Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Boom bank berbuah bandit

Bbd cab.tanah abang jakarta dibobol sindikat peter irawan sekitar rp 749 juta. menggunakan surat perintah palsu. di surabaya bank danamon, bca, unibank, dan bank universal dibobol komplotan tan boen long

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEIRING dengan "Boom" bank, bandit bank pun meningkatkan produktivitasnya. Sasaran bandit berkerah putih itu tak pilih bulu lagi. Mulai dari bank besar, seperti Bank Bumi Daya (BBD), Bank Central Asia (BCA), sampai bank-bank yang baru tumbuh mereka gasak. Sejak Januari hingga Oktober tahun ini Mabes Polri mencatat 33 kasus pembobolan bank dengan kerugian Rp 7 milyar lebih. Kasus terakhir, yang dibongkar Mabes Polri pekan lalu, adalah pembobolan BBD Cabang Tanah Abang Jakarta. Bank milik pemerintah itu dibobol sindikat Peter Irawan sekitar Rp 749 juta. Lelaki berusia 30 tahun yang mengaku lulusan Universitas Trisakti itu adalah direktur PT Cahaya Rosari dan komisaris PT Praya Dutayasa, yang masing-masing bergerak dalam bidang konveksi dan kontraktor di Jakarta. Menurut Kasatidik Bank Subdit Reserse Ekonomi Mabes Polri, Letnan Kolonel Hamim Soeriamidjaja, pada akhir Desember lalu Peter mendapat order dari pemda Kodya Sukabumi. Order itu berupa surat perintah kerja (SPK) untuk pengadaan pakaian seragam pegawai di lingkungan Kodya Sukabumi. Dengan jaminan SPK senilai Rp 621 juta, Peter minta kredit ke BBD Cabang Tanah Abang. Artinya, semua pembayaran dari pemda -- biasanya pakai termin -- akan dijadikan cicilan Peter ke BBD. Peter pun mengantungi kredit dari BBD Rp 339 juta. Tak berapa lama giliran PT Praya Dutayasa mendapat SPK dari Kabupaten Pandeglang untuk membangun gedung dan fasilitas olahraga di ibu kota kabupaten itu. Nilai SPK itu Rp 792 juta. Peter mendapat kredit BBD Rp 410 juta. Tujuh bulan setelah SPK itu turun, muncul surat kaleng ke BBD yang mengatakan SPK-SPK itu palsu. Kabar itu tentu saja mengagetkan. Sebab, sebelum meloloskan kredit itu, pihak BBD sudah mengecek kebenaran SPK itu di lapangan. Ketika pihak BBD mengecek ke Sukabumi, misalnya, Kepala Bagian Perekonomian Kodya Sukabumi, ketika itu, Isep Romli, mengatakan SPK itu benar ada. Bahkan Isep mengaku menandatangani sendiri SPK itu. Begitu pula order proyek di Pandeglang. Petugas BBD, yang diantar Peter ke kantor Kabupaten Pandeglang, bertemu Somawijaya, yang mengaku sebagai sekwilda setempat. Dalam percakapan di ruang tamu pemda, Somawijaya, yang pagi itu mengenakan seragam Korpri lengkap dengan lambangnya, mengatakan SPK itu betul ada. Kemudian, dengan alasan akan ada rapat, Somawijaya buru-buru pergi. Urusan diserahkan ke ajudannya. Belakangan ketahuan SPK yang dibuat Isep itu ternyata tanpa persetujuan atasannya, Wali Kota Sukabumi Zaenudin Mulaebery. Tentu saja ulah Isep itu membuat Zaenudin meradang. "Jika terbukti Isep bersalah, tak ada ampun lagi," katanya. Hanya saja Zaenudin menyayangkan keteledoran BBD. "Mestinya BBD sendiri teliti, dong, cek dulu pada kami," katanya. Lebih runyam lagi soal SPK Pandeglang. Ternyata, SPK itu tak pernah ada. Kedua orang pemda yang mengaku sekwilda dan ajudan tadi pun palsu. Keduanya sekarang buron. "Kasus ini masih kami usut," kata Bupati Pandeglang Moch. Zen. Mabes Polri, yang mengusut kasus itu, kini telah menahan Peter dan Isep, serta seorang yang diduga otak kejahatan itu, Hambali. Uang kredit itu, kabarnya, telah mereka bagi-bagi. Hambali, yang mendapat jatah terbesar, yaitu Rp 300 juta, konon menyimpan uangnya di rekeningnya Bank Bukopin Cabang Slipi Jakarta -- kini sudah diblokir Mabes Polri. Peter sendiri tak bersedia mengungkapkan jumlah yang merupakan jatahnya dalam kejahatan itu. Isep mengaku mendapat jatah Rp 45 juta. Peter, ketika ditemui wartawan TEMPO Gindo Tampubolon di Mabes Polri, mengatakan kasus ini bukan pembobolan bank. "Ini soal kredit macet. SPK itu kan hanya sebagai pelengkap," katanya. Biro Direksi bagian keamanan BBD Pusat, Sofyan Sumantri, mengakui pihaknya kecolongan. Ia menduga ada orang dalam terlibat, tapi tak bersedia menyebutkan namanya. Biasanya, kata Sofyan, mereka yang terlibat langsung dipanggil ke pusat. Kali ini mereka tak ada yang dipanggil. Ada keterlibatan orang pusat? "Bisa jadi," katanya pelan. Di Surabaya bandit bank kali ini menggerayangi bank-bank swasta. Sekurangnya ada empat bank swasta yang selama September-Oktober lalu dijebol bandit bank. Bank Danamon kebobolan Rp 17 juta, Bank Central Asia Rp 37,5 juta, Unibank kebobolan Rp 14 juta, dan Bank Universal Rp 16 juta. Pelakunya, komplotan Tan Boen Long, akhir Oktober lalu diringkus Poltabes Surabaya. Modus operandi komplotan Tan Boen Long sebenarnya biasa saja, tapi penampilan mereka meyakinkan. Tan Boen Long bersama sindikatnya, Tio San Gie dan Fek Hong, nampak paham betul liku-liku pengambilan giro bilyet. Di setiap bank sasaran komplotan itu membuka beberapa rekening dengan memakai banyak nama samaran dan KTP palsu. Pada 24 Oktober lalu, misalnya, pagi sekali seorang anggota komplotan, Herdi, muncul di Bank Danamon, Jalan Raya Darmo, Surabaya. Ia dengan tergesa-gesa mengkliringkan giro bilyet atas nama Suyono Wibisono yang jatuh tempo pada hari itu sebesar Rp 17 juta. Karena Herdi terburu-buru, petugas kasir tanpa mengecek lagi segera mencairkan giro itu. Baru siang harinya diketahui bahwa giro bilyet itu kosong. Herdi ternyata nama samaran Tio San Gie, sedangkan Suyono Wibisono nama samaran Tan Boen Long. Menurut Syaiful Bachri, anggota tim Perbanas Surabaya yang mengani masalah ini, kasus pembobolan gaya Tan Boen Long ini terjadi karena kesalahan bank yang over service. "Masalah ketelitian saja yang membuat bank-bank itu kebobolan," katanya pada Kelik Nugroho dari TEMPO. Melacak kejahatan perbankan memang unik karena, kata Hamim, biasanya pihak bank bungkam. "Setelah penjahat kabur, baru pihak bank datang ke polisi. Sikap bank ini jelas merepotkan," kata Hamim. Gatot Triyanto dan Riza Sofyat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus