TANPA diketahui ayahnya, seorang anak pejabat yang sudah kaya raya memakai nama orangtuanya untuk menyelundup. Seorang anak pejabat tinggi lainnya, yang juga "sukses" karena mendapat kemudahan menyelenggarakan industri hiburan, masih saja terlibat jaringan pencurian mobil. Anak-anak yang sukses di bawah bayang-bayang ayahnya ini seperti tak peduli pada kemungkinan hancurnya karir orangtuanya. Itulah perilaku beringas yang sedang melanda banyak pengusaha muda di dunia saat ini. Psikolog Steven Berglas, pengarang buku Success Syndrome, yang kini ramai diperbincangkan orang, menulis perilaku itu: "Mereka tidak cuma menggigit tangan-tangan yang memberi mereka makan. Tapi juga menggigit semua orang." Ia menambahkan, keserakahan ini merupakan sebuah usaha membangun keyakinan diri bahwa keberhasilan mereka tidak berasal dari orang lain atau kebetulan. Ahli psikologi dari Harvard Medical School Amerika Serikat itu menyangkal mitos yang selama ini dipercaya kalangan bisnis, bahwa kebanyakan sukses berpangkal pada praktek-praktek kasar, keserakahan, rasa tidak pernah puas dan keberanian membunuh pesaing tanpa perasaan. Berglas, yang meneliti perilaku menyimpang orang-orang kaya itu selama enam tahun terakhir, menolak pendapat bahwa sukses di bidang usaha berawal dari perilaku yang terbentuk sejak masa kanak-kanak. Bahwa rasa tidak pernah puas di bidang bisnis berpangkal pada keadaan kekurangan di masa kecil. "Hasilpenelitian saya menunjukkan bahwa tak seorang pun pengusaha kaya yang serakah pernah mengalami kesulitan di masa kecil," katanya. Praktek kotor di bidang usaha dan keserakahan orang-orang kaya, menurut Berglas, berpangkal pada kelainan jiwa yang tidak ada hubungannya dengan ilmu mencari keuntungan. "Bisnis bagi orang-orang yang mempunyai perilaku menyimpang ini hanya sebuah media," tulisnya. Sukses yang mereka capai -- dalam banyak kasus hanya meneruskan suskes orangtua mereka -- adalah sebuah sisi lain dan sama sekali bukan akibat perilaku serakah mereka. Kenyataan menunjukkan banyak pengusaha bisa sukses tidak dengan cara-cara yang kasar dan kotor. Orang-orang sukses yang rakus ini, tambahnya, adalah orang-orang yang justru menderita karena kaya dan sukses. "Hampir semua mereka itu mengalami depresi berat," ujar Berglas. Pangkalnya adalah tersesatnya sebuah perkiraan. Mereka yang menderita di puncak sukses ini menempatkan sukses dan kekayaan sebagai target personal, bukan sebagai hasil kerja profesional. Dalam pandangan ini kekayaaan bisa menentukan segalanya: harga diri, rasa aman, kebahagiaan, dan kesenangan. Karena itu penganutnya memburu kekayaan dengan cara apa pun. Ketika sukses itu dicapai, datang depresi. Inilah keadaan yang disebut Berglas sebagai sindrom sukses. "Dasarnya adalah rasa tidak yakin bahwa keberhasilan itu berasal dari sebuah prestasi dan jerih payah," katanya. Makin keras mereka berusaha mencoba meyakinkan diri bahwa sukses itu adalah sebuah keberhasilan, kian berat penderitaan yang mereka alami. "Kepribadian semacam ini tidak lain ego yang tidak pernah berkembang. Kepribadian yang tidak memiliki keyakinan dan tidak pernah bisa menghargai diri sendiri" tulisnya. Penelitian Berglas juga menemukan bahwa pemhentukan kepribadian ini sangat dipengaruhi pendidikan keluarga yang terlampau ambisius, yang mengutamakan keberhasilan, sementara kehangatan keluarga dan cinta diabaikan. Sukses dan kekayaan dalam pandangan ini dianggap sebagai keberhasilan materi maupun psikologis. Dalam keluarga seperti ini, biasanya, sukses diperkenalkan di masa kanak-kanak sebagai keunggulan. Ketika anak-anak itu mulai menyadari arti sukses, keberhasilan kemudian diajarkan sebagai keuntungan dan kemenangan. Akhirnya, dari perkembangan jiwa semacam ini, tumbuh keyakinan bahwa kekayaan dan sukses adalah kekuasaan. Ahli psikologi Laurence Shames, dalam buku The Hunger for More: Searchin for Values in an Age of Greed, menyebutkan bahwa pandangan yang salah tentang sukses dan kekayaan bisa menimbulkan kecanduan. "Mereka yang terikat pada penumpukan kekaaan tidak berbeda dari pecandu morfin yang senantiasa membutuhkan suntikan. Tindakan orang-orang ini tidak lagi rasional," kata Shames. "Inilah sebabnya mengapa banyak pengusaha top yang akhirnya menempuh jalan yang sangat berani dan tidak masuk akal bahkan tindakan melanggar hukum." Dari luar, kecenderungan ini biasanya cuma dinilai sebagai keserakahan -- bahkan ada malah yang menyebutkan sebagai risiko bisnis yang lumrah saja. "Pandangan masyarakat itu membentuk ego-ego yang serakah", tulis Adam Smith dalam bukunya The Roaring 80's. Ia menyebut bahwa dalam masyarakat yang liberal materialistis setiap orang dianggap punya hak menjadi kaya, dan berhak pula memamerkan kekayaannya. Pandangan ini membuat etos kerja berkembang menjadi pendapat bahwa mereka yang kaya dan sukses akan mendapat yang terbanyak. Keserakahan seperti dianjurkan, jadinya. Berglas menambahkan bahwa sukses dan kekayaan tidak harus mendatangkan penderitaan. Dalam Succes Syndrome ia menceritakan kawannya, seorang CEO (Chief Executive Officer), yang kaya raya, sukses, dan bahagia, sekalipun bukan pemilik perusahaan. Apa rahasianya! Ia tak pernah memberikan nomor telepon langsung di mejanya kepada siapa pun" tulis Berglas. "Jalur itu cuma terbuka bagi istri dan anak-anaknya. "Cinta dan kehangatan keluarga membuat CEO itu mengenal sukses eksternal kebahagiaan, kesenangan, dan kepuasan diri. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini