BANTEN, mungkin sekali, pernah menjadi salah satu kota terbesar di Nusantara. Kota pesisir sekitar 80 km sebelah barat Jakarta itu pernah mengalami zaman keemasan, di pertengahan abad ke-16 sampai abad ke-17. Kemegahan Banten seperti dihidupkan kembali lewat buku The Sultanate of Banten, 71 halaman, terbitan Gramedia -- yang pekan-pekan ini mulai beredar. Kedutaan Prancis di Jakarta merupakan pendukung finansial utama bagi penerbitan buku sejarah berbahasa Inggris itu. Namun, dalam pelaksanaannya, proyek buku itu ditangani oleh EFEO, sebuah lembaga penelitian Prancis yang mengkaji sejarah serta kebudayaan Timur Jauh. Dalam beberapa perkara teknis, EFEO mendapat bantuan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Puslit (Arkenas). The Sultanate of Banten disusun oleh Dr. Claude Guillot, ahli fisologi dari EFEO. Dia dibantu Dr. Jacques Dumarcay, ahli renovasi bangunan sejarah yang pernah membantu pemugaran Candi Borobudur, dan Dr. Hasan H. Ambary, arkeolog dari Arkenas. Guna menandai peredaran buku itu, pekan lalu, Duta Besar Prancis Patrick O'Cornesse menyerahkan contoh edisi buku itu kepada Bupati Banten Mas Ahmad Sampurna. "Buku itu ditujukan bagi publik luas, dan ditulis dalam bahasa ilmiah-populer," tutur Dr. Marcel Bonnef, dari EFEO. Proyek buku itu merupakan bagian kecil dari kegiatan EFEO yang telah hadir di Indonesia sejak 1950. Dikisahkan dalam buku itu soal pembangunan Keraton Banten oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin. Mereka merebut bandar Banten dari raja Pajajaran, dengan bantuan Kerajaan Demak pada awal abad ke-16. Namun, pada perjalanan sejarah, Sunan Gunung Jati, yang juga ipar Sultan Trenggana, Demak, pulang ke Cirebon dan menyerahkan Banten kepada putranya. Banten pun tumbuh menjadi bandar yang ramai. Banyak pedagang Cina atau Arab bermukim di situ. Parfum Arab atau sutera Cina adalah komoditi yang mudah dijumpai di Banten. Perdagangan hasil bumi pun maju. Dalam catatan pelaut Belanda Cornelis de Houtman, yang berkunjung 1596 -- yang dikutip Hasan Ambary -- disebutkan bahwa pada saat kunjungannya itu, di bandar Banten berlabuh 26 perahu asing. Banten memang punya hubungan internasional yang luas. Dia menempatkan dutanya, antara lain, di Mekah dan London. Korespondensi resmi dilakukan ke Prancis, Denmark, Goa (India), Jepang, Cina, di samping negara tetangga seperti Siam dan Kamboja. Dalam lingkup "regional" Banten juga menjalin hubungan, antara lain, dengan Mataram dan Makassar. Peranan pedagang imigran keturunan Cina juga dibahas dalam buku ini. Mereka bermukim agak masuk ke pedalaman, di suatu tempat yang sekarang berdiri Kota Serang. Sebagian imigran dari Cina Selatan itu beragama Islam. Gambaran detail tentang situasi Banten diuraikan pula. Di situ disebutkan bahwa kota tua itu dihuni oleh sekitar 100 ribu penduduk di akhir abad ke-16, dan menjadi 150 ribu pada 1670-an. Namun, munculnya bandar Batavia, yang menjadi koloni Belanda sejak 1619, membuat pamor Banten turun secara berangsur. Di akhir abad ke-17 penduduknya tinggal 40 ribuan. Di samping kedua hal tadi, masih ada empat uraian lainnya -- tentang perdagangan lada, tebu, kehidupan agama Islam, hubungan antara Banten dan orang-orang Eropa. Secara umum, buku itu tak menawarkan kontroversi sejarah. Kendati demikian, dia tetap menarik. "Karena menampilkan catatan lama dari orang-orang Eropa yang pernah ke Banten," ujar Drs. Halwany Michrob, M.Sc., Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala untuk Jawa Barat-DKI-Lampung. Tapi judul The Sultanate of Banten, oleh Halwany, dinilai "terlalu berani". Dengan judul itu, mestinya, buku itu mengulas masa pemerintahan 21 raja Banten secara utuh. Putut Tri Husodo, Sri Indrayati, dan Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini