MENGINJAK tahun ke-15, Lembaga . Bantuan Hukum DKI Jakarta akan menghadapi masa-masa sulit. Donatur utamanya: Pemerintah Daerah DKI, yang sejak berdirinya jadi tulang punggung lembaga, menghentikan bantuannya. Anggaran Pemda untuk LBH, yang tahun lalu masih Rp 30 juta, mulai tahun fiskal ini disetop. "Sebab, LBH dianggap sebagai lembaga, sudah mampu untuk mandiri," ujar kepala Biro Humas DKI, Drs. S. Sudarsin. Menurut Sudarsin kepada Sinar Harapan, penghentian bantuan itu juga diakibatkan banyak lembaga lain yang memberikan pelayanan serupa membutuhkan bantuan pula. Sementara itu, anggaran Pemda terbatas sekali. Ketua DPRD DKI, Soedarsono, membenarkan bahwa pihaknya telah menyetujui penghentian anggaran untuk LBH itu. "Wajar, dong. Sejak zaman (Gubernur) Ali Sadikin LBH itu sudah kami bantu. 'Kan tidak mungkin kalau kami harus membantu terus-menerus," ujarnya. Kecuali itu, pimpinan wakil rakyat itu menilai, kesadaran hukum masyarakat Jakarta sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu lagi dirangsang pemerintah. "Dengan tingginya kesadaran hukum masyarakat, LBH diharapkan bisa hidup dengan dukungan dana dari masyarakat," tambahnya. LBH-DKI, yang didirikan April 1971, memang sejak berdirinya tidak pernah absen dari bantuan Pemda. Semula Pemda hanya menyisihkan bantuan Rp 300 ribu per bulan untuk lembaga pertama yang bergerak di bidang bantuan hukum di Indonesia itu. Jumlah subsidi yang tercantum di APBD itu belakangan setiap tahun selalu ditingkatkan hingga menjadi Rp 2,5 juta per bulan atau Rp 30 juta setahun pada 1977-1978. "Sejak itu tidak pernah naik lagi," kata direktur LBH-DKI, Abdul Hakim Garuda Nusantara. Yang menarik, selama sewindu itu, terutama pada tahun-tahun permulaan, kegiatan LBH justru sering harus berhadapan dengan donatur utamanya. LBH, misalnya, harus berhadapan dengan Pemda DKI dalam soal ganti rugi tanah penduduk Lubang Buaya dan Simpruk yang terkena gusur untuk berbagai proyek Pemda. Pada 1978 LBH terguncang: Gubernur Tjokropranolo waktu itu berniat menghapuskan dana untuk LBH dari APBD-DKI. Tidak jelas karena apa. Tapi berkat imbauan berbagai pihak, rencana gubernur itu tidak jadi dilaksanakan. Setelah itu, seperti juga diakui para pimpinan LBH, kegiatan lembaga itu lebih berat mengarah ke politik ketimbang menyelesaikan perkara-perkara. Misalnya LBH terasa lebih aktif di bidang penerangan hukum, penerbitan, dan berbagai macam penataran (TEMPO, 13 Juni 1981). Selain itu, jika LBH membela perkara yang menonjol adalah perkara-perkara subversi. Terakhir, LBH misalnya aktif membela para tersangka yang tersangkut dalam peristiwa Tanjung Priok, BCA, dan berbagai perkara subversi lainnya. Sebab itu, banyak pihak menghubungkan pencabutan dana dari Pemda itu erat hubungannya dengan kegiatan LBH membela perkara subversi. Direktur LBH-DKI, Abdul Hakim, membenarkan bahwa pihaknya akan mengalami masa yang sulit bila keputusan penyetopan dana Pemda itu tidak ditinjau kembali. Sebab, katanya, tidak mungkin sama sekali lembaga yang tidak menerima pembayaran dari klien-klien itu akan bisa membiayai hidupnya sendiri. "Jika bantuan itu tetap disetop, minimal kami harus mengurangi gaji 46 orang karyawan sebesar 25%. Dan bukan tidak mungkin nantinya terjadi pengurangan karyawan, termasuk pengacara," ujarnya. Namun, Abdul Hakim membantah bahwa kegiatan lembaganya lebih berat ke arah politik, yang dianggap merugikan pemerintah. "Kami selama ini tidak merasakan adanya kesenjangan dengan pemerintah. Yang benar, kami adalah rekan kritis dari pemerintah," katanya. Komisaris Yayasan LBH Indonesia, Buyung Nasution, pun menolak tuduhan itu. Ia mengakui bahwa kegiatan LBH dalam membela perkara Tanjung Priok atau BCA seakan-akan melawan kebijaksanaan pemerintah. "Ini memang bisa menimbulkan kesan negatif, dan bagai duri dalam daging bagi pemerintah. Tapi seharusnya kegiatan itu dinilai wajar saja. Konfrontasi itu 'kan hanya terbatas dalam soal perkara itu," ujar Buyung, yang merasa yakin bahwa pencabutan subsidi itu sebagai keputusan politis. Ketua DPRD DKI, Soedarsono, membantah alasan penghentian bantuan itu akibat sikap politik LBH yang dinilai ekstrem. "Penghentian dana itu semata-mata soal keterbatasan anggaran, bukan politis. Emangnya LBH saja yang bisa galak. DPRD Juga galak, tahu," ujar Soedarsono. Tragisnya, penyetopan dana pemda DKI justru dilakukan setelah Yayasan LBH Indonesia-induk organisasi LBH-DKI-yang diketuai Mulya Lubis, mengembangkan sayapnya ke belasan provinsi. Sebagian besar LBH itu, seperti juga di DKI, dihidupi dengan bantuan pemda setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini