MENCARI penyebab paling hakiki mengapa perkawinan harus berakhir sepertinya mustahil. Ada seribu satu kasus perceraian. Ada seribu satu macam alasan mengapa perceraian terjadi. Namun, Dr. Soewandi mempunyai pendapat yang ringkas. "Setiap perceraian," demikian ahli kesehatan masyarakat ini menuliskan dasar teori bagi disertasinya, "selalu didahului dengan konflik." Pertengkaran dalam perkawinan ini, apa pun alasannya, akan mengakumulasikan stres dan kecemasan. Dan pada akhirnya rasa cemas ini yang paling berperan dalam menentukan terjadinya perceraian. Menekan kecemasan melalui terapi adalah upaya penting menyelamatkan perkawinan. Dengan kesimpulan itulah Dr. Soewandi, M.P.H. mempertahankan disertasinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dua pekan lalu. Alumni Fakultas Kedokteran UGM 1971 ini dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. Disertasinya yang berjudul Kajian terhadap Faktor Resiko dan Intervensi Psikiatrik sebagai Upaya Pencegahan Perceraian pada Populasi Islam dengan Gangguan Cemas di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah buah penelitian yang panjang. Sebagai konsultan Badan Penasihat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4) di Yogyakarta, Soewandi mengamati data di lembaga ini sejak 1986. Inilah tahap pertama penelitiannya. Tahap kedua dan ketiga dimulainya tahun 1988. Ia mengamati secara khusus 150 kasus perkawinan yang terancam cerai. Pada tahap pertama penelitiannya, Soewandi mengamati 1.065 kasus perceraian yang masuk ke BP4. Semula, ia bermaksud mencoba memahami bermacam latar belakangnya. Ia menemukan, akhlak sebagai penyebab paling banyak terjadi perceraian (42,7%) dari seluruh kasus. Penyelewengan, kurangnya ketaatan beragama, dan sikap moral salah satu pasangan adalah beberapa contoh faktor akhlak ini. Penyebab yang juga tinggi persentasenya adalah faktor sosial budaya (32,6%). Misalnya, sulit menyesuaikan diri dan perbedaan kebiasaan pada perkawinan campuran. Faktor ekonomi dan faktor biologis misalnya impotensi ditemukan Soewandi relatif rendah persentasenya. Dua penyebab utama perceraian dalam pengamatan Soewandi, sudah umum diketahui, adalah pangkal konflik yang potensial. Ini biasanya menjadi sumber pertengkaran yang berkepanjangan. Akibatnya, keselarasan, keseimbangan, dan keserasian individu menurun karena stres dan kecemasan. "Dalam ilmu jiwa, mereka yang mengalami gangguan kecemasan biasanya tidak bisa berpikir rasional," katanya. Dari penelitian tahap pertama tersebut, Soewandi perlu meneliti kecemasan secara lebih khusus. Ia mengumpulkan 150 sampel baru, di mana ratarata pasangan sudah mengalami konflik selama dua tahun. Kasus-kasus itu dipilihnya berdasarkan patokan yang didapatnya dari pengamatan pada penelitian tahap pertama. Pada penelitian tahap kedua ini, Soewandi melakukan penelitian mendalam karena data 150 kasus yang dikumpulkannya terinci. Ciri pasangan di sini juga menyebar dalam konteks kemasyarakatan, yaitu berasal dari berbagai lapisan dan mencerminkan beberapa kategori tingkat pendidikan. Ternyata, penyebab perceraian pada 150 kasus tahap kedua ini sama dengan 1.065 kasus pada tahap pertama. Faktor akhlak kembali menduduki tempat pertama, kemudian faktor sosial budaya, baru faktor ekonomi dan faktor biologis. Dalam penelitian ini, Soewandi bisa memastikan kedudukan gangguan kecemasan pada risiko perceraian. Gangguan kecemasan di sini bukan lagi perkiraan karena telah dipastikan dengan diagnosa psikiatris (anxiety disorder). Setelah memastikan adanya gangguan, ia memilih 100 sampel yang memiliki data paling jelas dan paling rinci. Pada penelitian tahap ketiga ini, ia membagi 100 sampel dalam dua kelompok. Separuhnya (50 pasangan) dibina di BP4 dan menjalani terapi gangguan kecemasan. Sisanya (juga 50 pasangan) dibina dengan konsultasi konvensional di BP4 tanpa terapi apa-apa. Hasil penelitian tahap akhir ini, seperti yang sudah diduganya, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan mempunyai peran besar dalam perceraian. Pada kelompok yang mendapat terapi, perceraian yang tak bisa dicegah hanya 4%. "Ada gejala, setelah mendapat terapi mereka bisa berpikir positif," kata Soewandi. Sementara itu, pada kelompok yang tidak menjalani terapi, perkawinan yang tidak bisa diselamatkan mencapai 14%. "Dari hasil ini bisa kita simpulkan ada hubungan yang sangat berarti antara gangguan kecemasan dan risiko perceraian," ujar dokter yang sebenarnya ahli jaringan itu. Secara umum, kini perceraian meningkat. Ia mempercontohkan persentase di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang naik rata-rata 3% setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, menurut Soewandi, 50% pasangan kawin akhirnya bercerai. Latar belakang terjadinya peningkatan perceraian ini adalah krisis akhlak. Ia mengutarakan bahwa 88% pasangan yang mengajukan perceraian di BP4 mengaku tidak taat beragama. Soewandi menilai, perubahan masyarakat pada masa kini membuat nilai-nilai perkawinan yang religius itu semakin kabur. Ia mengisahkan, ada pasangan yang mengajukan perceraian hampir tanpa alasan. "Pak, saya minta cerai, pokoknya cerai," cerita Soewandi, menirukan salah seorang klien. Ini diucapkan dengan nada tanpa beban, seolah-olah perkawinan dan perceraian adalah hal biasa. Mereka ini, kata Soewandi, tidak lagi mempedulikan akibat perceraian pada anak-anak, pada kehidupan mereka yang akan datang. Tentunya juga tanpa pertimbangan yang dilihat dari sudut agama. Jim Supangkat dan Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini