Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Tangkas berpikir, luwes bertindak

K.h. achmad siddiq meninggal dunia dalam usia 65 tahun di rsud dr soetomo, surabaya karena komplikasi diabetes. ia adalah salah seorang ulama besar yang kedua kalinya terpilih sebagai rais am syuriah pbnu.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NU akhirnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam muktamarnya di Situbondo 1984. Ini tak lain adalah berkat pendekatan K.H. Achmad Siddiq dengan para ulama dalam musyawarah nasional alim-ulama NU setahun sebelumnya. "Kita sudah lama memakai Pancasila sebagai dasar negara. Jadi, mengapa baru sekarang kita membicarakan halal-haramnya? Lalu bagaimana nasib para syuhada yang sudah gugur? Kalau kita menolak, bagaimana nasib mereka di mata hukum Islam?" katanya ketika itu. Kiai yang tangkas berpikir dan berpandangan jauh ke depan itu Rabu pekan lalu berpulang ke rahmatullah di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, dalam usia 65 tahun, karena komplikasi diabetes. Ia merupakan salah seorang ulama besar yang untuk kedua kalinya terpilih sebagai Rais Am Syuriah PB NU dalam muktamar Yogya dua tahun silam. Lahir di Jember, Jawa Timur, pada 24 Januari 1926, ia wafat persis sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-65. Kiai yang bersaudara 26 orang itu adalah putra bungsu dari ibunda kedua. Almarhum yang pernah menjadi anggota DPA dan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional itu meninggalkan seorang istri, 13 anak, dan 18 cucu. Sesuai dengan wasiat almarhum, jenazahnya dikebumikan di makam Aulia (para wali), di Dukuh Tambak, Kecamatan Mojo, Kediri. Itu adalah kubur para kiai yang rata-rata penganut tasawuf, termasuk Kiai Achmad dan kebanyakan ulama NU yang lain. Ajaran yang sangat dikenal di kalangan NU berasal dari Imam Ghazali dan Syeh Abdul Qadir Jaelani. Tasawuf ini antara lain mengajarkan zikir sebagai salah satu ibadah, yang oleh Kiai Achmad diajarkan dalam kumpulan Dzikr al-Ghafilin (Pengingat para Pelupa) yang diikuti ribuan santri. Ibadah zikir juga merupakan ciri Pesantren Ploso, Kediri, pimpinan almarhum K.H. Zainuddin Djazuli. Dan hubungan spiritual antara Kiai Achmad sebagai pengasuh Pesantren As-Shiddiqiyyah di Jember dan Kiai Zainuddin memang erat. Itu sebabnya Kiai Achmad berwasiat minta dimakamkan di Ploso. Ketokohan al-Faqir -- begitu Kiai Achmad menyebut dirinya dengan merendah sebagai ciri seorang sufi -- setara dengan para kiai lainnya. Tak heran bila puluhan ribu umat menyemut bertakziah (melayat), di Jember dan Kediri, diwarnai gumam surah Al Ikhlas dan bermacam doa. Dunia tasawuf dan pribadi para kiai biasanya tak lepas dari hal-hal yang gaib. Kiai Achmad sendiri mengakuinya. "NU memang tak bisa lepas dengan hal-hal gaib," katanya. Ada beberapa pengalaman gaib Kiai Achmad -- yang bahkan menyangkut urusan politik. Misalnya dalam pemilihan Rais Am Syuriah PB NU dalam muktamar Yogya 1989. Seminggu sebelum muktamar, K.H. Hamim Djazuli, 50 tahun, putra Kiai Zainuddin Djazuli, memberi tahu bahwa Kiai Achmad akan terpilih lagi. Ada cerita gaib lain yang dialami oleh Kiai Achmad, terutama yang berasal dari Gus Miek, panggilan akrab K.H. Hamim Djazuli. Menurut Abdurrahman Wahid, Ketua Tanfiziah PB NU, beberapa hari sebelum Kiai Achmad wafat, Gus Miek mengatakan kepadanya bahwa NU harus siap mencari rais am yang baru.... Ada satu sumbangan Kiai Achmad yang sangat berharga bagi NU. Salah satu keputusan terpenting muktamar Situbondo yakni kembali ke Khittah 1926. Ini berarti bahwa NU tak lagi berurusan dengan politik praktis. NU kembali membenahi pendidikan yang berbasis pesantren. Gagasan itu merupakan antisipasi perkembangan politik yang realistis dan cocok dengan akar sejarah NU. Selain menulis dua buku (Arah Perjuangan NU dan Ahlu Sunnah wal Jama'ah), Kiai juga menulis beberapa brosur mengenai politik dan kenegaraan, termasuk Khithah Nahdhiyyin. Kapasitas ketokohan Kiai Achmad seperti inilah yang berhasil membenahi dan membangkitkan kembali NU sebagai "gerakan kaum ulama" yang berbasis pesantren tradisional. Sehari setelah terpilih kembali sebagai Rais Am Syuriah PB NU dalam muktamar Yogya, ia berkata, "Harus diakui, NU itu kan belum 100% organisasi internasional. Kekuatannya terletak pada dukungan masyarakat, terutama para kiai. Ini tidak bisa disangkal." Dan kepemimpinannya juga berhasil menjadi jembatan antara golongan tua dan muda dalam tubuh NU. Ia berhasil mendamaikan perbedaan pendapat yang tajam antara K.H.R. As'ad Syamsul Arifin, yang dua tahun lalu wafat dalam usia 95 tahun, dan K.H. Abdurrahman Wahid, 50 tahun. Kiai Achmad sebenarnya ingin membentuk trio kepemimpinan NU yakni Kiai As'ad yang mewakili ulama sepuh, Gus Dur yang mewakili kaum muda, dan dia sendiri. Sikap luwes dan realistis seperti itu juga tampak ketika pada 1989 ia melontarkan gagasannya "menggandeng" Muhammadiyah, bersama-sama menggalakkan dakwah. Ini gebrakan luar biasa, setelah hampir setengah abad kedua organisasi ini boleh dikatakan "tak saling menegur". Muhammadiyah, yang berdiri 1912, antara lain bertujuan "memurnikan" Islam, kembali ke Quran dan hadis (tanpa mazhab). Sementara itu, NU yang dibentuk 1926, justru memelihara tradisi ahlus sunnah wal jama'ah dengan mazhab Syafii. "Tapi dalam musyawarah besar NU di Cilacap, Kiai Achmad menegaskan perlunya NU kembali pada Quran-hadis dan tak usah memperbesar soal bidah. Otomatis NU sudah gandeng dengan Muhammadiyah," kata K.H.A.R. Fachruddin, bekas Ketua PP Muhammadiyah. Keluwesan Kiai Achmad antara lain juga tampak pada kegemarannya, yang agaknya jarang dimiliki oleh sembarang kiai. Ia penikmat musik yang baik. "Musik itu kan keindahan yang universal. Apalagi saya ini sentimentil," katanya suatu hari. Ia punya koleksi sejumlah kaset. Mulai dari alunan suara emas penyanyi Mesir yang legendaris, Ummi Kaltsum, karya-karya Beethoven, lagu pop Barat seperti Michael Jackson, sampai lagu Mandarin dan Jepang. "Saya selalu mencari di mana letak keindahannya," katanya. Wahyu Muryadi (Jakarta), R. Fadjri (Yogya), Kelik M. Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus