Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Listyo Sigit Prabowo dan Firli Bahuri memiliki karier moncer di kepolisian.
Berbeda sikap saat kasus pengembalian penyidik KPK ke Mabes Polri mencuat.
Ada catatan hitam Firli Bahuri.
INI cerita dua polisi. Sama-sama sedang di puncak karier, sama-sama moncer naik jabatan, tapi berhadapan dalam urusan menangani 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang didepak melalui tes wawasan kebangsaan. Satu mendepak mereka, satu hendak menampung mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi yang mendepak 57 pegawai itu adalah Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia naik ke pucuk lembaga antikorupsi itu pada Desember 2019 setelah Dewan Perwakilan Rakyat memilihnya dua bulan sebelumnya. Padahal, sebulan sebelum terpilih, ia diangkat menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan dengan pangkat komisaris jenderal. Jabatan ini pun ia duduki setelah enam bulan memimpin Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpilihnya Firli memantik kegaduhan internal KPK. Sejumlah pegawai menolak Firli karena menganggap dia memiliki catatan hitam saat menjabat Deputi Penindakan KPK pada April 2018-Juni 2019. Panitia seleksi calon pemimpin KPK mendapatkan laporan itu. Tapi langkah ajudan Wakil Presiden Boediono itu tak terhenti.
Menurut laporan itu, Firli pernah menemui Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di salah satu hotel di Jakarta Selatan pada 1 November 2019. Ia tertangkap kamera mencium tangan Megawati. Ada Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan dalam pertemuan itu.
Firli, 57 tahun, mengakui adanya pertemuan. Menurut dia, pertemuan itu terjadi secara tak sengaja lantaran dia diundang Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Antam Novambar. “Saya bertemu dengan Pak Antam. Betul, di situ ada Bu Megawati,” tutur Firli selepas mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR, 12 September 2019.
Menurut Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch, pertemuan itu menunjukkan bahwa Firli punya kedekatan dengan partai yang tengah berkuasa. Ia menduga kedekatan itu juga yang belakangan membuat penyidikan kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, terhambat. “Ada petinggi partai yang seharusnya diduga terlibat dan gagal ditangkap,” katanya, Jumat, 8 Oktober lalu.
Kasus suap KPU terungkap lewat operasi tangkap tangan. Salah seorang pelaku, Harun Masiku, yang diduga menjadi penghubung aliran uang kepada petinggi partai, mendadak hilang. Alih-alih mengejar keberadaan Masiku, pimpinan KPK malah memulangkan salah seorang penyidik kasus itu, Komisaris Rosa Purbo Bekti, ke Markas Besar Polri pada 4 Februari 2020.
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, seusai melakukan pertemuan silaturahmi, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 9 Februari 2020/TEMPO/Imam Sukamto
Namun Polri menolak rencana ini lewat surat yang diteken Wakil Kepala Kepolisian RI kala itu, Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Seorang yang mengetahui perkara ini mengatakan Kepala Bareskim Komisaris Jenderal Listyo Sigit yang diminta mengurus surat penolakan tersebut. “Sejak itu muncul anggapan Firli bermanuver membuat kebijakan tanpa koordinasi dengan Polri,” katanya.
Di sisi lain, Firli ngotot mengembalikan Rosa. “Putusan pimpinan KPK sudah menyampaikan bahwa sudah ada penghentiannya,” ucap Firli kala itu.
Adapun polisi yang hendak menampung 57 pegawai KPK adalah Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Kepolisian RI. Kariernya di polisi juga moncer. Ia adik angkatan Firli di Akademi Kepolisian. Listyo angkatan 1991, Firli 1990. Listyo adalah ajudan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014.
Setelah terpilih menjadi Kepala Polri, Listyo Sigit, 52 tahun, mendatangi KPK pada 8 Februari lalu untuk menemui Firli. Salah satu agenda yang mereka bahas adalah penempatan penyidik polisi di KPK. “Kami sama-sama menguatkan sumber daya manusia karena kami memang ada MoU (nota kesepahaman),” ujar Listyo.
Kali ini, kedua jenderal polisi tersebut beda perlakuan dalam melihat pegawai KPK. Firli menganggap mereka tak punya nilai wawasan kebangsaan, Listyo sebaliknya. “Tawaran ini bisa jadi semacam jalan tengah Jokowi terhadap pegawai KPK korban TWK,” tutur Kurnia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo