Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Saatnya Hidup Bersama Corona

Pemerintah Singapura meninggalkan strategi "nol kasus" dan beralih ke "hidup bersama Covid-19". Dijalankan ketika pandemi menjadi endemi.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana pusat keramaian yang melakukan pembatasan sosial selama wabah Covid 19, di Singapura, 29 September 2021. REUTERS/Edgar Su

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Singapura meninggalkan strategi nol kasus dan beralih ke hidup bersama Covid-19.

  • Pemerintah menganggap Covid-19 sebagai endemi.

  • Kehidupan ekonomi dan sosial di Singapura mulai berdenyut lagi.

ANGKA kasus harian Covid-19 di Singapura masih tinggi. Kementerian Kesehatan Singapura mencatat 3.483 kasus harian baru pada Kamis, 7 Oktober lalu. Jumlah ini melonjak dari hanya 32 kasus pada 19 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun angka kasus tinggi, kondisi Covid-19 Singapura tidaklah seburuk yang dibayangkan. Kementerian menyebutkan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit sebanyak 1.534 orang. Hanya 297 pasien yang membutuhkan oksigen tambahan dan cuma 40 orang yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Selain itu, dalam 28 hari terakhir, 98,4 persen dari 46.637 pasien yang terinfeksi memiliki gejala ringan atau tanpa gejala. Sejak pandemi melanda, hanya 136 orang yang meninggal karena infeksi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun kehidupan masyarakat di sana telah mulai pulih. Sejak Agustus lalu, pemerintah menerapkan Aturan Manajemen Keselamatan yang baru. Toko, restoran, dan kedai kopi sudah dibuka. Konser musik, resepsi pernikahan, dan acara lain yang mengundang kerumunan orang juga sudah diizinkan. Siapa pun boleh datang, baik yang sudah mendapat vaksin Covid-19 maupun yang belum. Tentu saja, protokol kesehatan tetap ditegakkan dan jumlah pengunjung dibatasi.

Singapore Chinese Orchestra, misalnya, mulai menggelar konser di Singapore Conference Hall pada 25 September lalu. Sebelum Agustus lalu, pertunjukan langsung yang menampilkan pemain musik tiup ditangguhkan. Kini mereka dapat tampil dengan pembatasan tertentu. Hanya 50 penampil dan kru yang diizinkan berada di atas dan belakang panggung. Pertunjukan itu, yang juga dapat ditonton secara daring, dihadiri sekitar 100 orang, kurang dari separuh kapasitas ruangan yang diizinkan. "Kami harus berupaya agar penonton kembali ke gedung dan lebih banyak musikus kembali ke panggung," kata Terence Ho, direktur eksekutif orkestra ini, kepada The Straits Times.

Kelompok musik lain juga mulai menggelar pertunjukan pada Oktober ini, seperti Orchestra of the Music Makers di Esplanade Concert Hall dan pianis Jerman, Joja Wendt, di The Star Performing Arts Centre. Daftar konser ini masih panjang dan sebagian adalah penampilan rutin yang menunjukkan kembali bergairahnya iklim berkesenian di Singapura seusai pembatasan ketat hampir setahun lamanya.

Ini adalah bagian dari strategi baru pemerintah Singapura menghadapi pandemi Covid-19 yang dipicu virus corona. Pemerintah memutuskan meninggalkan strategi lama yang menyasar angka kasus rendah dengan aturan sangat ketat serta pengetesan dan pelacakan kasus yang agresif. Usaha ini berhasil. Selama sekitar setahun negeri itu berhasil menekan jumlah kasus harian hingga satu atau dua digit saja.

Pada Mei lalu, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memperkenalkan rencana pemerintah untuk "hidup bersama virus tersebut" dan transisi meninggalkan pendekatan "nol kasus". "Tujuan kami tentulah menjaga keselamatan seluruh masyarakat sambil menerima bahwa sebagian orang mungkin akan terinfeksi saat ini atau nanti," ucap Lee seraya mengumumkan pembukaan secara bertahap bagi warga setempat dan kemudian untuk pendatang.

Anil Kumar Nayar (kiri) Duta Besar Singapura untuk Republik Indonesia. Tempo/Jati Mahatmaji

Kini negeri berpenduduk sekitar 5,6 juta jiwa itu memulai perjalanan transisi menuju "negara tangguh Covid-19". Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar, menyatakan pendekatan baru ini berbasis sains dan data, bukan pertimbangan politik. Selain itu, negeri tersebut tak bisa menutup diri terus-menerus dari dunia luar.

"Kenyataan yang dihadapi negara seperti Singapura sebagai hub internasional di banyak ranah adalah bahwa kami tidak bisa lepas dari dunia luar," tutur Anil kepada Tempo pada Jumat, 8 Oktober lalu. "Jadi kami harus mencari cara, sambil mengendalikan situasi Covid-19 di Singapura menjadi tahan Covid-19, kami juga harus bisa terhubung kembali ke seluruh dunia."

* Syarat untuk anak-anak berusia 12 tahun ke bawah: jika ada lebih dari satu anak dalam satu kelompok, semua anak harus dari satu keluarga. Untuk acara skala besar, jumlah anak dipatok 20 persen.
Sumber: Kementerian Kesehatan Singapura

Pemerintah telah menyiapkan empat tahap hidup bersama Covid-19 menuju "bangsa tangguh Covid-19". Setiap tahap berisi tindakan dan kebijakan pemerintah dalam merespons perkembangan pandemi. Menurut Anil, kebijakan ini keluar setelah cakupan vaksinasi Covid-19 di Negeri Singa telah cukup luas. Hingga Rabu, 6 Oktober lalu, 83 persen penduduk sudah mendapat dua suntikan vaksin Covid-19 penuh dan 85 persen telah menerima sedikitnya satu dosis vaksin.

Singapura tidak sendiri dalam perubahan strategi Covid-19. Negara lain yang baru saja meninggalkan strategi "nol kasus" adalah Selandia Baru, setelah kebijakan penutupan Kota Auckland gagal menghentikan penyebaran varian delta. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyatakan penutupan kota akan dilonggarkan secara bertahap dan strategi bakal diubah. Pada Senin, 4 Oktober lalu, Ardern menyatakan penting bagi negeri itu untuk mempertahankan kontrol ketat. Tapi, sementara itu, "Kami melakukan transisi dari posisi hanya menggunakan pembatasan ketat ke posisi memakai vaksin dalam aturan kesehatan masyarakat sehari-hari," ucapnya seperti dikutip CNBC.

Negara-negara lain diperkirakan mengikuti model pendekatan Singapura atau Selandia Baru dengan meninggalkan pendekatan "nol kasus". Hal ini akan membuat penanganan pandemi berubah di seluruh dunia dan mengubah cara kita menghadapi Covid-19.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus