SEMULA tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Perusahaan ekspor CV
Delo Handicrafts seperti biasanya mengirimkan empat buah peti
kayu melalui pelabuhan Semarang. Di label dokumen peti itu
selain pengirim, tertulis alamat tujuan: Monsieur Hernu Peren di
Paris. Isi peti disebut "barang kerajinan tangan" sesuai dengan
nama perusahaan pengirim. Setelah Bea Cukai melakukan
pemeriksaan, ternyata isi peti-peti itu, "benda-benda kuno dan
fosil hewan purba," ujar Kepala Bina Mental dan Spiritual Kantor
Gubernur Jawa Tengah, Moch. Chaeron.
Pihak Bea Cukai segera melaporkan hal itu kepada Kantor Gubernur
Jawa Tengah. Drs. Moh. Romli dari Kantor Suaka Sejarah Purbakala
dan Dr. Boedhi Sampurno dari Laboratorium Anthropologi UGM
ditugasi gubernur untuk meneliti isi keempat peti itu. Meskipun
berita penyelundupan itu baru mulai disiarkan ke pers pekan
lalu, penelitian telah dimulai awal Desember. Kesimpulannya,
barang kiriman itu terdiri dari benda-benda purbakala dan
fosil-fosil hewan purba yang terlarang untuk dikirim ke luar
negeri. "Benda-benda purbakala itu diperkirakan dibuat sebelum
Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 sampai ke-10," tutur
Kepala Kantor Suaka Sejarah Purbakala Ja-Teng, Drs. Anom.
Dalam laporan tim peneliti disebutkan: 1 buah peti berukuran 100
x 37 cm berisi 21 potong fosil binatang purba yang pernah hidup
di Indonesia. Tiga peti lainnya, hampir sama besar, berisikan
benda-benda kuno terdiri dari arca (patung) dan relief-relief
yang tidak ternilai harganya. Benda-benda kuno itu diduga
berasal dari daerah Ja-Teng dan JaTim. Ada yang merupakan bagian
sebuah candi dan ada juga yang berdiri sendiri.
Dr. Boedhi Sampurno yang bertugas meneliti fosil-fosil hewan
purba menyimpulkan, benda-benda yang ditelitinya berusia di atas
400 ribu tahun lalu. Menurut penelitian Boedhi, fosil-fosil itu
terdiri dari 5 jenis stegodon, elephas, rhinoceros,
hippopotamus dan bibos. Ke-21 fosil itu terdiri dari gading
gajah purba, rahang dan gigi badak purba dan gigi beserta taring
kuda sungai.
Menurut Boedhi, fosil yang akan diselundupkan ke luar negeri itu
kondisinya bagus sekali dan belum dipunyai oleh laboratorium
yang ada di Indonesia. "Ada fosil gigi badak purba yang masih
melekat di gusinya," kata Boedhi. Jika saja benda-benda itu
sampai lolos ke luar negeri, "berarti negara lain punya koleksi
yang bagus, sementara negara asal hewan purba itu tidak
mempunyai. Apalagi kalau sudah di luar negeri susah memintanya
kembali," tambah anthropolog itu.
Walaupun tegas-tegas dilarang menurut monumenten ordonantie,
penjualan dan perburuan benda-benda purbakala di Ja-Teng,
menurut sinyalemen Kepala Bidang PSK Kanwil P&K Ja-Teng,
Hartoyo, masih merajalela Padahal berbagai peraturan mewajibkan
penduduk melaporkan penemuan benda purbakala ke Kanwil P&K
setempat, dan pemerintah siap membeli penemuan itu. "Saya
benar-benar prihatin kalau pencurian ini berlanjut terus," ujar
Hartoyo.
Keengganan penduduk menjual kepada pemerintah dan memilih
tengkulak sebagai pembeli, menurut Hartoyo, karena prosedur
pembelian pernah bertele-tele, dan harga dari pemerintah terlalu
kecil. Tapi kini, setelah pemerintah siap untuk membeli lebih
mahal dan tanpa banyak prosedur, penduduk masih tetap enggan.
"Sebab tengkulak selalu menyebarkan isu tak baik kalau benda itu
dibeli pemerintah," keluh Hartoyo lagi.
Menurut Moch. Chaeron, ada sebagian penduduk yang bermata
pencaharian semata-mata mencari benda-benda purbakala. Mereka
merupakan mata rantai tengkulak dan eksportir. Sebab itu Chaeron
menduga usaha CV Delo mempunyai mata rantai yang luas dan sudah
herkali-kali melakukan penyelundupan. Setelah CV Delo gagal
menyehlndupkan barang-barang serupa itu Oktober lalu. ada sebuah
CV yang meminta izin resmi pada Direktorat Purbakala untuk
mengirimkan benda-benda kuno ke luar negeri. "Setelah dicek
ternyata alamat CV itu sama dengan alamat CV Delo--untung
permohonan itu sudah ditolak sebelumnya," tambah Chaeron yang
juga kordinator penyelesaian perkara penyelundupan benda
purbakala itu.
Semua tuduhan itu dibantah Direktur CV Delo, Nyonya Dewi
Sulastri yang berkantor di Jalan Slamet Riyadi, Sala. "Kami
hanya perantara. Barang-barang itu dibeli oleh orang asing di
dua art shop di Yogya dan kami hanya mengirimkannya," ujar
Direktur CV Delo, Nyonya Dewi, 40 tahun, didampingi kuasa
direksi, Didik Sukadi.
Menurut Nyonya Dewi, perusahaan yang dipimpinnya hanyalah
perantara dalam arti perusahaan ekspedisi--meskipun nama lengkap
perusahaannya CV Delo Handicrafts (kerajinan tangan). Ia
mengatakan dalam dokumen pengiriman barang disebutkan
benda-benda itu sebagai tulang dan semua surat untuk itu
komplit. Usaha semacam itu, katanya, sudah berkali-kali
dilakukannya dan tidak menimbulkan masalah. Baik Didik maupun
Nyonya Dewi mengaku tidak tahu benda yang disebutnya tulang itu
adalah fosil hewan purbakala. "Juga tidak benar kami menulis
benda itu sebagai barang kerajinan tangan seperti yang ditulis
koran-koran," ujar Nyonya Dewi.
Benda yang mereka sebut sebagai tulang, menurut Didik banyak
dijual di berbagai art shop di Yogya. Tapi kedua pengusaha itu
menolak menjelaskan dari art shop mana saja fosil kirimannya
berasal. "Semuanya akan saya ungkapkan kalau sudah dipanggil
polisi. Nanti akan ketahuan siapa saja yang terlibat, termasuk
Bapak-bapak," kata Nyonya Dewi kesal. Kesalahannya yang
sebenarnya menurut Nyonya Dewi hanya satu: "Kami ini memang
orang lugu, dalam pengiriman kami tidak mau memberi uang semir
atau uang rokok," tambah ibu dari dua anak yang tak mau
dipotret itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini