Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI kini, tambang emas Busang dan I.B. Sudjana, mantan Menteri Pertambangan dan Energi, belum juga terpisahkan. Padahal, skandal Busang sudah hampir dilupakan orang. Namun, ceritanya bukan lagi mengenai kontroversi kandungan emas sebesar 70 juta ons, melainkan gugatan Rp 1 triliun yang diajukan I.B. Sudjana kepada Bondan Winarno, penulis buku Bre-X, Sebongkah Emas di Kaki Pelangi.
Menurut Nengah Darmawan, kuasa hukum Sudjana, pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, sebagian besar isi buku itu melenceng. Misalnya, konklusi Bondan tentang "kesalahan" pada proyek kerja sama antara Bre-X dan mitra domestik PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Pada halaman 186 buku itu disebutkan bahwa masalah Busang merupakan kelemahan Sudjana. Dan tidak hanya itu. Bondan menulis sikap inkonsisten Sudjana, yang dikatakan telah meminta PT Tambang Batu Bara Bukit Asam agar menyetor dana Rp 50 miliar ke rekening Sudjana.
Selain itu, pada buku yang dipasarkan sejak Juni silam, kepribadian Sudjana tak luput dari sorotan. Sudjana dikatakan kurang pintar berbahasa Inggris dan daya ingatnya pendek. Gaya bicaranya kurang mengesankan dan sikapnya kurang manusiawi.
Sudjana tentu tidak bisa menerima tulisan Bondan tersebut. "Isi buku itu telah mencemarkan nama baik Sudjana," ucap Nengah Darmawan. Rekan Nengah, Furqon W. Auton, menambahkan bahwa Bondan tak pernah menghubungi Sudjana untuk mengonfirmasi bahan tulisannya.
Berdasarkan hal itu, Sudjana menuntut ganti rugi kepada Bondan. Jumlahnya tak tangung-tanggung, mencapai Rp 1 triliun. Selain itu, Bondan juga dituntut agar memasang iklan permintaan maaf pada 10 media cetak di Jakarta dan dua koran di Bali.
Untuk sebuah nama baik, tuntutan itu bisa dianggap wajar. Apalagi bagi Sudjana yang pernah menjabat sebagai menteri, selain menyandang beberapa jabatan seperti Presiden OPEC, Ketua Delegasi APEC Energy, dan Ketua Umum Alumni Lemhannas.
Tuntutan Rp 1 triliun itu, tak bisa tidak, membuat Bondan sulit tidur. "Wah, stres juga. Angka nolnya saja ada dua belas," ujar Bondan, yang kini menjadi konsultan Bank Dunia di Jakarta.
Tampaknya, Bondan akan melayani gugatan Sudjana. Ia bersikeras bahwa isi buku itu sesuai dengan faktanya. Contohnya, soal Sudjana meminta dana Rp 50 miliar dari Bukit Asam. "Tapi saya hanya bilang soal dana itu dihebohkan. Saya tak bilang ia korupsi," katanya.
Ternyata, pada masa "keterbukaan" sekarang, buku-buku yang mengulas peristiwa aktual silih berganti diterbitkan. Otobiografi Letjen M. Jasin baru-baru ini, misalnya, antara lain mengungkap sisi lain dari bekas kepala Bulog, Bustanil Arifin. Bustanil belum menggugat. Tapi, Probosutedjo, pengusaha yang adik tiri mantan presiden Soeharto itu, telah pula melayangkan gugatan kepada George Junus Aditjondro, penulis buku Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari.
Probo menganggap isi buku itu telah menistanya. "Saya dituduh membakar hutan. Kata-kata pribumi yang saya gunakan disebutnya hanya untuk mencari popularitas. Wah, mitra bisnis saya bisa ketakutan. Usaha saya bisa berantakan," tutur Probo kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO.
Rabu pekan lalu, Probo menuntut George memberikan ganti rugi sebesar Rp 500 miliar. Bersamaan dengan itu, Heri Gagarin, fotografer harian Merdeka, juga menuntut ganti rugi Rp 100 juta kepada PT Gema Insani Press, penerbit buku Suara Amien Rais Suara Rakyat. Mengapa? Menurut Heri, foto karyanya telah dimuat di buku itu tanpa seizin dan sepengetahuannya.
Kini, dalam semangat menegakkan hukum dan keadilan, beberapa gugatan--terutama yang menyangkut pencemaran nama baik--kian sering dilakukan, mulai dari tuntutan Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid kepada harian Merdeka dan majalah Sinar sampai tuntutan Probo kepada George Aditjondro. Bukan tidak mungkin, setelah kasus Busang dengan buku karya Bondan itu, akan muncul berbagai gugatan lain.
Ma’ruf Samudra dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo