waktu itu, Graham George Duobtfire yang kini berada di Inggris, telanjur setuju. Selain itu, dengan mengabulkan permohonan Sindhu, target PT Salindo -- berdiri 1983 -- memberikan leasing senilai Rp 20 milyar per tahun akan tercapai. Mungkin karena itu pengecekan persyaratan permohonan leasing Sindhu oleh Jack Ishak Makonda, manajer pemasaran Salindo, tak dilakukan teliti. Termasuk, tentunya, penilaian harga tembakau agunan itu. Repotnya, mirip kejahatan komputer, perkara leasing belum ada dasar hukumnya -- meski usaha ini sudah diizinkan beroperasi lewat surat keputusan bersama Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Perindustrian, Februari 1974. Karena itu, pembela keberatan atas penilaian jaksa bahwa ini perkara korupsi. Perkara itu semata perdata, kata pembela. Kalaupun diperlebar, kesalahan justru pada pihak Salindo. "Semuanya sudah disiapkan Salindo. Terdakwa cuma tinggal tanda tangan, dan terima uangnya," kata pembela I.H. Kendengan. Pihak jaksa berkukuh ini perkara korupsi, karena yang digaet adalah uang milik negara, yakni milik BDN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus