Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kado dari seorang pengagum

Buku kedua prof. donald wilson tentang indonesia akan diterbitkan, yaitu "the next 25 years indonesia's journey into the future". membahas persoalan yang akan dihadapi indonesia 25 tahun kedepan.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI jenderal, Presiden Soeharto dinilai jempolan. Bekas Panglima Kostrad ini bahkan layak mengomandani Korps Marinir Amerika. Pendapat seperti ini bukan datang dari seorang menteri atau anggota Korpri tapi dari Prof. Donald Wilson, ahli sejarah dan komunikasi dari Universitas Pitsburg, Amerika Serikat. Pola kepemimpinan Pak Harto, menurut sang profesor berusia 53 tahun itu, sesuai dengan 14 butir ajaran keperwiraan yang menjadi pegangan korps pasukan elite Amerika itu. "Presiden Soeharto berhasil menerapkannya untuk program militer maupun sipil," kata Wilson. Salah satu butir ajaran perwira marinir Amerika yang, sengaja atau tidak, dilakukan Pak Harto adalah soal integritas. Presiden Soeharto, katanya, tergolong manusia yang bisa dipercaya. Kata-katanya bisa dipegang dan tak mau terlambat mengambil inisiatif. Kata Wilson, "Dia melakukan sesuatu tanpa menunggu ada orang yang menyarankannya." Rangkaian pujian itu mengawali buku Wilson yang berjudul The Next 25 Years Indonesia's Journey into the Future, diterbitkan oleh Yayasan Persada Nusantara (YPN), Jakarta. Ini buku kedua Wilson tentang Indonesia. Buku pertamanya berjudul The Long Journey From Turmoil To Self-Sufficiency, yang juga telah dicetak oleh YPN satu setengah tahun lalu. Terjemahan buku pertama itu telah pula terbit, berjudul Dari Era Pergolakan Menuju Era Swasembada. Nomor contoh buku The Next 25 Years Indonesia's Journey into the Future dan Dari Era Pergolakan Menuju Era Swasembada diserahkan Donald Wilson kepada Presiden Soeharto dua pekan lalu. Satu-dua bulan mendatang, kedua buku itu direncanakan sudah tiba di rakrak toko buku. Harganya Rp 20.000 untuk edisi luks dan Rp 10.000 untuk edisi biasa. Penampilan kedua seri buku Wilson ini sangat mirip. Wajah Pak Harto menjadi gambar sampulnya dengan latar belakang warna biru. Pada buku pertama, Wilson membahas keberhasilan Pak Harto selama lebih dari 20 tahun Orde Baru disertai latar belakang sejarah Indonesia serba sepintas. Pada buku kedua, Wilson sepertinya mencoba meramalkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi Indonesia 25 tahun ke depan. Namun, maksud Wilson sepertinya tidak kesampaian. Kelemahan di buku pertama (TEMPO, 23 Juni 1990), terulang pada buku kedua. Wilson sibuk dengan pujian dan lupa membuat pendalaman. Buku kedua ini sebetulnya sudah menyentuh persoalan yang menarik: soal suksesi. Namun, Wilson tak bicara lebih dalam dibandingkan dengan banyak pendapat yang sempat diulas pers Indonesia satu-dua tahun ini. Pak Harto, menurut Wilson pula, amat peduli dengan proses suksesi, dengan mempersiapkan penggantinya tanpa kekerasan. Bahwa Pak Harto selama ini seperti tak menghendaki adanya persaingan terang-terangan di antara calon-calon, Wilson bisa memaklumi. "Tak ada yang lebih berbahaya di Indonesia dibandingkan dengan persaingan memperebutkan kursi kepresidenan," tulisnya. Ia mencoba pula mengulas soal stabilitas, pendidikan, persatuan, pertumbuhan ekonomi, teknologi komunikasi, juga soal pemerataan, dan kemiskinan. Namun, guru besar ini tak memaparkan perkara kemiskinan ini secara jelas. Sudah memadai rupanya kalau ia menulis berbagai kebijaksanaan pemerintah yang bakal mengupayakan pemerataan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Sebagai pengamat Indonesia, Wilson tampaknya kurang dikenal. Setidaknya, pergaulannya dengan cendekiawan Indonesia amat terbatas. "Sepanjang pengalaman saya dengan para Indonesianist, nama Prof. Wilson jarang disebut-sebut," ujar Taufik Abdullah, sejarawan LIPI. Dr. Burhan Magenda, pengamat politik dari FISIP UI, bahkan enggan menggolongkan Wilson sebagai Indonesianist. "Dia tidak melakukan penelitian mendalam tentang Indonesia," ujarnya. Burhan pun menilai karya Wilson itu sekadar buku populer. Alasannya: topik yang dibahas terlalu luas, tapi digarap kurang mendalam. Wilson mengaku cinta Indonesia, bahkan negeri ini telah dianggapnya sebagai tanah air kedua. Ia memang pernah tinggal di Bandung, 1949-1955, mengikuti ayahnya yang misionaris Gereja Kristen Hari Ketujuh. Tapi dari buku-bukunya ini, Wilson mungkin lebih tepat disebut sebagai seorang pengagum Pak Harto. "Saya memang pro-Soeharto, pro-Orde Baru," katanya kepada TEMPO (lihat Ia bukan Presiden Seumur Hidup). Kendati banyak dikritik, buku yang pertama cukup laku. "Kami sampai mencetak ulang," ujar Laksamana Pertama (Purn.) R.M. Moechtar, Ketua YPN. Cetakan pertama 5.000 eksemplar dan cetakan kedua 2.000 eksemplar sudah ludes walaupun harganya Rp 30.000 per eksemplar. "Banyak yang membelinya untuk kado atau dibagi-bagikan dalam konperensi-konperensi di luar negeri," kata Moechtar. Putut Trihusodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus