MENDIRIKAN pabrik di luar Jawa -- apalagi di tempat terpencil
seperti Timor -- memang banyak tantangannya. Ini dialami oleh PT
Komodo Timor Jaya, yang 4 tahun lalu mencoba mendirikan pabrik
kulit di SoE, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Selain tidak
berhasil mendapatkan kredit Lewat cabang-cabang bank swasta &
pemerintah di Kupang, pabrik yang menempati tanah seluas 4 Ha
itu mendapat tentangan penduduk sekitarnya karena polusi bau
kulit sapi. Padahal wakil presdir pabrik itu tak kurang dari
Kusa Nope, Bupati TTS yang juga bekas Raja SoE, tempat pabrik
itu didirikan.
Dengan alasan mempermudah mencari kredit, minggu lalu para
pemegang saham PT Komodo Timor Jaya memutuskan memindahkan
kantor pusat dari Kupang ke Jakarta. Sedang proyek pabrik kulit
baru yang akan menelan biaya Rp 600 juta, tetap akan berlokasi
di Timor. Kusa Nope -- yang sebagai pegawai negeri menaati
larangan Presiden untuk berusaha di bidang swasta --
mengundurkan diri. Sedang untuk mengepalai cabang Kupang
ditunjuk Bastian Sine. Pemindahan kantor pusat ke Jakarta
sekaligus mempererat tali kendali di tangan para pemegang saham
Djakfar Djunaidy (alias Liu Yen Pin) dan anak-anaknya -- yang
juga memiliki pabrik kulit terbesar di Jakarta, PT Pan Vici di
Cakung.
Djakfar, 65 tahun, selama 46 tahun berusaha di bidang
perkulitan. "Yah, sava hidup dari kulit dan nantinya akan mati
juga jadi kulit", katanya berkelakar pada TEMPO. Tahun 1935, dia
sudah mendirikan pabrik kulit Victory di Jakarta Kota. Dua tahun
lalu mesin-mesin pabrik kulit Victory yang sudah tua sebagian
dijual. Kemudian dibangun pabrik kulit yang baru di kawasan
industri Cakung. Maka tahun lalu berdirilah pabrik kulit PT Pan
Vici yang sudah mampu menghasilkan 20 ribu kaki persegi kulit
matang setiap hari, dengan omset bulanan antara Rp 50 s/d 100
juta. Langganannya yang terbesar adalah Hankam, yang sekali
order memesan 10 ribu kaki persegi kulit matang untuk bahan baku
sepatu ABRI
Di pasaran luar negeri, Pan Vici tetap menjual kulitnya dengan
merek 'Victory' cap Unta, sedang untuk pasaran dalam negeri
dijual dengan merek 'Pan Vici' cap Badak. Teknisi pabrik terdiri
dari tiga putera Djakfar yang berpendidikan di luar negeri.
Ekspansi pabrik Pan Vici ke Timor maksudnya untuk mendekati
sumber bahan baku (ternak). Kata K. Djunaidy, "harga kulit di
Kupang cuma Rp 100 per kilo, sedang di Jakarta sudah mencapai Rp
600 sekilo". Makanya selain menambah produksi kulit matang di
Timor, pabrik PT Komodo Timor Jaya itu nantinya juga akan
memprodusir kulit setengah jadi untuk diolah lebih lanjut di
pabrik Pan Vici, Cakung. Tinggal sekarang kegiatan pabrik Komodo
Timor Jaya atau Komodo Leathers Factory membina peternakan
rakyat yang lebih berkiblat pada ekspor daging, tanpa
memperhatikan mutu kulit ternaknya. Ataukah sang Komodo juga
akan buka ranch sendiri, seperti dilakukan Ponco Sutowo di Timor
Tengah Utara?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini