CITRA penegak hukum Jawa Timur sedang runyam. Setidaknya begitu
yang tergambar dari suara-suara di gedung DPR/MPR di Senayan
sepanjang bulan lalu. Yang terhebat, tentu saja, tentang
peristiwa Jember. Lalu ada empat pelajar SLA dari Ponorogo
mengadu tentang rekan mereka yang ditembak seorang oknum
tentara. Ditambah lagi laporan delapan warga Madura tentang
kesewenang-wenangan seorang anggota polisi.
Tentang Ponorogo, ceritanya begini, Diantar seorang Pembela Umum
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Agus Dwi Naranto (Ketua
OSIS SMAN I Ponorogo), bersama Slamet Hariyanto, Sonny Herlianto
dan Gunawan Asahir, pertengahan bulan lalu mengadu ke DPR.
Mula-mula mereka mencari pimpinan DPR. Tapi, berhubung untuk
menjumpai Ketua DPR harus ada perjanjian seminggu di muka,
mereka diterima Fraksi Persatuan Pembangunan.
Di situ para pelajar mengadu tentang apa yang mereka sebut
"Tragedi Malam Minggu". Yaitu sebuah peristiwa berdarah yang
menimpa rekan mereka, Agung Suseno (18 tahun), yang katanya
ditembak Kopral Warsikun dari Komando Distrik Militer Ponorogo
(Kodim 0802). Jauh-jauh datang ke Jakarta, katanya, karena
mereka tak puas dengan cara Komandan Kodim menyelesaikan
persoalan yang mereka anggap serius.
Kejadiannya sebenarnya sudah lama juga. Yaitu ketika
ramai-ramainya peristiwa anti-Cina di Sala yang berkembang ke
beberapa kota lain. Malam itu, malam Minggu 29 November 1980
sekitar pukul 22.30, Agung Suseno dan beberapa kawannya masih
berada di jalan raya. Belakangan, menurut orang tuanya, Nyonya
Sukatmin, ketika itu anaknya baru pulang dari mengerjakan
prakarya dl rumah temannya.
Secara tak sengaja, begitulah ceritanya, di jalan Agung bertemu
dengan beberapa teman sekolahnya. Antara lain Agus Dwi Naranto,
yang malam itu katanya hendak mencari nasi pecel.
Seperti biasa, waktu-waktu berkumpul selalu mereka pergunakan
untuk ngobrol, bergurau dan tertawa keras-keras. Sementara itu,
dalam suasana tak begitu enak, patroli Kodim mondar-mandir di
jalanan -- baik yang berseragam, bersenjata dan berkendaraan
maupun yang berpakaian preman.
Terserah Atasan
Persis di muka Kantor Telegrap Ponorogo, sekitar 50 meter dari
pertigaan Jalan Pemuda, seregu patroli berkendaraan Toyota
Kijang berpapasan dengan serombongan kecil pelajar tersebut. Tak
terjadi apa-apa, kata Agus kemudian, "karena kami memang tak
berbuat sesuatu." Tapi begitu patroli lewat, Agus mendengar
suara yang kedengarannya seperti letusan senjata api. Tanpa
mempedulikan teman-temannya, Agus -- yang "menyangka tembakan
peringatan" entah dari siapa dan untuk apa -- lari dan terus
pulang ke rumah.
Letusan tadi memang dari sebuah senjata api. Tapi tak hanya
merupakan tembakan peringatan yang biasanya mengarah ke
langit. Sebab, begitulah kenyataannya, yang terkena peluru
adalah tengkuk Agung -- sampai meremukkan rahang kirinya. Dari
ceritanya kemudian, korban yang kontan tersungkur masih sempat
bertanya kepada penembaknya: "Kenapa saya ditembak?"
Barangkali, tak seperti dikatakan para pelajar, penembaknya tak
sengaja hendak mencelakakan Agung. Buktinya si penembak, yang
kemudian diketahui bernama Warsikun, berpangkat Kopral I (Koptu)
dan sedang berdinas dengan pakaian preman, berusaha membawa si
korban ke RSU Ponorogo. Dari situ, untuk perawatan yang lebih
baik, Agung dikirim ke RS Karangmenjangan di Surabaya.
Besoknya pelajar SMAN I Ponorogo geger. OSIS rapat.
Keputusannya, mereka membuat petisi, dibacakan di Kodim atas
persetujuan Kepala Sekolah. Isinya tentu saja menuntut agar
Koptu Warsikun ditindak sebagaimana mestinya & "diselesikan
seadil-adilnya menurut hukum yang berlaku". Dandim Letkol
Sumarsan (sejak dua bulan lalu digantikan Letkol Sutarmas)
menyatakan penyesalannya dan Bupati Sumadi menanJikan biaya
perawatan.
Urusan tak selesi dengan petisi. Para pelajar tak melihat
penyelesaian seperti yang mereka kehendaki: Setelah menjalani
penahanan dan pemeriksaan sekitar sebulan, seperti dilihat para
pelajar, Koptu Warsikun kelihatan sudah berdinas lagi. Agus lalu
memimpin delegasi ke Kodim. Yang menerima Kepala Staf Kodim,
Kapten Naja Rachman.
Pembicaraan tak begitu enak. Para pelajar tetap menuntut agar si
penembak Agung diadili. Sedangkan Kasdim, menurut Agus, cuma
bilang: "Semuanya terserah atasn." Terakhir, 22 Februari lalu,
Agus mengajak teman-temannya lagi --termasuk Agung Suseno yang
sudah mulai masuk sekolah -- menemui Kasdim. Jawabannya tetap
seperti semula.
Putus asa dengan sikap Kodim, Agung membawa tiga temannya ke
Jakarta, mengadu ke DPR. Urusan bukannya beres. Setelah pulang
dari Jakarta, Agung dkk. malah tak diperkenankan masuk sekolah
beberapa waktu -- karena telah menghadap wakil rakyat (DPR)
tanpa izin Kepala Sekolah. Padahal FPP berjanji hendak menyurati
Kepala Sekolah agar memahami sikap murid-murid tersebut dan
tidak menghukum mereka.
Pihak Kodim, selain menyatakan bahwa Koptu Warsikun sedang
diproses Polisi Militer (POM-ABRI) Madiun, tak bersedia memberi
keterangan lebih lanjut.
Begitu juga Komando Resor (Kores) Kepolisian Bangkalan (Madura)
yang ditanya soal pengaduan delapan warga ke DPR bulan lalu.
Seperti halnya beberapa pelajar Ponorogo, delapan orang Madura
itu juga tak begitu tenteram, sepulang mereka dari Jakarta.
Malahan mereka tak berani pulang ke Bangkalan. Sementara ini
mereka "bersembunyi" di sebuah perkampungan orang-orang Madura
di Surabaya Utara.
Kedelapan orang Madura tersebut, Haji M. Tajul, Mutiken, Adli,
M. Saleh alias Nasik, A. Gaffar, Muallap, Sulisa dan Sulaiman,
mengadu ke DPR mengenai tindak-tanduk seorang oknum polisi yang
dianggap keterlaluan. Orang itu bernama Erwanto, berpangkat
Kopral 1, selama ini bertugas di Komando Sektor (Kosek)
Kecamatan Galis (28 km dari Bangkalan).
Memeras
Koptu Erwanto memang malang-melintang di sekitar desa itu.
"Mendengar suara sepeda motornya saja penduduk sudah
bersembunyi," kata seorang penduduk Galis. Banyak juga yang
mengenalnya sebagai penjudi adu ayam atau gemar memamerkan
pistol bila lagi mabuk-mabukan. Tapi tentu bukan itu saja yang
disampaikan ke Jakarta. Kegemarannya menganiaya dan memeras
penduduklah yang dilaporkan orang-orang Madura kepada wakilnya
di DPR.
Misalnya yang menyangkut seorang penduduk Desa Benkarsa yang
bernama Likan. Orang yang malang itu, begitu cerita mereka,
didatangi Erwanto tengah malam. Ia diseret dari tempat tidurnya
dan langsung ditembak. Lalu lehernya diikat dengan sarung dan
diseret dengan sepeda motor ke Kantor Polisi yang jaraknya
sekitar 5 km. Tentu saja badan Likan rusak.
Besoknya keluarga Likan mencarinya ke Kantor Polisi. Tak ada. Di
rumah sakit terdekat juga tak ketemu. Belakangan baru diketahui,
Likan dirawat di RS Dr. Soetomo di Surabaya, sebagai korban
kecelakaan lalulintas. Padahal oleh penangkapnya ia dituduh
mencuri sapi. Setelah habis harta benda keluarga untuk membiayai
perawatan selama 44 hari, malangnya, Likan (40 tahun) akhirnya
mati juga.
Cerita lain menyangkut Haji Tajul. Ia kehilangan sebuah sepeda
motornya. Erwanto sanggup menemukannya asal ia berani membayar
Rp 200 ribu. "Mestinya 'kan pencurinya harus ditangkap," kata
Haji Tajul. "Ini kok malah saya, yang kehilangan, harus
membayar." Setelah melalui urusan berlik liku, dan mengeluarkan
biaya sekitar Rp 350 ribu, akhirnya Tajul memperoleh kembali
kendaraannya.
Beberapa tahanan yang diurus Erwanto juga mengeluh. Mereka
dianiaya untuk mengakui segala tuduhan yang dilempar begitu saja
oleh "mata-mata" Erwanto. Saleh alias Nasik dihantam tungkai
kakinya hanya untuk mengaku nyolong radio tetangganya. Adli,
setelah dicabuti kuku jari tangannya dan membayar Rp 200 ribu,
disuruh pulang dengan merangkak. Ia ditahan seminggu karena
dituduh mencuri arloji seharga Rp 1.500.
Masak Tega
Begitu juga Muallap. Ia harus membayar Rp 200 ribu kepada
Erwanto setelah tangannya dipukuli dengan kayu -- bila
tuduhannya mencuri kayu tak ingin diteruskan ke pengadilan.
"Padahal," kata Muallap sepulang dari Jakarta, "kayu itu saya
ambil di tanah sendiri."
Betul atau tidak apa yang disampaikan kedelapan orang Madura itu
kepada DPR, memang masih harus diteliti yang berwajib. Kepala
Kepolisian Jawa Timur (Kadapol X) Mayjen Hartawan belum
mengumumkan duduk soal sebenarnya. Hanya, katanya, laporan
orang-orang Madura itu "terlalu dibesar-besarkan."
Misalnya tentang Likan yang pantatnya hancur karena diseret
Erwanto dengan sepeda motor. Sejelek-jeleknya polisi, kata
Kadapol, "masak tega berbuat demikian."
Erwanto tak sempat memberi keterangan. Nyonya Sulamsih,
istrinya, tinggal di Perumnas Kamal. Bersama tiga orang anaknya,
Minggu siang akhir bulan lalu, ia duduk di kursi berukir sambil
nonton acara dari televisi berwarna 20', karena tak diizinkan
menengok suaminya -- yang katanya berada di Kores Bangkalan.
Halimah (13 tahun) istri Erwanto yang lain dan yang dinikahinya
setahun lalu, juga tengah menunggunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini