APABILA lutung saja bisa alpa, mengapa manusia tidak?
Sesungguhnya alpa itu datang menyambar bagai petir. Mendadak.
Tak terduga. Pergi tanpa permisi. Meninggalkan kejut. Deg-degan.
Istighfar. Lahaula wala quwwata illa billah. Terenyuh. Nelangsa.
Tak ada yang bisa dilakukan daripada duduk bersimpuh di sudut
ruang, pasrah menunggu muntah atau mencret.
Itulah yang menimpa saya di bulan Januari yang lalu, begitu
mendengar kereta api jatuh bergelimpangan sesudah bertumbuk
jidat dengan jidat, begitu saya berseru: dipersilakan dengan
hormat supaya Dirut PJKA turun saja dari kursi, lompat boleh
merosot boleh, pokoknya turun. Seruan ini tidaklah mudarat benar
karena menurut hukum gaya berat turun itu lebih mudah daripada
naik. Asal ada niat, segala-galanya akan beres.
Nyaris berbarengan -- akibat terbakar dan tenggelanmya kapal
"Tampomas II" --sahabat saya Adnan Buyung Nasution juga berbuat
alpa. Dia persilakan Menteri Perhubungan berhenti. Langkah
pertama sang Menteri tentu mengurus surat-surat kepegawaian yang
perlu, sesudah itu bersalam-salaman, sesudah itu meninggalkan
kantor disertai lambaian selimat tinggal para bawahan yang
berlinang-linang bola matanya. Bagi yang bersangkutan hal ini
tidaklah perlu diambil hati benar, karena siapa tahu dalam tempo
yang tidak begitu lama terbuka jalan ke mancanegara menjadi
dutabesar lengkap dengan dasi kupu dan jas hingga dengkul.
Mengapa alpa? Karena kami -- setidaknya saya -- betul-betul lupa
bahwa inti ajaran Confucius "Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang beri suri teladan" sudah tak ada harga sepeser pun. Sudah
jadi cemoohan segala umur. Sudah jadi barang kiloan, termasuk di
negeri asalnya. Bukankah tak lain dari Mao Ze Dung dan nyonya
sendiri tatkala melancarkan dia punya garis keras dalam rangka
memurnikan ideologi dari gejala "pergeseran ke jalan kapitalis"
memasukkan Confucianisme sebagai sasaran anak panah? Sekarang
ini tak perlu lagi teladan-teladan, toh yang diperbuat atasan
dengan mudah ditiru bawahan, apa soalnya?
Alpa nomor dua, kami -- setidaknya saya -- samasekali tidak
tahu, gelap segelap-gelapnya, bahwa si brewok Jerman darah
Yahudi Karl Marx ada berkata "Tak ada penguasa yang sudi
menyerahkan apa yang sudah dalam genggamannya secara sukarela."
Dari mana pula saya tahu ocehan macam beginian? Itu bagian ilmu
kaum gembel! Padahal saya -- sebagaimana para sidang pembaca
sudah sama maklum -- berasal dari keturunan baik-baik, terbiasa
hidup dalam lingkungan RT yang bersih, mulus, sepeser yang masuk
kantung halal belaka. Kalau tak percaya, boleh tanya Sumarlin.
Namanya saja alpa, apa yang kami serukan itu bagaikan teriakan
orang di Rub Al Khali. Sirna begitu saja ditiup sang angin,
menguap tak ada bersisa. Jangan-jangan -- lebih parah lagi --
jadi bahan tertawaan khalayak ramai karena perbuatan menghendaki
pembesar turun dari tahta sama halnya dengan awak meloloskan
celana di jalan besar sehingga atas nama peradaban seseorang
bergegas menelepon polisi susila agar lekas mengambil langkah
yang perlu sesuai dengan ketentuan-ketentuan buku yang ada.
Aurat itu barang sakral, dia mesti disembunyikan rapat-rapat
seperti uang ringgit.
Sesudah alpa berlalu, lantas apa yang terjadi? Tentu saja tidak
ada apa-apa. Semuanya bergerak lagi sebagaimana biasa. Kereta
api menggelinding di atas jalur yang sudah diperuntukkan, kepala
stasiun tegak berdiri di peron dengan pet merah di kepala dan
memilin lehernya ke kanan kiri. Sang Dirut sehat wal afiat di
kursi kantor yang dinaungi pohon beringin besar tanaman Bandung
waktu masih Parijs van Java. Menteri Perhubungan yang gagah
perkasa bukan saja sehat dan sejahtera melainkan bermaksud tetap
berada di tempatnya demi asas kesinambungan dan menjauhi
ketimpangan yang bisa timbul.
Saya -- dan mungkin juga Adnan Buyung Nasution -- ambil
keputusan duduk tenang-tenang tidak berurusan lagi dengan
masalah naik atau turun. Tiap orang, siapa saja, dipersilakan
memilih di mana tempat yang layak baginya, berjuntai di ranting
atau di dahan, seberapa lama dia kehendaki. Tapi, rupanya
pilihan itu tidak begitu mudah. Soalnya, di luar dugaan teman
lama Firdaus A.N. beri hadiah buku susunannya mengenai kehebatan
Khalifah Umar Bin Abdulaziz dari dinasti Bani Umayyah yang
tatkala didorong-dorong orang buat jadi khalifah dengan berat
hati terpaksa menerimanya dengan muka sedih serta sungkan. Dia
menjerit "Alhamdulillah"? Tentu tidak. Bukan potongan. Kalimat
yang keluar dari mulutnya "Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji
un."
Jabatan tinggi merupakan musibah bagi seorang yang zuhud dan
wara' semacam Umar Bin Abdulaziz. Pabrik yang memprodusir orang
macam begituan sudah tutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini