Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan Hanya Donald, Kata Putu Benum

Bekas kepala penjara Denpasar, I Putu Benum diadili karena tuduhan atas kaburnya 2 napi asing Donald dan David. Sejak dipenjara ke 2 napi memperoleh kelonggaran dan kemudahan. (hk)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU ini vonis bagi I Putu Benum. Bekas kepala penjara Denpasar (Bali) ini akan bebas atau harus masuk bui -- 'menggantikan' dua narapidana yang kabur dari bui yang diurusnya. Hakim Sof Larosa SH, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, memimpin majelis hakim untuk memutuskan: Seberapa jauh tanggungjawab kepala penjara ini atas minggatnya dua narapidana asing, Donald dan David, dari penjara dan terus mabur ke luar negeri? Cerita menarik ini dimulai sejak dua tahun lalu. Untuk penerbangan Singapura-Port Moresby, begitu dokumen resmi menyebutkan, Kapten Pilot Donald Andrew Ahern alias Donald Tait, 48, berkebangsaan Inggeris, transit dengan pesawatnya di lapangan terbang Ngurah Rai, Bali, 9 Agustus 1976. Dia ditemani ahli mesin David Allan Riffe, 36, berkebangsaan Amerika Serikat. Walaupun cuma mampir, begitu menurut petugas Bea Cukai, kedatangan orang-orang ini tak luput dari pengawasan. Apalagi Donald, kelihatannya, sengaja memarkir Cessna-nya jauh-jauh dari mata petugas BC. Benar saja. Dalam penyergapan singkat petugas BC membuktikan kecurigaannya: 20 karung ganja (664,10 kg), dikeluarkan dari perut pesawat bersama ratusan barang kerajinan perak dan lukisan. Sukses bagi BC -- sehingga Menteri Keuangan memberi penghargaan plagam dan uang kepada petugas yang menggerebek Donald & David. Rekening Koran Pebruari 1977, pengadilan memutuskan menghukum Donald 17 tahun penjara ditambah denda Rp 20 juta. David 7 tahun penjara dan denda juga Rp 20 juta. Hakim Ketua Larosa menganggap kedua terdakwanya tidak terbukti melakukan subversi karena mereka tidak menurunkan dan menyelundupkan barang bawaannya di sini. Hanya transit. Penjara Denpasar, tempat yang ditentukan bagi Donald dan David menjalani hukuman, memperlakukan narapidana asing ini secara istimewa. Donald mendapat kamar khusus. Belakangan Dirjen Bina Tuna Warga, Ibnu Susanto, menyatakan apa yang disebut kamar khusus ternyata berada di luar tembok penjara. Yaitu di lingkungan perumahan pejabat penjara dan dengan sendirinya tak terjangkau oleh mata pengawal di menara pengawas. Kelonggaran pengawalan memang sangat mengesankan narapidana asing ini seperti lepas dari pengawasan. Kemudahan-kemudahan juga diperoleh Donald secara berlebihan. Dia dapat ke luar-masuk kamar khusus itu, kapan saja dia mau. Dia bebas makan di restoran, belanja, menelepon ke luar negeri dari Kantor Telepon sampai piknik ke Sanur, Kuta, Gianyar atau Besakih. Tugasnya selama di bui enteng saja mengajar bahasa Inggeris bagi keluarga pegawai penjara. Bahkan cuci pakaian pun dia boleh nitip kepada narapidana lain. Narapidana Donald ini juga berhasil mempunyai rekening koran di bank. Rekeningnya itu dibuka berdasarkan surat pernyataan tidak berkeberatan dari Direktur LP, I Putu Benum SH sendiri. Berkali-kali ia membuka cek tanpa pernah diusut atau sekurang-kurangnya dilaporkan kepada yang lebih berwenang dari mana napi itu memperoleh uang banyak -- sedangkan uang di kantongnya disita pengadilan? David juga tak menderita di dalam bui. Dari LP Denpasar ia dipindahkan ke LP Amplapura di Karangasem. Petugas di sana, masih di bawah LP Denpasar, mendapat wanti-wanti dari Putu Benum agar menjaga David baik-baik. Pesan itu sangat diindahkan. Seperti juga rekannya di Denpasar, di sinipun David bebas keluar-masuk penjara. Tugasnya hanya membetulkan mesin penyosohan beras milik penjara. Kategori B1 Kelonggaran dan kemudahan yang diperoleh kedua narapidana berat ini, kategori B1, memang sangat menyolok. Sampai Kepala Kepolisian RI Nusatenggara, 18 Mei 1977, perlu memperingatkan Kepala Penjara, I Putu Benum: Donald adalah terhukum perkara narkotika yang didalangi suatu sindikat internasional yang tengah dalam penyelidikan. Donald dan David tak usah lama menunggu hari pembebasan di sini. Penjara yang tak pernah mengurungnya itu hanya dihuninya 5 bulan. Untuk urusan warisan, katanya, Putu Benum meninggalkan penjara 9 Juli 1977, menuju Palu. Sehari kemudian, 10 Juli, petugas penjara Denpasar kehilangan Donald dan Amplapura ditinggalkan David juga. Mula-mula keduanya dicari di sekitar Bali saja. Pada waktu Donald dan David sudah sampai entah ke mana (lihat box), 11 Juli, penjara menyebarkan selebaran wanted bagi keduanya. Namun sia-sia. Siapa bertanggungjawab? Putu Benum punya alibi yang dianggapnya cukup kuat ia tak berada dalam tugasnya ketika Donald dan David kabur. Dia berharap, seperti dikemukakan dalam pembelaannya kemudian, sipir-sipir bui yang bertugas ketika itulah yang harus dimintai pertanggungjawaban. Tapi Laksusda, CPM dan Polri tetap berat mengusut dia sebagai terdakwa. Sejak Oktober tahun lalu Hakim Sof Larosa mengadilinya. Jaksa menuduhnya untuk kejahatan subversi, sengaja melepaskan narapidana dalam tindak pidana narkotika. 5 Tahun Kesaksian umumnya memberatkan terdakwa. Seperti misalnya yang dikemukakan Soeroso Hardiwinoto Kepala Bagian Keamanan LP Denpasar. Orang ini ditugasi Benum untuk mengetik surat pernyataan tidak berkeberatan bagi Donald menjadi nasabah bank. Konsep surat dari Benum sendiri. Katanya, dia sudah pernah mengingatkan atasannya hal yang demikian itu tidak lazim. Namun dia juga akhirnya yang pernah bertugas menguangkan cek Donald sebesar Rp 205 ribu. Untuk apa? Katanya untuk mendirikan rumah sakit dan apotik. Kesaksian Ibrahim Ali, menurut jaksa, juga memberatkan terdakwa. Dia, katanya, didesak atasannya untuk segera mengeluarkan Donald dari lingkup tembok penjara dan menempatkannya di kamar khusus. Bagaimana dengan surat peringatan Kadapol? Putu Benum, katanya, ringan saja menjawab: "Itu urusan intern kita." I Nyoman Susanta, Pimpinan LP Amplapura, juga memperlakukan David istimewa. Sebab dia sudah dipesan begitu oleh atasannya. Putu Benum memang tak terbukti tersangkut urusan narkotika. "Demikian secara jujur harus kami akui," kata jaksa sambil mencabut tuduhannya sendiri. Namun serangkaian perbuatannya tadi menurut jaksa telah berakibat serius merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah. Subversi. Untuk itu, 30 Nopember lalu Jaksa I Gusti Gede Alit SH menuntutnya 5 tahun penjara. Pembelaan Putu Benum merupakan pleidoi yang menarik. Dia mempertanyakan: apakah kepergiannya ke Palu yang mengakibatkan Donald dan David lari dari penjara? Kepergiannya, katanya, seizin Kepala Kanwil Ditjen BTW, atasannya. Pun, segala sesuatu yang menyangkut pekerjaannya, juga telah diserahkan kepada bawahannya dengan satu nota dinas. "Penyerahan itu tidak kami sertai pembatasan atau pengurangan wewenang apapun." Termasuk uga wewenang mengawasi narapidana. Jadi kepergiannya harusnya tidak mengurangi berfungsinya aparat keamanan yang ditinggalkan. Dengan begitu Putu Benum berpendapat, dia punya alibi yang cukup untuk bebas dari dakwaan. Pengawal dan petugas keamananlah yang harus mempertanggungjawabkan kaburnya Donald dan David. Penempatan di kamar khusus, katanya, bukan hal istimewa yang hanya diterima Donald saja. Sebelum dia, bahkan sebelum Putu Benum sendiri duduk sebagai Kepala Penjara Denpasar, telah banyak narapidana ditempatkan di sana. Sedangkan keleluasaan Donald ke luar-masuk penjara, tanggungjawab bawahannya misalnya Kabag Keamanan. Sedangkan pembelanya, Azhar Achmad SH dari Jakarta, berpendapat tuduhan kepada kliennya itu hanyalah untuk mencari kambing hitam saja. Sebab bagaimana pun keberhasilan Donald dan David meninggalkan bui kemudian lolos dari Bali dan terbang ke luar negeri, katanya, tentu harus ada yang disalahkan. Mengapa Putu Benum yang harus bertanggungjawab -- sementara ia tak berada di tempat waktu narapidana asing itu kabur? Minggatnya Donald dan David, menurut pembela ini, menyangkut kelalaian seluruh aparat keamanan di Bali. Misalnya, "kalau sekiranya pengawasan petugas imigrasi cukup ketat, biar bagaimana pun Donald dan David tak akan bisa lari dari Indonesia melalui pelabuhan resmi," begitu tuduh Azhar. Biarlah Hakim Larosa yang menimbang dan memutuskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus