Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merekrut 57 mantan pegawai KPK terganjal sejumlah peraturan.
Kementerian PAN-RB dan BKN lepas tangan.
Presiden Jokowi tak tegas mendukung rencana ini.
PERSAMUHAN 45 menit itu berakhir tanpa hasil. Sembilan perwakilan mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) menemui sejumlah petinggi Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin, 4 Oktober lalu. “Kami masih berbicara yang umum-umum saja,” kata mantan pegawai KPK yang hadir dalam acara itu, Hotman Tambunan, pada Jumat, 8 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka hanya saling berkenalan pada hari itu. Mereka bertemu di ruangan Asisten Sumber Daya Manusia Polri Inspektur Jenderal Wahyu Widada. Hadir pula Koordinator Staf Ahli Kapolri Inspektur Jenderal Eko Indra Heri, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, Kepala Divisi Hukum Polri Inspektur Jenderal Suryanbodo Asmoro, dan beberapa anggota staf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan Hotman dan kawan-kawan, Wahyu menyampaikan keinginan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merekrut 57 mantan pegawai lembaga antikorupsi itu menjadi aparatur sipil negara (ASN) di kepolisian. Namun mereka tak menyampaikan pola rekrutmen yang akan diterapkan.
Pada 28 September lalu, Listyo mengutarakan rencananya itu dalam sebuah konferensi pers menanggapi berakhirnya masa tugas pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan pada 30 September 2021. “Saya sudah menyurati Bapak Presiden, memohon 56 orang yang melaksanakan TWK untuk kami rekrut menjadi ASN Polri,” ujarnya.
Listyo mengklaim sudah mendapat dukungan Presiden Joko Widodo. Dia menyatakan telah mendapat surat jawaban persetujuan dari Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada Senin, 27 September 2021.
Listyo menganggap 56 pegawai itu memiliki rekam jejak dan pengalaman di bidang pemberantasan korupsi sehingga bermanfaat untuk memperkuat Korps Bhayangkara. “Prosesnya sedang berlangsung dan mekanismenya seperti apa sedang didiskusikan,” ucapnya kala itu.
Pimpinan KPK akhirnya benar-benar memecat 57 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Jumlah mereka berkurang satu karena salah seorang pegawai, Sujanarko, memasuki usia pensiun. Belakangan, jumlahnya kembali menjadi 57 setelah KPK juga memecat pegawai yang tengah belajar di Swedia, Lakso Anindito. Kini mereka tergabung dalam Indonesia Memanggil 57+ Institute.
Pemecatan Lakso, Novel Baswedan, serta penyidik dan anggota staf KPK lain bermula dari revisi Undang-Undang KPK yang diusulkan pemerintah. Undang-undang yang dianggap memangkas sejumlah kewenangan KPK itu kemudian disahkan di Senayan pada Oktober 2019.
Imbas dari aturan baru itu, status KPK sebagai lembaga independen berubah menjadi bagian dari rumpun eksekutif. Akibatnya, status pegawai harus ikut beralih menjadi aparatur sipil negara.
Pimpinan KPK di bawah komando Komisaris Jenderal Firli Bahuri menggelar tes wawasan kebangsaan sebagai syarat peralihan status pegawai. Mereka yang tak lulus menduga TWK hanya akal-akalan Firli untuk menyingkirkan mereka karena “susah dikendalikan” dan punya integritas dalam memberantas korupsi.
Di antara mereka, ada juga orang yang tengah menyidik kasus megakorupsi bantuan Kementerian Sosial, seperti Muchamad Praswad Nugraha dan Andre Dedi Nainggolan. Para pegawai lain adalah mereka yang sejak awal menolak revisi Undang-Undang KPK yang memangkas kewenangan dan menempatkan lembaga ini tak lagi independen.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman RI sudah menyatakan tes wawasan kebangsaan sarat kejanggalan. Komnas HAM menyebut tes ini melanggar hak asasi. Ombudsman bahkan menyatakan proses tes oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara malaadministrasi.
Kedua lembaga itu merekomendasikan Presiden Joko Widodo membatalkan pemecatan 57 orang tersebut. Presiden juga diharapkan mengangkat para mantan pegawai tersebut menjadi aparatur sipil negara. Namun Istana Negara bergeming. “Jangan semua urusan lari ke Presiden. Ngapain itu yang di bawah?” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menanggapi polemik TWK.
Para pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan, resmi berpamitan serta keluar dari kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 30 September 2021/TEMPO/Imam Sukamto
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo mengatakan Presiden tidak akan menindaklanjuti temuan Komnas HAM dan Ombudsman. Ia merujuk pada putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa aturan alih status dan tes wawasan kebangsaan sudah sah secara hukum. “Mereka berhak menerima aduan dan menyampaikan rekomendasi, tapi ini negara hukum,” ujar Tjahjo.
Di tengah polemik inilah tawaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo muncul. Listyo adalah ajudan Jokowi sejak 2014 hingga 2016. “Sudah ada tim yang berkoordinasi soal tawaran ini ke Mabes Polri,” ucap Koordinator Indonesia Memanggil 57+ (IM57+) Institute, Mochamad Praswad Nugraha.
Listyo berencana menempatkan 57 pegawai yang didepak untuk mengawal anggaran penanggulangan Covid-19, dana pemenuhan ekonomi nasional, dan kebijakan strategis lain. Namun penempatan ini belum pernah dibahas dengan tim IM57+. Mabes Polri tengah mencari landasan hukum rekrutmen. Salah satu opsinya melalui peraturan Kapolri.
Masalahnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 ada syarat calon pegawai negeri sipil harus minimal berusia 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Sementara itu, personel IM57+ rata-rata berusia 40-an tahun.
Karena itu, niat Listyo mesti mendapat persetujuan dan tindakan Jokowi. Menurut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, presiden memegang kekuasaan tertinggi dalam manajemen pegawai negeri sehingga, tanpa keputusannya, para mantan pegawai KPK itu akan terganjal untuk memenuhi keinginan Listyo.
Hotman Tambunan meyakini para pejabat Polri bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara tengah menggodok peraturan baru untuk mengangkat 57 mantan pegawai KPK. Selain itu, Hotman berharap aturan tersebut turut menyertakan tugas dan fungsi para mantan pegawai setelah diangkat.
Ia berharap kelak 57 mantan pegawai KPK akan ditempatkan di satu unit yang sama. “Seharusnya tidak masuk unit operasional Polri yang sudah ada karena bisa tidak efektif,” tutur mantan Kepala Satuan Tugas Pendidikan dan Pelatihan Biro Sumber Daya Manusia KPK itu.
Kepada Tempo, Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali memastikan rencananya merekrut 57 mantan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Menurut dia, ada tim yang sedang menyiapkan mekanisme pengangkatan. “Ada beberapa instrumen yang perlu disiapkan karena bersifat khusus,” katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Rusdi Hartono mengatakan Polri kini masih menanti hasil koordinasi antara Badan Kepegawaian Negara, Kementerian PAN-RB, dan Asisten Sumber Daya Manusia Polri mengenai pola perekrutan. Menurut dia, harus ada harmonisasi dan disesuaikan dengan peraturan yang ada.
Dia menuturkan, penentuan regulasi perekrutan memerlukan waktu tidak sebentar. Segala prosesnya harus dikaji secara mendalam supaya tidak sampai menimbulkan benturan dengan peraturan yang berlaku.
Ihwal penempatan para mantan pegawai KPK itu, ia belum berani memastikan. “Masih dalam proses oleh Asisten Perencanaan Polri,” ucapnya. Ia juga belum bisa memastikan ada atau tidak seleksi ASN saat merekrut 57 mantan pegawai tersebut.
Menteri Tjahjo Kumolo memberi jawaban berbeda. Ia mengaku belum berkoordinasi dengan Mabes Polri ihwal pengangkatan 57 mantan pegawai KPK. “Saya belum tahu bagaimana keputusan Kapolri,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
Senada dengan Tjahjo, Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan belum menerima secara resmi usul dari Polri. Itu sebabnya, ia belum mengetahui mekanisme pengangkatan 57 mantan pegawai KPK tersebut. “Tapi pada dasarnya kami mengawal jawaban Presiden seperti yang disampaikan dalam surat kepada Kapolri,” ujar Bima.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyerahkan surat jawaban Presiden untuk Kapolri tersebut kepada Kementerian PAN-RB pada Senin, 27 September lalu. Belum ada pembahasan apa pun saat itu. “Saya tidak mengobrol dengan Kapolri. Yang berbicara di pertemuan itu Pak Mensesneg yang menyampaikan arahan Presiden dan Pak Menteri PAN-RB sebagai tuan rumah. Itu saja,” ucap Bima.
Adapun Pratikno mengatakan Presiden Jokowi mempersilakan Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjalankan rencananya dan berkoordinasi dengan BKN dan Kementerian PAN-RB. “Itu tertera jelas di dalam surat,” tutur Pratikno.
Selain soal regulasi, hambatan lain datang dari pimpinan KPK. Dua orang yang mengetahui detail rencana pengangkatan ini menyebutkan pimpinan KPK diduga berupaya menggagalkan rencana 57 mantan pegawai bergabung ke instansi pemerintah.
Ketua KPK Firli Bahuri dikabarkan bergerilya ke sejumlah kementerian dan badan usaha milik negara agar tak menerima 57 pegawai yang dipecat itu. Ia juga mendekati berbagai lembaga negara yang berwenang menyaring aparatur sipil negara. “Dia meminta orang lain tidak menampung pegawai yang dipecat,” ucap salah seorang sumber tadi.
Firli membantah jika disebut menjegal para pegawai yang tidak lulus itu menjadi pegawai negeri. Ia membantah kabar mendatangi BKN dan sejumlah kementerian untuk mencegah 57 orang tersebut menjadi pegawai negeri. “Tolong tidak menebar fitnah,” ujar Firli.
Hotman Tambunan mengaku tak kaget mendengar kabar ini. Ia mengatakan upaya menghabisi karier 57 mantan pegawai KPK sudah terlihat saat hasil tes wawasan kebangsaan diumumkan. Mereka dikategorikan kelompok merah yang berarti tidak berjiwa Pancasila dan tidak setia kepada Undang-Undang Dasar 1945. “Ada teman ditolak di BUMN karena label itu,” kata Hotman.
ROSSENO AJI, AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo