PENYELESAIAN sengketa bisnis tidak mesti lewat pengadilan. Pihak-pihak bersengketa bisa memilih peradilan "swasta" yang disebut lembaga arbitrase (perwasitan) atau juru damai. Selain menghemat waktu dan biaya, proses arbitrase juga tak "mengunyah saraf". Pada arbitrase, kerahasiaan perkara terjaga, sehingga yang kalah tak tercemar reputasinya. Para wasit pun harus menjunjung etika profesi untuk merahasiakan perkara.
Semula, arbitrase dikenal dalam hukum Inggris. Di Indonesia, seperti dikatakan Ketua Badan Arbitrase Indonesia (Bani) Prof. Dr. Priyatna Abulrrasjid, sudah lama dikenal budaya musyawarah (perdamaian). Memang, hukum arbitrase modern kemudian dimodifikasi setelah Indonesia meratifikasi berbagai konvensi internasional arbitrase.
Sesuai dengan Undang-Undang Kehakiman Tahun 1970 dan Undang-Undang Mahkamah Agung Tahun 1985, penyelesaian lewat arbitrase memang dimungkinkan. Tak seperti pada proses pengadilan, landasan kerja arbitrase bukan yuridis formal, tapi kewajaran, keadilan, dan kepatutan. Modelnya berupa gabungan dari proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
Penunjukan wasit bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, sesudah timbul sengketa para pihak menunjuk wasit atau pengadilan yang menentukan proses arbitrase. Kedua, para pihak mencantumkan ketentuan arbitrase pada perjanjian mereka.
Wasit bisa perorangan atau lembaga. Untuk arbitrase lembaga, di Indonesia ada Bani (berdiri tahun 1977) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (berdiri tahun 1993). Di tingkat internasional, ada International Chamber of Commerce di Paris, International Center for Settlement of Investment Disputes di Washington, dan United Nations Commission on International Trade Law di Jenewa.
Arbitrase dilakukan oleh tiga orang wasit, masing-masing seorang wasit pilihan kedua pihak dan seorang wasit ketua yang ditunjuk para pihak. Putusan arbitrase di Indonesia ataupun di luar negeri bersifat timbal balik. Artinya, sama-sama bisa dieksekusi sebagaiman vonis pengadilan, di Indonesia maupun di luar negeri.
Vonis arbitrase bersifat "terakhir dan mengikat" (final and binding). Jadi, tak bisa digugat lagi. Dari 200 perkara yang pernah ditangani Bani, menurut Prof. Priyatna kepada Arif A. Kuswardono dari TEMPO, amat sedikit yang bermasalah dan tak bisa dieksekusi. Itu sebabnya, menurut Priyatna, proses kepailitan pun bisa diupayakan perdamaiannya lewat arbitrase.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini