Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cerita-cerita dari Jawa Timur

Beberapa tindakan tentang tindakan dan penganiayaan oleh oknum polisi. 4 orang pelajar dari ponorogo mengadu ke dpr di jakarta karena rekan mereka ditembak oleh oknum tentara.(krim)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITRA penegak hukum Jawa Timur sedang runyam. Setidaknya begitu yang tergambar dari suara-suara di gedung DPR/MPR di Senayan sepanjang bulan lalu. Yang terhebat, tentu saja, tentang peristiwa Jember. Lalu ada empat pelajar SLA dari Ponorogo mengadu tentang rekan mereka yang ditembak seorang oknum tentara. Ditambah lagi laporan delapan warga Madura tentang kesewenang-wenangan seorang anggota polisi. Tentang Ponorogo, ceritanya begini, Diantar seorang Pembela Umum LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, Agus Dwi Naranto (Ketua OSIS SMAN I Ponorogo), bersama Slamet Hariyanto, Sonny Herlianto dan Gunawan Asahir, pertengahan bulan lalu mengadu ke DPR. Mula-mula mereka mencari pimpinan DPR. Tapi, berhubung untuk menjumpai Ketua DPR harus ada perjanjian seminggu di muka, mereka diterima Fraksi Persatuan Pembangunan. Di situ para pelajar mengadu tentang apa yang mereka sebut "Tragedi Malam Minggu". Yaitu sebuah peristiwa berdarah yang menimpa rekan mereka, Agung Suseno (18 tahun), yang katanya ditembak Kopral Warsikun dari Komando Distrik Militer Ponorogo (Kodim 0802). Jauh-jauh datang ke Jakarta, katanya, karena mereka tak puas dengan cara Komandan Kodim menyelesaikan persoalan yang mereka anggap serius. Kejadiannya sebenarnya sudah lama juga. Yaitu ketika ramai-ramainya peristiwa anti-Cina di Sala yang berkembang ke beberapa kota lain. Malam itu, malam Minggu 29 November 1980 sekitar pukul 22.30, Agung Suseno dan beberapa kawannya masih berada di jalan raya. Belakangan, menurut orang tuanya, Nyonya Sukatmin, ketika itu anaknya baru pulang dari mengerjakan prakarya dl rumah temannya. Secara tak sengaja, begitulah ceritanya, di jalan Agung bertemu dengan beberapa teman sekolahnya. Antara lain Agus Dwi Naranto, yang malam itu katanya hendak mencari nasi pecel. Seperti biasa, waktu-waktu berkumpul selalu mereka pergunakan untuk ngobrol, bergurau dan tertawa keras-keras. Sementara itu, dalam suasana tak begitu enak, patroli Kodim mondar-mandir di jalanan -- baik yang berseragam, bersenjata dan berkendaraan maupun yang berpakaian preman. Terserah Atasan Persis di muka Kantor Telegrap Ponorogo, sekitar 50 meter dari pertigaan Jalan Pemuda, seregu patroli berkendaraan Toyota Kijang berpapasan dengan serombongan kecil pelajar tersebut. Tak terjadi apa-apa, kata Agus kemudian, "karena kami memang tak berbuat sesuatu." Tapi begitu patroli lewat, Agus mendengar suara yang kedengarannya seperti letusan senjata api. Tanpa mempedulikan teman-temannya, Agus -- yang "menyangka tembakan peringatan" entah dari siapa dan untuk apa -- lari dan terus pulang ke rumah. Letusan tadi memang dari sebuah senjata api. Tapi tak hanya merupakan tembakan peringatan yang biasanya mengarah ke langit. Sebab, begitulah kenyataannya, yang terkena peluru adalah tengkuk Agung -- sampai meremukkan rahang kirinya. Dari ceritanya kemudian, korban yang kontan tersungkur masih sempat bertanya kepada penembaknya: "Kenapa saya ditembak?" Barangkali, tak seperti dikatakan para pelajar, penembaknya tak sengaja hendak mencelakakan Agung. Buktinya si penembak, yang kemudian diketahui bernama Warsikun, berpangkat Kopral I (Koptu) dan sedang berdinas dengan pakaian preman, berusaha membawa si korban ke RSU Ponorogo. Dari situ, untuk perawatan yang lebih baik, Agung dikirim ke RS Karangmenjangan di Surabaya. Besoknya pelajar SMAN I Ponorogo geger. OSIS rapat. Keputusannya, mereka membuat petisi, dibacakan di Kodim atas persetujuan Kepala Sekolah. Isinya tentu saja menuntut agar Koptu Warsikun ditindak sebagaimana mestinya & "diselesikan seadil-adilnya menurut hukum yang berlaku". Dandim Letkol Sumarsan (sejak dua bulan lalu digantikan Letkol Sutarmas) menyatakan penyesalannya dan Bupati Sumadi menanJikan biaya perawatan. Urusan tak selesi dengan petisi. Para pelajar tak melihat penyelesaian seperti yang mereka kehendaki: Setelah menjalani penahanan dan pemeriksaan sekitar sebulan, seperti dilihat para pelajar, Koptu Warsikun kelihatan sudah berdinas lagi. Agus lalu memimpin delegasi ke Kodim. Yang menerima Kepala Staf Kodim, Kapten Naja Rachman. Pembicaraan tak begitu enak. Para pelajar tetap menuntut agar si penembak Agung diadili. Sedangkan Kasdim, menurut Agus, cuma bilang: "Semuanya terserah atasn." Terakhir, 22 Februari lalu, Agus mengajak teman-temannya lagi --termasuk Agung Suseno yang sudah mulai masuk sekolah -- menemui Kasdim. Jawabannya tetap seperti semula. Putus asa dengan sikap Kodim, Agung membawa tiga temannya ke Jakarta, mengadu ke DPR. Urusan bukannya beres. Setelah pulang dari Jakarta, Agung dkk. malah tak diperkenankan masuk sekolah beberapa waktu -- karena telah menghadap wakil rakyat (DPR) tanpa izin Kepala Sekolah. Padahal FPP berjanji hendak menyurati Kepala Sekolah agar memahami sikap murid-murid tersebut dan tidak menghukum mereka. Pihak Kodim, selain menyatakan bahwa Koptu Warsikun sedang diproses Polisi Militer (POM-ABRI) Madiun, tak bersedia memberi keterangan lebih lanjut. Begitu juga Komando Resor (Kores) Kepolisian Bangkalan (Madura) yang ditanya soal pengaduan delapan warga ke DPR bulan lalu. Seperti halnya beberapa pelajar Ponorogo, delapan orang Madura itu juga tak begitu tenteram, sepulang mereka dari Jakarta. Malahan mereka tak berani pulang ke Bangkalan. Sementara ini mereka "bersembunyi" di sebuah perkampungan orang-orang Madura di Surabaya Utara. Kedelapan orang Madura tersebut, Haji M. Tajul, Mutiken, Adli, M. Saleh alias Nasik, A. Gaffar, Muallap, Sulisa dan Sulaiman, mengadu ke DPR mengenai tindak-tanduk seorang oknum polisi yang dianggap keterlaluan. Orang itu bernama Erwanto, berpangkat Kopral 1, selama ini bertugas di Komando Sektor (Kosek) Kecamatan Galis (28 km dari Bangkalan). Memeras Koptu Erwanto memang malang-melintang di sekitar desa itu. "Mendengar suara sepeda motornya saja penduduk sudah bersembunyi," kata seorang penduduk Galis. Banyak juga yang mengenalnya sebagai penjudi adu ayam atau gemar memamerkan pistol bila lagi mabuk-mabukan. Tapi tentu bukan itu saja yang disampaikan ke Jakarta. Kegemarannya menganiaya dan memeras penduduklah yang dilaporkan orang-orang Madura kepada wakilnya di DPR. Misalnya yang menyangkut seorang penduduk Desa Benkarsa yang bernama Likan. Orang yang malang itu, begitu cerita mereka, didatangi Erwanto tengah malam. Ia diseret dari tempat tidurnya dan langsung ditembak. Lalu lehernya diikat dengan sarung dan diseret dengan sepeda motor ke Kantor Polisi yang jaraknya sekitar 5 km. Tentu saja badan Likan rusak. Besoknya keluarga Likan mencarinya ke Kantor Polisi. Tak ada. Di rumah sakit terdekat juga tak ketemu. Belakangan baru diketahui, Likan dirawat di RS Dr. Soetomo di Surabaya, sebagai korban kecelakaan lalulintas. Padahal oleh penangkapnya ia dituduh mencuri sapi. Setelah habis harta benda keluarga untuk membiayai perawatan selama 44 hari, malangnya, Likan (40 tahun) akhirnya mati juga. Cerita lain menyangkut Haji Tajul. Ia kehilangan sebuah sepeda motornya. Erwanto sanggup menemukannya asal ia berani membayar Rp 200 ribu. "Mestinya 'kan pencurinya harus ditangkap," kata Haji Tajul. "Ini kok malah saya, yang kehilangan, harus membayar." Setelah melalui urusan berlik liku, dan mengeluarkan biaya sekitar Rp 350 ribu, akhirnya Tajul memperoleh kembali kendaraannya. Beberapa tahanan yang diurus Erwanto juga mengeluh. Mereka dianiaya untuk mengakui segala tuduhan yang dilempar begitu saja oleh "mata-mata" Erwanto. Saleh alias Nasik dihantam tungkai kakinya hanya untuk mengaku nyolong radio tetangganya. Adli, setelah dicabuti kuku jari tangannya dan membayar Rp 200 ribu, disuruh pulang dengan merangkak. Ia ditahan seminggu karena dituduh mencuri arloji seharga Rp 1.500. Masak Tega Begitu juga Muallap. Ia harus membayar Rp 200 ribu kepada Erwanto setelah tangannya dipukuli dengan kayu -- bila tuduhannya mencuri kayu tak ingin diteruskan ke pengadilan. "Padahal," kata Muallap sepulang dari Jakarta, "kayu itu saya ambil di tanah sendiri." Betul atau tidak apa yang disampaikan kedelapan orang Madura itu kepada DPR, memang masih harus diteliti yang berwajib. Kepala Kepolisian Jawa Timur (Kadapol X) Mayjen Hartawan belum mengumumkan duduk soal sebenarnya. Hanya, katanya, laporan orang-orang Madura itu "terlalu dibesar-besarkan." Misalnya tentang Likan yang pantatnya hancur karena diseret Erwanto dengan sepeda motor. Sejelek-jeleknya polisi, kata Kadapol, "masak tega berbuat demikian." Erwanto tak sempat memberi keterangan. Nyonya Sulamsih, istrinya, tinggal di Perumnas Kamal. Bersama tiga orang anaknya, Minggu siang akhir bulan lalu, ia duduk di kursi berukir sambil nonton acara dari televisi berwarna 20', karena tak diizinkan menengok suaminya -- yang katanya berada di Kores Bangkalan. Halimah (13 tahun) istri Erwanto yang lain dan yang dinikahinya setahun lalu, juga tengah menunggunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus