Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Turun, tidak, turun, tidak

Sehabis musibah kereta api itu, sebaiknya direktur pjka turun saja dari kursi. tapi ternyata semua tetap pada kedudukannya. orang yang justru sedih menerima jabatan adalah khalifah umar bin abdulaziz.

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APABILA lutung saja bisa alpa, mengapa manusia tidak? Sesungguhnya alpa itu datang menyambar bagai petir. Mendadak. Tak terduga. Pergi tanpa permisi. Meninggalkan kejut. Deg-degan. Istighfar. Lahaula wala quwwata illa billah. Terenyuh. Nelangsa. Tak ada yang bisa dilakukan daripada duduk bersimpuh di sudut ruang, pasrah menunggu muntah atau mencret. Itulah yang menimpa saya di bulan Januari yang lalu, begitu mendengar kereta api jatuh bergelimpangan sesudah bertumbuk jidat dengan jidat, begitu saya berseru: dipersilakan dengan hormat supaya Dirut PJKA turun saja dari kursi, lompat boleh merosot boleh, pokoknya turun. Seruan ini tidaklah mudarat benar karena menurut hukum gaya berat turun itu lebih mudah daripada naik. Asal ada niat, segala-galanya akan beres. Nyaris berbarengan -- akibat terbakar dan tenggelanmya kapal "Tampomas II" --sahabat saya Adnan Buyung Nasution juga berbuat alpa. Dia persilakan Menteri Perhubungan berhenti. Langkah pertama sang Menteri tentu mengurus surat-surat kepegawaian yang perlu, sesudah itu bersalam-salaman, sesudah itu meninggalkan kantor disertai lambaian selimat tinggal para bawahan yang berlinang-linang bola matanya. Bagi yang bersangkutan hal ini tidaklah perlu diambil hati benar, karena siapa tahu dalam tempo yang tidak begitu lama terbuka jalan ke mancanegara menjadi dutabesar lengkap dengan dasi kupu dan jas hingga dengkul. Mengapa alpa? Karena kami -- setidaknya saya -- betul-betul lupa bahwa inti ajaran Confucius "Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang beri suri teladan" sudah tak ada harga sepeser pun. Sudah jadi cemoohan segala umur. Sudah jadi barang kiloan, termasuk di negeri asalnya. Bukankah tak lain dari Mao Ze Dung dan nyonya sendiri tatkala melancarkan dia punya garis keras dalam rangka memurnikan ideologi dari gejala "pergeseran ke jalan kapitalis" memasukkan Confucianisme sebagai sasaran anak panah? Sekarang ini tak perlu lagi teladan-teladan, toh yang diperbuat atasan dengan mudah ditiru bawahan, apa soalnya? Alpa nomor dua, kami -- setidaknya saya -- samasekali tidak tahu, gelap segelap-gelapnya, bahwa si brewok Jerman darah Yahudi Karl Marx ada berkata "Tak ada penguasa yang sudi menyerahkan apa yang sudah dalam genggamannya secara sukarela." Dari mana pula saya tahu ocehan macam beginian? Itu bagian ilmu kaum gembel! Padahal saya -- sebagaimana para sidang pembaca sudah sama maklum -- berasal dari keturunan baik-baik, terbiasa hidup dalam lingkungan RT yang bersih, mulus, sepeser yang masuk kantung halal belaka. Kalau tak percaya, boleh tanya Sumarlin. Namanya saja alpa, apa yang kami serukan itu bagaikan teriakan orang di Rub Al Khali. Sirna begitu saja ditiup sang angin, menguap tak ada bersisa. Jangan-jangan -- lebih parah lagi -- jadi bahan tertawaan khalayak ramai karena perbuatan menghendaki pembesar turun dari tahta sama halnya dengan awak meloloskan celana di jalan besar sehingga atas nama peradaban seseorang bergegas menelepon polisi susila agar lekas mengambil langkah yang perlu sesuai dengan ketentuan-ketentuan buku yang ada. Aurat itu barang sakral, dia mesti disembunyikan rapat-rapat seperti uang ringgit. Sesudah alpa berlalu, lantas apa yang terjadi? Tentu saja tidak ada apa-apa. Semuanya bergerak lagi sebagaimana biasa. Kereta api menggelinding di atas jalur yang sudah diperuntukkan, kepala stasiun tegak berdiri di peron dengan pet merah di kepala dan memilin lehernya ke kanan kiri. Sang Dirut sehat wal afiat di kursi kantor yang dinaungi pohon beringin besar tanaman Bandung waktu masih Parijs van Java. Menteri Perhubungan yang gagah perkasa bukan saja sehat dan sejahtera melainkan bermaksud tetap berada di tempatnya demi asas kesinambungan dan menjauhi ketimpangan yang bisa timbul. Saya -- dan mungkin juga Adnan Buyung Nasution -- ambil keputusan duduk tenang-tenang tidak berurusan lagi dengan masalah naik atau turun. Tiap orang, siapa saja, dipersilakan memilih di mana tempat yang layak baginya, berjuntai di ranting atau di dahan, seberapa lama dia kehendaki. Tapi, rupanya pilihan itu tidak begitu mudah. Soalnya, di luar dugaan teman lama Firdaus A.N. beri hadiah buku susunannya mengenai kehebatan Khalifah Umar Bin Abdulaziz dari dinasti Bani Umayyah yang tatkala didorong-dorong orang buat jadi khalifah dengan berat hati terpaksa menerimanya dengan muka sedih serta sungkan. Dia menjerit "Alhamdulillah"? Tentu tidak. Bukan potongan. Kalimat yang keluar dari mulutnya "Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji un." Jabatan tinggi merupakan musibah bagi seorang yang zuhud dan wara' semacam Umar Bin Abdulaziz. Pabrik yang memprodusir orang macam begituan sudah tutup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus