PERANG di Teluk Persia menjerat banyak jiwa manusia. Namun, yang membuat gundah para ahli Amerika bukan jumlah yang tewas. Tapi justru nasib para serdadu yang masih punya nyawa serap di medan laga. Dengan pakaian pelindung antisenjata kimia, malah itu dinilai bakal meningkatkan jumlah penderita sakit jiwa. Ini diungkap oleh Dr. Matthew Friedman, seperti dilaporkan wartawan The New York Times Selasa pekan lampau. Friedman, ahli jiwa kawakan di Departemen Pertahanan AS, bertugas sebagai koordinator penanganan korban di Teluk Persia. Memang, belum kentara bahwa para serdadu yang luput dari hidung rudal sudah diserang kelainan jiwa. Namun, belajar dari pengalaman perang terdahulu, seperti Perang Dunia, Perang Vietnam, dan sejumlah pertempuran di Timur Tengah, para ahli jiwa kemiliteran diterjunkan untuk menangani gangguan keletihan perang (battle Fatigue). Salah satu gejala dini battle fatigue adalah si penderita bersikap apatis -- suatu gejala umum, ketimbang panik atau resah tak keruan. Itu sebabnya, Friedman menyarankan agar mereka diberi istirahat yang cukup. Jika jatah istirahat diabaikan, yang dicemaskan dalam jangka pendek adalah gangguan "keletihan perang". Sedangkan untuk jangka panjang, mereka menjadi pemurung karena merasa sebagai penderita cacat mental. Selain itu, baju anti kimia yang membalut seluruh tubuh mengakibatkan mereka kurang beroleh cahaya matahari. Padahal, kata para ahli, perilaku manusia erat kaitannya dengan perubahan cahaya yang diterima tubuhnya. Cahaya sebagai sumber hayati tak hanya berperan bagi kesehatan raga, tapi lebih-lebih terhadap kestabilan jiwa. Penelitian modern mengenai kaitan cahaya dengan olah raga baru awal tahun 80-an dilakukan secara intensif. Yaitu ketika seorang ahli mesin bernama Herb Kern berobat di klinik jiwa Institut Kesehatan Mental Nasional di AS. Ia mengidap penyakit murung yang kambuhan. Dalam penelitian Thomas Wehr, kepala klinik itu, penderitaan Kern berkaitan dengan perubahan cahaya dan musim. Dan seperti diungkapkan majalah American Health edisi terbaru, yang membuat Wehr serta sejawatnya, Dr. Alfred Lewy, makin terkesiap adalah: sepertiga dari pasien yang mereka tangani itu mengalami emosi yang naik turun secara teratur. Kemudian mereka mengaitkan dengan perubahan musim tiap tahun. Itu yang kemudian dikenal sebagai penyakit akibat kelainan pengaruh musim (seasonal affective disorder), sebuah pola depresi, dan kadang-kadang mania. Meski muncul sekali setahun, akibatnya ternyata serius pada sekitar 10% penduduk yang bermukim di belahan utara bumi. Serangkaian studi baru membuktikan, ada musim-musim yang men- jengkelkan bagi banyak penduduk. Lebih dari 50% penghuni perkotaan di kawasan utara, seperti Boston, New York, dan Chicago, bila datang musim dingin, menunjukkan perubahan mencolok dalam kegairahan dan suasana hati (mood). Sebagian besar korban depresi musim dingin itu adalah akibat merosotnya cahaya matahari. Tapi sebagian kecil penderita mengeluh di musim panas. Soalnya justru mengenai faktor kelembapan dan hawa panas. Merosotnya kadar cahaya tiap tahun inilah yang memantik kumatnya kesenduan di musim dingin. Pernah dicoba dengan cahaya buatan untuk menanggulanginya. Misalnya dengan menggunakan lampu seperti panel phototherapy. Hasilnya berbeda dengan cahaya asli, yaitu ada efek sampingnya: kepala nyut-nyutan, gangguan di mata, dan insomnia alias susah tidur. Secara biologis mekanisme tubuh manusia bekerja mengantisipasi perubahan cahaya dan suhu, yang mengalami pasang surut selama 24 jam. Ini dikenal dengan istilah irama sirkadian -- yang memungkinkan manusia menjadi aktif dan awas di kala cahaya cemerlang siang hari, dan siap istirahat di saat tirai malam menyelimuti bumi. Sebab, dalam berkas otak terdapat pengukur cahaya (light meter) atau jam biologis penghitung jangka hari. Memang, sejauh ini diakui belum diketahui secara tepat otak menerjemahkan cahaya jadi "bahasa perilaku". Paling banter, secara populer bisa diterangkan bahwa cahaya menerobos lewat retina, menyentuh denyut saraf yang mengantarnya ke otak. Kemudian, lewat saraf serambut dibelah tujuh yang tak ada urusan dengan indera pengolah citra, semuanya berfungsi langsung sebagai light meter. Denyut susunan saraf tadi mengirimnya ke front hipotalamus, yang disebut Wehr sebagai stasiun pusat terbesar dari segala macam perilaku penting. Ini termasuk suasana hati, lapar, mengantuk, dan libido. Terminal saraf ini secepatnya mengirim informasi cahaya itu kepada kelenjar pineal. Sejauh ini kelenjar pineal masih merupakan misteri dalam struktur otak manusia hingga diberi julukan mistis sebagai "mata ketiga". Kemungkinan adanya misteri baru lagi -- dalam hubungan manusia dengan cahaya -- boleh jadi timbul dari kancah Perang Teluk Persia. "Kecamuk Perang Teluk dapat mempengaruhi pola cuaca global, bila awan yang dibentuk energi dan partikel mesin perang di kawasan itu menembus lapisan stratosfer," kata Dr. Bayong T. Hanggoro Kasih, ahli fisika atmosfer Institut Teknologi Bandung, seperti dikutip Antara pekan lalu. Kini, setelah langit di bumi kita yang semata wayang ini makin diselaputi asap perang dari Teluk Persia, maka tidak mustahil kadar cahaya alam ikut merosot lagi. Padahal, tanpa diusik oleh kepulan racun rudal, baik dari Saddam Hussein maupun George Bush, perubahan alam yang lumrah saja sudah mengakibatkan manusia berperangai ganjil. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini