Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memperjuangkan Tanah Ulayat

Masyarakat adat di berbagai daerah sering dilangkahi pengusaha dan tanah milik mereka dikuasai. Alasannya: pembangunan. Kini mereka menuntut balik.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB masyarakat adat sudah lama terancam. Derap pembangunan dan ambisi industrialisasi telah lama "membungkam" mereka. Lembaga adat, yang merupakan warisan masyarakat tradisional, juga tidak memiliki peluang untuk mengaktualkan diri. Sesekali lembaga adat dirangkul oleh aparat--misalnya menjelang pemilihan umum--dan ditampilkan ke depan. Tapi, setelah tidak diperlukan, lembaga ini pun terlupakan.

Seiring dengan peran adat yang dipreteli, tanah adat juga berangsur lepas dari genggaman mereka. Para tetua adat di jantung Kalimantan, misalnya, hampir tidak berkutik menghadapi dominasi pengusaha kayu, yang selalu menggunakan hak pengusahaan hutan sebagai "senjata" mereka. Masyarakat setempat yang terbiasa hidup dalam suatu ruang lingkup yang luas, yang selama ini dianggap sebagai warisan nenek moyang, tiba-tiba dibuat tak berdaya oleh tindakan para pengusaha itu. Mereka hanya menonton bagaimana hutan yang merupakan wilayah adat itu ditebang dan lenyap dari muka bumi. Mereka kehilangan liebensraum-nya dan tidak siap membangun kehidupan di tempat lain, dengan cara yang lain. Akhirnya mereka menjadi orang miskin baru, yang hak-haknya dilindas oleh derap pembangunan. Para pejabat cenderung tidak bersikap melindungi, sedangkan masyarakat adat umumnya tidak memiliki bukti tertulis--sertifikat tanah, misalnya--yang bisa digunakan untuk mempertahankan hak mereka yang turun-temurun.

Padahal, hak atas tanah (hak ulayat), kendati tak berwujud bukti tertulis, sangat diakui dan dihormati oleh masyarakat setempat. Lagi pula, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tapi juga memiliki dimensi magis yang mencakup masa lalu, kini, dan mendatang, termasuk aspek keseimbangan alam. Namun, selama 32 tahun Orde Baru, tanah hak ulayat dari Sabang sampai Merauke semakin menciut. Hak masyarakat adat untuk mempertahankan lahannya, juga hak untuk memperoleh ganti rugi secara adil, dinafikan.

Walhasil, tak terhindarkan lagi konflik tanah ulayat. Di Timika, Irianjaya, contohnya, muncul kasus tanah suku Amungme dan Kamoro, yang tercemar gara-gara limbah industri pertambangan PT Freeport Indonesia. Dan bukan rahasia lagi bahwa tanah luas milik suku Dayak di Kalimantan, satu per satu, digulung ekspansi bisnis kehutanan.

Di Sumatra, setidaknya ada kasus tanah Sugapa, yang berkaitan dengan hutan tanaman industri. Juga ada kasus tanah Segara di Garus, Jawa Barat, yang diklaim sebagai hutan milik Perhutani. Dan di Bali, ramai dipersoalkan kasus tanah pemukiman penduduk di Sumber Klampok, yang dinyatakan sebagai kawasan taman nasional.

Masih banyak lagi kasus tanah ulayat, dan semuanya dipaparkan lengkap pada pertemuan 17 lembaga swadaya masyarakat yang berlangsung selama empat hari di Manado, akhir Oktober lalu. Pada acara itu, selain politik pembangunan ekonomi, yang juga dianggap menyingkirkan hak ulayat adalah hegemoni pemerintahan sentralistik--yang diperkuat oleh pendekatan keamanan.

Penolakan dan protes masyarakat adat bukannya tidak ada. Di Desa Semadang, Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya. Pada Agustus 1997, masyarakat setempat menolak rencana perkebunan kelapa sawit dari PT Bakrie & Brothers. Di Desa Abubu, Pulau Nusa Laut, Maluku, masyarakat juga menampik proyek pertambangan yang dikhawatirkan akan melenyapkan tempat keramat mereka. Bahkan beberapa pengusaha di Kalimantan Barat dikenai sanksi denda oleh para tetua adat. Sebab, "Mereka telah melanggar tapal batas kawasan adat, melecehkan pemuka masyarakat dan tokoh adat," kata Ita Natalia dari Yayasan Sosial Pancur Kasih, Pontianak, Kalimantan Barat. Dendanya berupa uang tunai--ada yang sampai Rp 150 juta--pembuatan jalan dan lapangan sepak bola.

Sekalipun pernah berhasil, jumlah kasus masyarakat adat yang bisa mempertahankan hak ulayatnya tak seberapa ketimbang "yang kalah" oleh pembangunan. Sebab itu, pada acara 17 lembaga swadaya masyarakat di Manado itu, tetap dituntut adanya reformasi hukum pertanahan (agraria) yang lebih berpihak pada hak masyarakat adat.

Bila ditunda-tunda, keadaan bisa lebih buruk. "Dengan melambungnya harga-harga, kecemburuan rakyat yang selama ini dimarginalkan oleh pembangunan bisa memuncak," tutur Lori dari Yayasan Hualopu, Ambon.

Sampai kini, memang belum ada beleid konkret dari pemerintah tentang tanah ulayat. Yang ada hanyalah janji dari Menteri Negara Agraria Hasan Basri Durin, yang akan segera menyempurnakan aspek hukum tanah ulayat. Sebenarnya, "Undang-Undang Agraria Tahun 1960 sudah mengakui hak ulayat. Mungkin implementasinya yang salah," tutur Made Gunawan, bawahan Menteri Hasan Basri Durin.

Hp. S., Ahmad Fuadi (Jakarta) dan Verrianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus