ANTENA parabola dan video kaset masuk desa, Butet (bukan nama sebenarnya) yang menderita. Gadis 9 tahun kelas 3 SD ini warga Desa Muaratais, Batangangkola, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, jadi korban lima bocah cilik. ''Ia sering gemetaran jika ingat kejadian itu,'' tutur ibunya, Nurhayati, 55 tahun, kepada TEMPO. Tragisnya, peristiwa tersebut terjadi persis pada Hari Kartini pada 21 April lalu. Pukul 9 malam Butet baru pulang melihat kenduri kecil keluarga Hasibuan. Ketika melintasi jalan sepi menuju rumahnya, Butet tiba-tiba dihadang lima bocah sebayanya. Mulutnya disekap, tangannya diikat dengan tali plastik, lalu ia diseret ke belakang sebuah rumah. Mula-mula ia dibujuk, tapi karena menolak, Butet lalu dikeroyok dan digilir secara paksa. Bocah-bocah mesum itu kemudian ditahan tiga hari sejak 28 April lampau di Kepolisian Sektor Batangangkola. Mereka adalah Wawan, 13 tahun, Toto, 12 tahun (anak kelas 6 SD), Didi (kelas 4 SD), Dadar (kelas 4 SD), dan Papan (kelas 1 SD). Harap maklum, nama kelima pelaku ini disamarkan. Butet bisa lepas dari cengkeraman ''tuyul-tuyul'' itu setelah diancam akan dibunuh jika membuka rahasia. Seminggu lamanya Butet membiarkan urusan sekadar pecah di perut dan tak pecah di mulut. Tapi, bak kata orang, cuma mulut meriam yang bisa disumbat. Entah dari mana sumbernya, musibah itu pun jadi cerita burung. Inilah yang membuat ayah Butet, K. Nasution, terkesiap. Ia lalu mengusut Butet. Ketahuanlah pelakunya, sehingga kelima bocah cilik tadi dicokok polisi. Pihak berwajib kemudian mentitipkan mereka di rumah Kepala Polisi Sektor. Setiap pagi orang tua mereka menjemput untuk mengantarkan ke sekolah. Sorenya mereka kembali lagi ke rumah Pak Polisi itu. Di balik peristiwa malang ini tersimpan sedikit cerita konyol. Setidaknya seperti apa yang diceritakan Wawan yang tertua di antara pelaku dan sudah sekitar empat tahun drop-out dari SD. Sejak kecil, Wawan tinggal bersama pamannya. Sebab, ayahnya kawin lagi setelah ibunya meninggal. Sejak itu ia membantu pamannya berjualan sayur. Kepada TEMPO, Wawan mengaku memang suka menonton film. Juga menikmati televisi berantena parabola di beberapa kedai di desa itu. Ia tak ingat film apa, tapi yang paling membekas baginya ialah film yang mendengus-dengus alias menampilkan adegan panas. Lagi pula ia pernah punya pengalaman dengan seorang waria bernama Taufik. ''Ia mengelus-elus anuku, hingga aku terangsang,'' kata Wawan. Diduga, bocah inilah yang mempengaruhi teman-temannya, walau Wawan tak mengaku. Tapi diakuinya bahwa di antara mereka sudah populer istilah ''tendang gol'' untuk menyebut persebadanan. Yakni, dengan meliuk-liukkan jari telunjuk kanan ke dalam ibu jari dan telunjuk kiri yang sudah membentuk lingkaran. Kepala Polisi Resor Tapanuli Selatan, Letnan Kolonel Tato Suprapto, tak menyangkal bahwa antena parabola masuk desa tersebut punya andil dalam peristiwa ini. Ia mencontohkan, parabola yang siaran hiburannya tak bisa disensor itu sudah menjamur ke desa-desa. Misalnya, banyak warung kopi di desa- desa Tapanuli Selatan memasang parabola sebagai pelaris langganan. ''Karena anak-anak juga menontonnya, mereka jadi matang sebelum waktunya,'' kata Tato kepada TEMPO. Semua sudah terjadi. Mungkin karena itu perdamaian di antara keluarga bocah itu pun sudah disepakati pula. Orang tua Butet pada mulanya menuntut ganti rugi Rp 3 juta. Tapi karena orang tua pelaku umumnya dari golongan tak berpunya, perdamaian itu disepakati hanya Rp 1,5 juta. Tato pun setuju. ''Jika dihukum, bisa-bisa mereka makin nakal,'' katanya. Bersihar Lubis dan Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini