Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang mantan misdinar menceritakan pemerkosaan yang dialaminya.
Dua kali dia menjadi korban kejahatan seksual yang diduga dilakukan pembina putra altar.
Dia menyesal tidak melaporkan pemerkosaan tersebut.
HAMPIR separuh hidupnya, Arthur—bukan nama sebenarnya—memilih bungkam. Mantan putra altar di Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat, itu enggan menceritakan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh Syahril Parlindungan Marbun terhadap dirinya. “Berat rasanya mengingat lagi kejadian itu,” ujarnya saat ditemui Tempo di kawasan Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juni lalu. Laki-laki 20 tahun itu mengaku masih dihantui peristiwa tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu malam, pada 2008-2009, Syahril mengajak Arthur yang saat itu duduk di kelas I sekolah menengah pertama dan lima temannya berjalan-jalan dengan naik mobil. Saat itu, kata Arthur, mereka baru selesai bertugas di gereja. Setelah makan, Syahril mengantar pulang kawan-kawannya. Lalu laki-laki yang saat itu berusia sekitar 30 tahun tersebut mengarahkan mobilnya menuju kawasan Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Arthur, pembina misdinar itu memarkir mobilnya di tempat yang sepi dan gelap. Di dalam mobil itulah Syahril mencabulinya. Arthur mengaku terlalu takut untuk melawan. Saat Syahril mengajak berhubungan badan, barulah dia memberontak dan meminta diantar pulang. “Saya merasa bersalah dan jijik kepada diri saya sendiri,” ucapnya.
Sejak peristiwa itu, Arthur yang biasanya periang mengaku menjadi pendiam dan rendah diri. Ia pun tak suka kulitnya tersentuh orang lain. Alih-alih melaporkan tindakan Syahril, dia berpura-pura peristiwa itu tak pernah terjadi. Arthur pun tetap bertugas di gereja seperti biasa. Dia berupaya bersikap wajar terhadap Syahril. Namun perundungan seksual itu tak berhenti. Sesekali, kata Arthur, Syahril menyentuhnya secara fisik.
Dua tahun kemudian, saat Arthur duduk di kelas III SMP, peristiwa itu berulang. Menurut Arthur, Syahril mengajak dia ke rumahnya satu malam sebelum ujian masuk sekolah menengah atas. Meminta izin kepada orang tua Arthur, Syahril meyakinkan akan membantu Arthur belajar. Lepas tengah malam, saat tidur di kamar Syahril, Arthur tiba-tiba terbangun. Dalam gelap, dia menyaksikan Syahril mengulangi perbuatannya. Memendam amarah, Arthur hanya diam.
Setelah kejadian itu, Arthur sempat mengaku dosa kepada pastor. Di bilik pengakuan dosa di dalam gereja, dia menyatakan sudah melakukan perbuatan seksual tanpa mendetailkan peristiwa tersebut. Di hadapan pastor hari itu, Arthur menangis.
• • •
MENJADI misdinar adalah keinginan Arthur sejak kecil. Setiap kali misa di gereja, dia menyaksikan anak-anak altar mengenakan jubah melayani pastor. Setelah menerima komuni pertama—menyantap roti perlambang tubuh Yesus—ia mengikuti pelatihan selama beberapa pekan. Saat itu, Arthur masih duduk di kelas IV sekolah dasar. Dia merasa senang karena bisa berkumpul dengan bocah-bocah yang sebagian juga teman sekolahnya. Begitu menjejakkan kaki di panti imam, area di sekitar altar yang dikhususkan untuk petugas misa, Arthur pun merasa bangga.
Menurut Arthur, Syahril Parlindungan Marbun—yang menjadi pembina putra altar—kerap membelai dia dan teman-temannya, baik di dalam kompleks gereja maupun saat mereka jalan bareng. Arthur merasa tindakan itu wajar. Dia menganggap Syahril sebagai kakak. Meskipun, kata Arthur, Syahril juga kerap marah-marah saat rapat membahas suatu persoalan yang terkait dengan tugas putra altar.
Setelah pemerkosaan kedua terjadi, Arthur tak lagi aktif di kelompok putra altar. Meski demikian, beberapa kali mereka berkomunikasi melalui WhatsApp. Saat bertemu dengan Tempo di kawasan Jakarta Pusat pada Kamis, 18 Juni lalu, Arthur yang sudah menjadi karyawan swasta itu menunjukkan berbagai pesan yang dikirimkan Syahril. Salah satu pesannya memuji perawakan Arthur. Pada kesempatan lain, Syahril mengirimkan pesan mengajak beraktivitas seksual. Arthur tak menanggapinya. Arthur bercerita, tak mudah bagi dia berkomunikasi dengan Syahril. Tapi dia mencoba memaafkan Syahril.
Beberapa hari sebelum kasus kekerasan seksual terhadap para misdinar di Paroki Santo Herkulanus terungkap, Arthur diundang oleh sejumlah alumnus misdinar ke gereja. Mereka bercerita bahwa ada putra altar yang melaporkan kekerasan seksual yang diduga dilakukan Syahril. Arthur terkejut mendengar kabar itu. Lalu seorang di antaranya menanyakan apakah Arthur pernah mengalami peristiwa serupa.
Saat itulah dia menumpahkan semua rahasia yang rapat-rapat dipendamnya. “Tembok yang saya bangun langsung runtuh setelah mendengar kabar itu,” ujar Arthur. Merasa lega, dia juga menyesal. “Seandainya saya melaporkan pemerkosaan itu, mungkin tak ada lagi adik-adik saya yang menjadi korban.”
Arthur lalu memutuskan aktif dalam tim yang menelusuri putra altar yang juga menjadi korban kekerasan seksual. Ia mendekati dan membujuk mereka agar berani menceritakan peristiwa tersebut. Pada Sabtu, 6 Juni lalu, Arthur juga ikut dengan tim Paroki Santo Herkulanus bertemu dengan Syahril di sebuah rumah retret di kawasan Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Pertemuan itu bertujuan meminta klarifikasi terhadap Syahril. Di tempat parkir, Arthur sempat gamang keluar dari mobil. “Saya takut dia bersikap agresif,” ucapnya. Namun tim meyakinkan dia supaya berani bersaksi.
Akhirnya Arthur bersaksi. Dia lalu meminta Syahril mengakui semua perbuatannya dan mengungkap nama-nama korban. Syahril lalu membuat surat pengakuan yang berisi daftar korban. Arthur juga mengoreksi sejumlah fakta dalam surat itu yang dirasa janggal.
Pastor kepala Paroki Santo Herkulanus, Yosep Sirilus Natet, mengatakan tim yang juga didampingi Komisi Keadilan dan Perdamaian dari Konferensi Waligereja Indonesia itu tak berhenti pada daftar 13 nama korban yang diakui oleh Syahril. Mereka terus melacak korban-korban lain yang masih enggan bercerita. Hingga Jumat, 19 Juni lalu, tim itu mencatat setidaknya ada 21 anak yang menjadi korban. Natet berujar, penelusuran itu diperlukan agar tim bisa memberikan pendampingan terhadap korban dan keluarganya. “Kami tidak ingin ada korban yang menjadi pelaku kejahatan seksual,” tuturnya. Menurut dia, tim menengarai seorang korban yang bersekolah di sebuah SMA di Jawa Tengah telah berubah menjadi pelaku.
Kepada Tempo, seorang guru di sekolah tersebut membenarkan ada anggota umat di Paroki Herkulanus yang ketahuan berbuat cabul terhadap murid lain. Murid yang menjadi pelaku itu lalu diberi pendampingan intensif selama sekitar tiga bulan. Guru yang ikut mendampinginya bercerita, murid itu tak pernah menceritakan perbuatan pembina misdinar di gerejanya. Namun ada trauma lain yang membuat murid itu menjadi pelaku.
Pihak sekolah, kata guru tersebut, tak serta-merta mengeluarkan murid itu. “Kami tak mau dia terus-menerus menjadi pelaku,” ujarnya. Setelah menyadari kesalahannya, barulah murid itu memutuskan keluar dari sekolah.
STEFANUS PRAMONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo