SEBELUM acara akan dimulai serius, puluhan petugas keamanan --sebagian berseragam tiba-tiba nongol. Mereka berjalan tenang dan lurus, diikuti pandang sekitar 150 hadirin. Dikawal yang berseragam, petugas berpakaian preman naik ke ballroom. Mereka menyingkirkan mikrofon. Di bawah, yang lain, mengambil sejumlah kertas makalah dari meja panitia dan peserta. "Mana izinnya?" begitu tanya petugas gabungan Polda Metro Jaya, Laksusda, Polres dan Kodim Jakarta Timur itu. Di Grand Menteng Hotel, Matraman Raya, Minggu sore lalu bukan ada huru-hara, hanya "Seminar Haji: Kongres Umat Islam Sedunia". Penyelenggaranya, Lepimi, Lembaga Pengkajian Internasional Mahasiswa Islam. Setelah dibubarkan, Eddy Djunaedi, dari panitia, menyebut: penyelenggara mendapat jaminan dari hotel. Izin itu, katanya, pihak hotel yang mengurusnya. Tetapi Weis Alatas, juga dari panitia, berterus terang. "Petugas sangat mencurigai rapat-rapat lembaga pengkajian ini," ujarnya, Senin kemarin pada koran Merdeka. Dengan yang ini, sudah tiga kali acara Lepimi dibubarkan. "Mereka bandel," kata seorang petugas. Sebelum meninggalkan ruang, para petugas itu menitip pesan: seminar jangan dilanjutkan, hadirin --yang umumnya anak muda, mahasiswa, dan putri yang berjilbab -- "melanjutkan" hanya dengan makan ringan. Seminar, rupanya, bukan membahas soal haji saja -- sebagai ibadat. "Lepimi mengundang Saudara untuk berpikir bebas dan aktif dalam seminar tentang kebenaran haji tersebut," begitu panitia menulis di undangan yang dijual Rp 15.000,00 selembar. Masih di undangan. Panitia "mengarahkan" hadirin dengan pertanyaan: Satu, benarkah berhaji itu sebagai kongres umat Islam sedunia? Dua, tidakkah benar bahwa haji adalah pertemuan religio politik? Tiga, bukankah benar bahwa haji adalah tempat pengorbanan bagi para jemaah? Sejumlah nama tokoh dipajangkan. Misalnya, M. Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, O. Hashem, Imaduddin, Dawam Rahardjo. Di antara yang diundang, tapi mengundurkan diri, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Quraish Syihab. Rencananya, mereka akan muncul pada session: Haji, Perteman Religio Politik, dan Haji, Tempat Pengorbanan Para Jemaah. H. Anton Timur Djaelani, bekas Dirjen Urusan Haji, baru "ngomong" tentang haji sebagai ujian, pengorbanan, dan ibadat untuk suatu tujuan yang tak pernah selesai. Namun, jika bicaranya tak selesai, itu karena petugas keburu muncul, dan menghentikan seminar. Setelah itu tak ada lagi pembicara yang tampil. Sementara itu, dari makalah yang tak dibacakan itu, ada yang mengutip Ali Syariati, penulis Iran. Tentang baju diganti pakaian ihram, contohnya, diartikan sebagai menanggal batas palsu yang menyebabkan perpecahan. Dan lahirlah diskriminasi: rasku, kelasku, kelompokku, hingga nilai-nilaiku. Sedang tawaf diartikan sebagai gambaran cinta yang mutlak, bagai kupu-kupu yang berputar menghampiri nyala lilin, hingga tubuhnya hangus terbakar. Lain dengan M. Amien Rais. Tawaf, katanya, menyadarkan akan tujuan hidup. Sa'i mengajarkan agar manusia tak berputus asa. Wukuf adalah fase bertafakur, berkontemplasi tentang hidup, dan merenungkan siapa kawan siapa lawan. Melontar jumrah, babakan berkonfrontasi dan bergulat menegakkan kebenaran. Di samping ibadat, tulis Amien Rais, "Haji dapat dipakai sebagai forum kongres umat Islam sedunia." Para pemimpin yang berdatangan dari seluruh dunia, katanya, dapat merumuskan langkah bersama dalam politik, militer, atau ekonomi. Dan "Unjuk rasa politik dalam kongres Islam sedunia itu sah adanya, selama tak menggunakan kekerasan. Yang tidak sah adalah membasmi unjuk rasa itu, dengan kekerasan." Tragedi Mekah yang berdarah dipersoalkan dalam makalah lain -- yang tak ada nama penulisnya. Ia bertanya, mengapa jemaah haji Iran -- si pengunjuk rasa -- disambut rentetan tembakan. Bukankah tembakan itu muncul dari atas gedung? Bukankah sukar sekali untuk diyakini bahwa orang orang Iran membawa pisau dari rumahnya dan menyerang polisi? Dalam pada itu, O. Hashem "memvonis" Saudi bersalah. Lalu ia bertanya, "Mengapa ajakan pemerintah Iran untuk memeriksa para korban tembakan pasukan Saudi yang dikomandoi pemimpin teroris Jerman Barat, Jenderal Ulrich Wagner, tidak disambut?" Kawasan Ka'bah yang dikotori dengan kekerasan disebut Hashem sudah berakar lama. Yazid-lah, sebagai biang kerok pertama. Ketika itu, pasukan Yazid melempari Ka'bah dengan ketapel. Mereka membakar kain penutup (astar), merubuhkan tiang Ka'bah -- hingga dindingnya runtuh. Seminar, jika tak dihadang petugas, mungkin lebih menyeret ke ajang mencerca Saudi. Misalnya, Solichin Salam. Dalam makalahnya, sembari mengutip buku Anthony Nuttin The Arabs, ia membeberkan sejumlah "dosa" kerajaan itu. Umpamanya, membantu Inggris melawan Osmaniah dan pernah menerima subsidi dari negeri itu. Ulah kaum Wahabi juga diungkitnya, karena menghancurkan berbagai peninggalan Islam. Ia juga setuju bila Tanah Suci itu "diinternasionalkan" asal nanti tak muncul umat yang mau rebut pengaruh di situ. Bila maunya membombardir kecaman ke Saudi, apa seminar berharap lahir pertikaian baru? Pertanyaan ini tentu saja tidak bisa dijawab segera -- sebab seminar sudah ditutup. Sementara itu, belum nampak ada pandangan lain yang misalnya membela kerajaan Saudi, atau pandangan Wahabi, atau apa saja yang diserang. Bertukar pikiran itu biasanya yang merupakan semangat seminar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini