Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Serabutan 57 Plus

Mantan pegawai KPK korban tes wawasan kebangsaan pontang-panting mencari penghidupan baru. Ada yang menjadi kenek bangunan.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Para eks pegawai KPK yang dipecat, berkumpul di Jakarta, 5 Oktober 2021 TEMPO/ Kautsar Umaro Yanshuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada lebih dari 57 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan.

  • Tak semua penyidik. Ada juga satpam dan pramusaji.

  • Mereka bekerja serabutan setelah tak bekerja di KPK.

DUA hari setelah resmi tak menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, Sabtu, 2 Oktober lalu, Arfin Puspomelistyo pulang ke kampungnya di Purworejo, Jawa Tengah. Ia mengajak istri dan seorang anaknya. “Ingin bertemu Bapak untuk menunjukkan saya kuat, biar tak jadi pikiran keluarga di kampung,” tutur laki-laki 37 tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 30 September 2021, sebanyak 57 pegawai KPK tak lagi bekerja di lembaga antikorupsi ini. Pimpinan KPK menyatakan Arfin tak lulus tes wawasan kebangsaan. Ia menjadi satu dari sebelas orang pegawai tidak tetap KPK. Ada 300 pegawai honorer di sana. Di KPK sehari-hari ia bekerja sebagai anggota satuan pengamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tes wawasan kebangsaan itu digelar pada 9-10 Maret lalu. Tes ini diadakan untuk menyaring pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara karena KPK kini bukan lagi lembaga independen. KPK kini bagian dari rumpun eksekutif yang menyusun revisi Undang-Undang KPK dua tahun lalu.

Arfin bergabung ke KPK pada 2008. Awalnya ia pegawai alih daya yang direkrut KPK, lalu naik menjadi pegawai tidak tetap. Agar bisa terus bekerja di KPK, ia harus ikut tes wawasan kebangsaan. Menurut dia, tes tertulis ataupun wawancara bisa ia jawab dengan baik. Arfin tak mendapat pertanyaan semacam “apa yang dilakukan saat pacaran”, pilihan antara Pancasila atau Al-Quran, atau pertanyaan berat semacam separatisme Papua.

Arfin tak masuk dalam golongan pegawai KPK yang “diduga” fundamentalis. Tes wawasan kebangsaan berusaha menelisik isu bahwa ada sekelompok pegawai KPK yang anti-Pancasila dan pendukung Islam garis keras. “Salat lima waktu saja saya masih bolong,” ucap Arfin. “Masak iya saya dianggap Taliban?” Taliban, yang mengacu pada kelompok garis keras di Afganistan, adalah julukan untuk kelompok pegawai KPK menurut rumor itu berpandangan garis keras.

Arfin terbilang pegawai moncer di KPK. Ia tak pernah sekali pun mendapat sanksi atas kesalahan selama bekerja. Penghargaan sebagai anggota teladan berulang kali ia peroleh. Ia bahkan sempat mendapatkan promosi sebagai komandan regu. Arfin sempat menanyakan alasan yang melatari pemecatan dirinya kepada atasannya. “Tapi tidak ada sedikit pun penjelasan. Kami hanya diberikan surat keputusan pemberhentian,” ujarnya.

Malang tak dapat ditolak. Ia dan banyak pegawai honorer lain tak punya kuasa menggugat keputusan pimpinan. Tawaran untuk penempatan kerja di tempat lain pernah datang kepada Arfin dan sejumlah pegawai lain. Tapi itu pun dengan syarat: bersedia mengundurkan diri dari KPK sebelum hasil tes wawasan kebangsaan keluar. “Waktu itu saya minta waktu untuk konsultasi dengan istri,” ucapnya. “Tawaran itu kandas karena hasil TWK sudah terbit.”

Wahyu Ahmad Dwi Haryanto, 39 tahun, mantan pramusaji yang bekerja di KPK sejak 2006, mengaku tak punya banyak pilihan mencari pekerjaan baru setelah dipecat karena tak lolos tes wawasan kebangsaan. Untuk memenuhi keperluan keluarga dan dapur rumah tangga, ia membuka kedai nasi tak jauh dari rumahnya di Depok, Jawa Barat. “Saya agak shocked dikejar-kejar kebutuhan,” kata Wahyu. “Kemarin sempat sakit.”

Heryanto, pramusaji lain, kini bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Sejak tak lagi menerima honor dari KPK, tawaran pekerjaan apa pun ia ambil. Ia kini bekerja sebagai kenek bangunan, membantu temannya yang tengah membangun rumah. “Selepas nukang saya menemani anak menyelesaikan tugas sekolah,” tuturnya.

Opsi mencari pekerjaan baru bukan perkara mudah bagi Arfin. Ia mengaku mengalami guncangan psikologis. “Saya jadi tidak percaya diri melamar pekerjaan. Ada perasaan khawatir apakah orang yang dicap ‘merah’ dan tidak bisa dibina seperti saya bisa bekerja di tempat lain,” ujarnya. Perasaan tak nyaman itu yang melatari Arfin memilih mudik ke Purworejo untuk menenangkan diri barang sesaat. 

Meski berusaha terlihat tabah, ia tak bisa menutupi kekecewaan. Sulung dari enam bersaudara itu mengaku tak lagi bisa berbuat banyak untuk membantu membiayai kedua adiknya yang masih belajar di sekolah menengah pertama dan atas. “Saya bersyukur punya keluarga yang bisa paham kondisi yang saya alami dan teman-teman lain. Mereka sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di KPK melalui pemberitaan,” katanya.

•••

SEKITAR 30 pegawai KPK menyambangi kolam lele milik penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, di Sukabumi, Jawa Barat, pada Ahad, 26 September lalu. Semua yang datang adalah pegawai yang dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan. Pertemuan itu semula diniatkan untuk berlibur, tapi mendadak serius setelah Mochamad Praswad Nugraha, penyidik KPK, menggagas pendirian lembaga kajian. 

Abung—panggilan akrab Praswad—mencetuskan ide tersebut empat hari menjelang surat pemecatan pegawai KPK berlaku pada 30 September 2021. Inisiatif itu semula ia gagas sebagai wadah paguyuban bagi mantan pegawai KPK korban TWK. “Setelah tanggal 30, masing-masing di antara kita akan menjalani kehidupan dan garis takdir yang berbeda. Yang bisa mengikat kita adalah wadah itu,” ucapnya.

Abung mengusulkan paguyuban itu bernama Indonesia Memanggil 57+ Institute. Indonesia Memanggil adalah program KPK merekrut pegawai secara mandiri, tak lagi mendapat suplai dari lembaga-lembaga negara seperti polisi, jaksa, atau badan auditor. Sejak dimulai 23 Desember 2003, seleksi Indonesia Memanggil digelar 12 kali. Sementara itu, nama 57+ diambil dari jumlah pegawai yang tidak lulus TWK.

Gayung pun bersambut. Para pegawai yang umumnya penyidik menilai gagasan itu layak dikembangkan sebagai bentuk ikatan kekeluargaan mereka. Bahkan ada ide IM57+ Institute menjadi semacam lembaga kajian dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Abung, IM57+ Institute merupakan lembaga yang bersifat cair. Tak ada keharusan bagi mantan pegawai yang tak lulus TWK bergabung dalam wadah ini. Mereka yang berkomitmen bergabung pun diberi keleluasaan berkarya sesuai dengan kompetensi masing-masing. “Kami persilakan teman-teman membuat karya apa pun. Bisa riset antikorupsi, pelatihan dan pendidikan antikorupsi, atau teknik audit dan investigasi,” katanya.

Mantan Penyidik KPK, Lakso Anindito membawa barang miliknya saat pamit di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 5 Oktober 2021/TEMPO/Daniel Christian D.E

Penamaan IM57+ Institute tak lepas dari sosok penyidik muda KPK, Lakso Anindito. Ia pegawai KPK yang mengikuti TWK paling akhir karena tengah menjalani studi master di Lund University, Swedia. Kajian alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu adalah kejahatan korporasi.

Lakso menjalani tes pada 20 September 2021 di gedung Badan Kepegawaian Negara. Sepuluh hari berselang, ia diminta kembali menghadap untuk tes wawancara. Pada hari itu juga, selepas tes wawancara, tim asesor mengumumkan ia tak lulus tes. Itu sebabnya nama IM57 mendapat imbuhan +. “Korban TWK itu sebelumnya dikenal luas berjumlah 57, karena penambahan Lakso lembaga ini bernama IM57+ Institute,” tutur Abung.

Mereka kini menumpang bekerja di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta Pusat. Para anggota IM57+ Institute sedang membuat satu kajian tentang korupsi di Indonesia dan akan diluncurkan pekan depan. Menurut Praswad, anggota IM57+ Institute memiliki pelbagai keahlian langka yang spesifik dan amat menunjang investigasi kejahatan korupsi.

Penyidikan korupsi di KPK, ucap Praswad, ditopang oleh penyidik-penyidik muda yang memiliki keahlian audit hingga pengintaian. Mereka terasah mencium sebuah kejahatan dari gerak-gerik dan data, meskipun minim bukti, hingga mengeksekusinya dalam sebuah operasi tangkap tangan. “Kalau IM57+ Institute ini jadi bakal menjadi lembaga yang kuat dalam gerakan antikorupsi di Indonesia,” ujar Ketua Umum YLBHI Asfinawati.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus