Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunanan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengkritisi Pasal yang digunaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh PT Hive Five. Pasal 36 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2016 yang didakwakan dianggap sudah tidak berlaku. "Sudah tidak berlaku karena sudah direvisi," ujar Ketua PBHI, Julius Ibrani, Kamis, 19 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Septia dilaporkan atas tuduhan dugaan pencemaran nama baik kepada pemilik PT Hive Five, Henry Kurnia Adhi atau lebih dikenal dengan nama John LBF. Ia mengkritik upah di perusahaan tersebut yang di bawah UMR, upah lembur yang tidak dibayar, jam kerja yang melebihi 8 jam hingga pemotongan gaji sepihak yang dilakukan perusahaan. Kritik itu diungkapkan Septia lewat akun media sosial pribadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Julius menekankan, UU ITE telah direvisi pada 2024, sehingga penuntutan dengan UU sebelumnya tidak berlaku. "Kenapa Septia harus bebas, pertama ia didakwa menggunakan Pasal yang tidak berlaku lagi," tegasnya.
Pembacaan dakwaan telah digelar pada 17 September 2024 lalu. Septia sendiri sudah ditahan sejak 26 Agustus 2024. Kuasa hukum sudah mengajukan penangguhan penahanan, namun permohonan tidak kunjuk digubris.
Pada 5 September lalu, tim advokasi Septia yang terdiri dari PBHI, dan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) mendatangi gedung Kejaksaan Agung untuk menuntut agar Septia dibebaskan dari Tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut mereka, Septia bersikap koperatif selama pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Sehingga tidak perlu dilakukan penahanan. Sementara, pada saat persidangan pembacaan dakwaan kemarin, hakim beralasan penundaan penagguhan penahanan dikarenakan komposisi hakim tidak lengkap.
Dalam surat dakwaan yang dimuat di website SIPP PN Jakpus, John LBF mengatakan, telah mengalami kerugian materil akibat cuitan yang diunggah Septia. Yakni, batalnya kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan lain. Ia juga mengaku merugi Rp 100 juta untuk kerja sama jasa hukum ketenagakerjaan.