Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima tahun terakhir, Isyana melahirkan tiga album yang melambungkan namanya sebagai musisi yang diperhitungkan di tanah air.
Jati diri Isyana Sarasvati muncul sepenuhnya di album ketiga berjudul 'Lexicon' yang dibuatnya bersama tiga musikus: Gerald Situmorang, Tohpati, dan Kenan Loui.
Isyana Sarasvati mengaku sejak kecil memang introvert dan lebih suka mengekspresikan diri melalui musik.
AWAL April lalu, majalah Forbes merilis nama-nama inovator muda dalam 30 Under 30 Asia yang terbagi menjadi sepuluh kategori. Total ada 300 pengusaha dan tokoh muda yang masuk daftar tersebut. Mereka terpilih karena dianggap memberikan pengaruh dan kontribusi di bidang masing-masing. Dari sederet pemuda berprestasi itu, terdapat 22 tokoh asal Indonesia, di antaranya musikus Isyana Sarasvati dan Nicole Zefanya alias NIKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isyana, kelahiran Bandung, Jawa Barat, menarik perhatian Forbes karena mengarang sendiri lagunya, pernah menjuarai lomba piano, dan sempat menjadi penyanyi opera. Forbes juga menyebut Isyana sebagai pemilik tiga album yang mempunyai lebih dari 7 juta pengikut di media sosial. Torehan prestasi lain Isyana, seperti menyanyikan lagu dalam penutupan Asian Games 2018 dan soal video musiknya, Tetap dalam Jiwa, yang ditonton lebih dari 93 juta kali di YouTube, juga dicatat Forbes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karier Isyana sejak terjun di industri musik lima tahun lalu memang moncer. Album ketiganya yang lahir di pengujung 2019, LEXICON, memanen apresiasi dari penikmat musik. Billboard Indonesia melabelinya sebagai album terbaik 2019. Adapun majalah Tempo menahbiskannya sebagai Album Pilihan Tempo 2019. Isyana mencurahkan sentuhan berbeda pada LEXICON. Dia juga menggandeng tiga musikus Tanah Air, Gerald Situmorang, Tohpati, dan Kenan Loui, yang juga bersamanya di band The Tutties. “Proses kreatif dengan mereka ‘kawin banget’,” ujar perempuan kelahiran 2 Mei 1993 ini saat ditemui Aisha Shaidra dan Mahardika Satria Hadi dari Tempo awal Januari lalu di Kemang, Jakarta Selatan.
Kepada Tempo, Isyana, yang sempat berkolaborasi dengan KLa Project dalam Konser Online dan Penggalangan Dana #BerdayaDariRumah pada 22 Mei lalu, berbagi cerita tentang perkembangan kariernya, ranah industri yang ia geluti, serta pandangannya terhadap musik yang menempanya sejak kecil. Wawancara juga dilakukan lewat surat elektronik pada medio Juni lalu.
Banyak yang menyebut rasa album LEXICON berbeda dengan pendahulunya....
Karena ada pasang-surut perjalanan hidup yang kulewati. Aku yakin setiap seniman mengalami proses pendewasaan dalam karya mereka. Kayaknya pendengarku bisa mendengar perubahan itu di LEXICON.
Perubahan seperti apa?
Lagu di album pertama dan kedua (tak jauh dari) cerita orang terpesona, cinta monyet, dan sakit hati. Setelah enam tahun berkarier di jalur industri, jalan pikiranku lebih kompleks ke LEXICON, ha-ha-ha…. Udah berbeda banget. Mungkin ada (lagu) yang berkaitan dengan cinta, tapi cara penyampaiannya beda. Range lagunya juga berbeda karena keluarnya enggak dipaksakan.
LEXICON disebut label sebagai root-nya Isyana. Bagaimana dengan dua album sebelumnya?
Album pertama (2014) diberi judul Explore! karena eksploratif, enggak sesuai dengan root musikku. Saat itu aku ditawari Sony ke Swedia untuk bekerja sama dengan produser yang biasa pegang musikus dan artis besar. Di sana aku mempelajari musik dari seniman Swedish. Jadi, pas kerja sama mereka, aku eksplorasi.
Kamu merasa belum puas dengan dua album sebelumnya?
Bukan belum puas, ya, aku tetap bersyukur dengan hasil yang didapatkan dari dua album ini. Ini proses. Tanpa dua album itu, aku tak akan seperti sekarang. Enggak akan ada LEXICON tanpa dua album sebelumnya.
Apakah album LEXICON menjadi pijakan barumu untuk album-album selanjutnya?
Enggak sama sekali karena aku selalu bikin lagu secara spontan. Bisa jadi albumku selanjutnya dangdut. Apa pun bisa terjadi. Soal genre, aku tidak membatasinya sama sekali.
Penampilan Isyana Sarasvati dalam pagelaran musik Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 di JIEXPO, Februari 2020./TEMPO/Nurdiansah
Sebetulnya apa arti LEXICON?
Kamus hidup. Aku sangat tertutup. Susah dilihat di mana-mana secara personality. Kadang ya ada hancur-hancurnya. Tapi emosiku seperti saat marah, sedih, itu kan jarang terekspos. Di sini lah (tempat) buat teman-teman yang tersesat, yang belum mengenal aku. Mendengarkan (LEXICON) itu jadi kamus buat mereka, biar tahu Isyana itu manusia juga. Bahwa ini perjalanan hidup yang Isyana lewati.
Kamu sering spontan. Saat membuat lagu juga seperti itu?
Kadang lagu dan struktur udah jadi, aransemen, setelah itu baru aku bertapa bikin lirik. Kalau untuk Hati yang Terluka, membuat musik dan liriknya barengan karena momennya pas bangetlah, lagi terluka. Aku pingin bikin anthem song yang kayak surat cinta bagi mereka yang sedang terluka agar mereka percaya akan ada titik terang dalam kegelapan. Berdamai dengan diri itu susah. Sebenarnya LEXICON itu kayak sesi terapi buat aku.
Sesi terapi yang seperti apa?
Secara keseluruhan, musik itu selalu jadi terapi. Aku itu sosok introvert yang ekstrem. Enggak bisa mengatakan hal dengan kata-kata. Kadang, kalau harus bicara sesuatu, ada rasa insecure, kebanyakan pikiran. Aku lebih senang menyendiri, menulis, karena terasa lebih jujur. Nah, aku merasa musik menyalurkan perasaanku yang enggak bisa diungkapkan. Ibu cerita, sejak aku tujuh tahun, kalau lagi marah, aku lari ke piano dan langsung main ngawur. Kalau lagi senang main piano juga.
Sejak kecil kamu sangat terkoneksi dengan musik, ya….
Ibu bahkan pernah memergoki rekamanku dengan electone, alat musik pertama yang kumainkan. Sejak kecil aku sudah suka membuat lagu, menggambarkan emosi lewat melodi, nada, dan suara. Menurutku, musik itu enggak menghakimi. Musik menyempurnakan semua yang aku rasakan dengan elemen yang tepat. Misalnya ada lagu yang aku minta ketukan drumnya mewakili detak jantung. Atau kadang aku mainnya enggak stabil buat menggambarkan emosi yang kayak gitu juga. Senang jadinya bisa menggambarkan apa yang aku rasakan meski orang enggak tahu. Sebenarnya banyak teka-teki di laguku, baik di album ini maupun sebelumnya.
Siapa yang mengenalkan kamu kepada musik?
Musik klasik dari ibuku. Dulu Ibu pernah mengajar piano dan electone di Yamaha selama 32 tahun. Dia sempat sekolah di Belgia, mengambil Diploma in Oracle, kami sekeluarga ikut. Kami juga sering diajak nonton orkestra. Sedangkan bapakku dosen. Saat muda dia nge-band, bisa menyanyi dan main gitar. Bapak suka Queen dan The Beatles, dan mengenalkan aku kepada musik Simon & Garfunkel dan Paul Simon. Kalau zaman boyband dan girlband seperti Backstreet Boys dan Spice Girls, Rara yang ngenalin.
Dengan berbagai genre musik itu, siapa musikus yang banyak mempengaruhi kamu?
Yang mempengaruhi album LEXICON itu Queen, Genesis, Manhattan Transfer, komposer Pyotr Ilyich Tchaikovsky dan Olivier Messiaen. Komposer Prancis, Charles Gounod, juga banyak kasih influence di lagu Semesta yang waltz gitu. Kalau dari Indonesia enggak ada yang spesifik mempengaruhi album LEXICON. Tapi aku suka banget sama Glenn Fredly, Kunto Aji, Chrisye, Dewa, Gamaliel Tapiheru, Raisa, Yura Yunita, Tulus, Barasuara.
Kamu berangkat dari musik klasik. Masih bercita-cita menjadi penyanyi opera?
Aku masih menjalani itu sampai sekarang. Tapi memang kuantitas konser klasik di Indonesia lebih sedikit daripada yang komersial, jadi pastinya jarang terlihat. Tapi, setiap kali ada kesempatan, aku pasti ikut konser klasik, kok. Paling dua-tiga kali doang dalam setahun. Seru juga kalau suatu hari bisa bikin konser klasik sendiri.
Apakah kamu terpikir mengangkat tema sosial dalam lagu berikutnya?
Mungkin nanti ketika beranjak dewasa, he-he-he…. Kalau sekarang masih menuruti ego diri sendiri. Pingin mengeluarkan karya yang reflektif, siapa tahu bisa bantu orang yang membutuhkan. Sosial juga, sih, tapi lebih ke pribadi. Tapi enggak tahu ke depannya.
Isu apa yang terakhir kali kamu ikuti?
Lebih ke isu kesehatan mental. Makanya lagu-lagu dalam album ini ingin menyemangati teman-teman. Apalagi sekarang isu itu lagi muncul dan banyak digarisbawahi para musisi juga, seperti Kunto Aji dan Hindia (proyek solo Daniel Baskara Putra, vokalis band .Feast). Yang penting jangan pernah self-proclaimed saja.
Apakah terpikir untuk kembali berkolaborasi dengan kakakmu, Rara Sekar?
Rara itu fortenya enggak di musik, sih, sebenarnya. Jadi agak sulit juga buat menebak akan berkolaborasi atau tidak. Rara itu orangnya akademis banget. Musik itu buatnya adalah hobi. Aku percaya Rara enggak akan berhenti berkarya. Sejak kecil kami sering nyanyi bareng. Sebelum Rara menikah dan sekolah ke luar negeri, tiap Minggu kami pasti jamming bareng. Tapi sekarang kami jarang ketemu karena beda kota. Kalau soal musik, kami beda setelah tumbuh besar. Dia suka post-rock, folk. Kalau aku ke klasik, dan kalau rock ya rock banget. Rara juga cenderung lebih berfokus pada bidang akademis dan aktivitas sosial.
Bagaimana kamu melihat prospek dunia musik di era digital?
Aku tidak mengalami masa yang benar-benar hanya ada kaset musik. Yang aku alami, sejak peralihan dari cakram padat (CD) ke digital, banyak sekali manfaat yang bisa didapat. Sebab, pada era CD, saat seorang musikus merilis karya, dia mesti hadir juga secara fisik untuk mempromosikannya ke sana-sini. Namun sekarang berbeda. Musikus tinggal memencet tombol upload, the whole world can hear our songs.
Isyana Sarasvati
• Lahir: Bandung, 2 Mei 1993 • Pendidikan: Diploma Music Performance Nanyang Academy of Fine Arts Jurusan Vokal (Opera) dan Minor: Composition and Pipe Organ (2010-2013); Bachelor of Music with Honours Funded Degree Programme in Collaboration with RCM-London (2013-2015) • Album: Explore! (2015), Paradox (2017), LEXICON (2019) • Penghargaan dan Nominasi: Finalis Kompetisi Piano Yamaha Nasional (2007 dan 2010); Juara Grand Prix Asia-Pacific Electone Festival (2008, 2009, dan 2011); Satu dari 15 komposer electone dunia yang tampil dalam Yamaha Electone Concours di Jepang (2012); Semifinalis Yamaha Electone Concours di Jepang (2012); Juara I Tan Ngiang Kaw/Tan Ngiang Ann Memorial Vocal Competition Ke-6 di Singapura (2012); Juara I Kategori Profesional Kompetisi Vokal Nasional Tembang Puitik Ananda Sukarlan (2013); Gold Certificate Bangkok Opera Foundation Singing Competition Ke-5 di Thailand (2013); Lagu Terbaik Indonesia dalam Anugerah Planet Musik 2017 di Singapura (2017); Artis Grup/Kolaborasi Soul/R&B/Urban dan Karya Produksi Terbaik dalam Anugerah Musik Indonesia untuk lagu Anganku Anganmu
Menurutmu apa yang bisa dilakukan untuk melawan pembajak lagu di era digital?
Sebagai musikus, tentu saya enggak mau karyanya dibajak. Tapi kan sekarang soal audio sudah tidak bisa dikontrol, apalagi video. Terlepas dari itu, era digital juga memberi musikus kemudahan untuk berinteraksi dengan pendengar. Kami bisa berkomunikasi secara digital, misalnya dengan cabang Isyanation (komunitas penggemar Isyana) di luar Jawa.
Kamu sempat ikut berakting di film Milly & Mamet. Bagaimana ceritanya?
Awalnya saya hanya mesti mengisi original soundtrack-nya, duet dengan Rara. Ernest Prakasa sebagai sutradara lalu bilang sebenarnya dia pingin kasih aku peran menarik. Pas tahu sosok Rika yang ditawarkan Ernest, aku langsung mau karena seru dan unik. Bisa bikin orang ketawa. Proses syutingnya menyenangkan. Aku hanya reading (naskah) sekali, setelahnya langsung syuting.
Sebelum itu kamu pernah belajar akting?
Saat sekolah di Singapura ada kelas akting karena aku menyanyi opera. Bedanya, akting di opera big gesture karena dilihat penonton dari jarak jauh.
Apakah sosok Rika di film Milly & Mamet menunjukkan sisi konyolmu?
Mungkin, ya. Dia orang yang spontan. Makanya Ernest pernah bilang dalam suatu wawancara saat ditanya soal aku. Katanya, setiap take, kata-kataku sering beda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo