Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

BC Tanpa Wewenang

Wewenang denda damai oleh bea cukai dicabut Jaksa Agung, karena sering disalahgunakan seperti penyelundupan alat elektronik di Cibinong yang telah di pungut bayar denda damai. BC menunggu Menkeu. (hk)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKUASAAN Bea Cukai (BC) benar-benar dipreteli. Setelah sebagian besar wewenang instansi itu dihapuskan Inpres No. 4/1985, akhir Juni lalu, Jaksa Agung Hari Suharto mencabut pula hak BC untuk melakukan denda koreksi dalam pelanggaran bea masuk. "Pelimpahan wewenang itu ke BC ternyata tidak praktis dan kurang efisien, di samping tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman," tulis Hari Suharto dalam pertimbangannya. Denda koreksi atau lebih populer dengan denda damai merupakan wewenang BC selama ini untuk menyelesaikan pelanggaran pabean di luar pengadilan. Wewenang itu didelegasikan Jaksa Agung Soegiharto, 1967 dan dipertegas Jaksa Agung Ali Said, 1979. Ternyata, setelah hampir 20 tahun kekuasaan itu berada di BC, kejaksaan meralatnya. Jaksa Agung Hari Suharto tidak bersedia menjelaskan penyebab yang melatarbelakangi keputusannya itu. Sebuah sumber mengungkapkan, keputusan itu tidak lepas dari penyalahgunaan wewenang denda koreksi itu oleh para oknum BC. Contoh kongkretnya, adalah kasus penyelundupan video dan tekstil halus yang tertangkap basah di Cibinong, Bogor, 18 September 1984. Kasus penyelundupan itu - yang pekan-pekan ini masih diadili - terbongkar secara tidak sengaja. Sebuah trailer yang mengangkut dua buah peti kemas terperosok dalam perjalanan dari gudang BC di Cakung ke Cibinong, Bogor. Polisi yang kebetulan lewat di tempat itu mencurigai isi truk raksasa itu. Ternyata, benar: peti kemas itu berisi ratusan buah pesawat video, ratusan ribu yard tekstil halus, dan kaset video kosong. Padahal, di dokumen pabean yang ditunjukkan pengemudi truk, isi peti kemas itu hanyalah pralon. Ketika polisi mengusut kasus penyelundupan itu, diam-diam BC telah menyelesaikan kasus itu dengan denda damai. Pihak EMKL, Albert Tandiari, yang mengurus pemasukan barang itu, diwajibkan BC membayar denda koreksi sebanyak Rp 760 juta. Berarti, perkara cuma sampai di sana dan tidak perlu berlanjut ke pengadilan. Belakangan, pihak kejaksaan rupanya tidak bisa menerima tindakan BC itu. Itu sebabnya, pihak kejaksaan mengambil alih perkara itu, dan membawa Albert Tandiari bersama Wono Rustamdi - yang malam itu membawa barang dari Cakung ke Cibinong - ke pengadilan. Dua orang lainnya, yang dianggap pelaku utama, Nico Wijaya dan Suyatna, sampai kini masih buron. "Denda damai itu hanya bisa dikenakan bagi pelanggaran yang tidak disengaja, tapi bukan dalam kasus penyelundupan seperti itu," ujar kepala Kejaksaan Negeri Bogor, Santoso Wiwoho, yang membawa perkara itu ke sidang. Semula, menurut sumber TEMPO, wewenang denda koreksi itu diberikan oleh peraturan pabean Belanda kepada BC. Wewenang Itu terbatas pada pelanggaran-pelanggaran yang tidak sengaja. Tapi dengan berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, 1955 wewenang denda koreksi itu dianggap telah terhapus. "Berdasarkan undang-undang itu, baik disengaja maupun tidak, pelanggaran pabean harus diselesaikan di pengadilan," ujar sumber itu. Anehnya, belakangan, Jaksa Agung mendelegasikan wewenang itu ke BC. Ada sumber yang mengatakan bahwa pendelegasian itu merupakan keteledoran Jaksa Agung. Sebab, wewenang itu sudah tidak ada. Tapi Dr. Andi Hamzah, S.H., dalam buku Hukum Pidana Ekonomi menafsirkan bahwa dengan tindakan itu Jaksa Agung otomatis mendelegasikan hak pengesampingan perkara yang ada di tangannya (asas oportunitas). "Sebab itu, layak pula kalau Jaksa Agung mengambil kembali wewenang itu," kata sumber tadi. Sekretaris Ditjen BC, Soeharnomo, beranggapan bahwa keputusan Jaksa Agung itu belum berlaku bagi instansinya. "Sebelum keluar petunjuk dari Menteri Keuangan, ya, kami akan bertugas seperti biasa," ujarnya. Artinya, BC masih tetap berwenang menyelesaikan pelanggaran pabean tanpa melalui pengadilan. Seandainya pun petunjuk menteri nanti keluar, Soeharnomo berharap ketentuan baru itu sejalan dengan Inpres No. 4/1985, yaitu mendorong kelancaran arus keluar-masuk barang melalui pelabuhan. Ia rupanya khawatir tuJuan inpres itu tidak tercapai bila semua wewenang ada pada kejaksaan. "Sekarang semua urusan ketidakberesan sampai yang sekecil-kecilnya harus kejaksaan yang menangam," ujar Soeharnomo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus