HARI itu setelah usai salat lohor. Di serambi masjid di kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) sekitar 75 orang muda, khusyuk mendengarkan uraian seorang pembicara. Mereka membahas cara memandikan dan mengafani jenazah. Ada gulungan kain mori, kapas, minyak wangi, tiga panci besar yang masing-masing berisi kertas bertuliskan "air tawar", "air sabun", dan "air kapur barus". Bahkan keranda. Dan seorang sukarelawan memerankan orang mati. Acara itu menarik karena berlangsung di kawasan yang, menurut pandangan umum, bukan tempat mengomongkan agama. Mereka bukan dari lingkungan pesantren atau madrasah. Bukan pula di majelis taklim. Tidak juga dari IAIN. Acara tadi sepele? Kegiatan tersebut sebagai segmen merebaknya semangat keagamaan di kampus-kampus. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, alhamdulillah, Islam beroleh tempat nyaman di sana. Sejak 1978 masjid-masjid kampus tumbuh menjamur, bahkan tak sepi dari jemaah. Kegiatan serta halaqah, pengkajian Islam, berjalan lancar. Sekitar tahun itulah Islam, yang tanpa berkait pada organisasi ekstra misalnya HMI, mulai diterima di tengah mahasiswa. Sedang masjid di luar kampus juga dijubeli kalangad muda. Suasana ini, menurut Amien Rais, pengajar di UGM (Universitas Gadjah Mada), "indikator pasang naik di tengah pemuda Islam Indonesia" (lihat kolom Ramadarl di Kampus). Lihatlah di lingkungan Universitas Indonesia di Depok. Masjid Ukhuwah Islamiyah di kampus baru UI itu kian ramai jemaah. Mereka sibuk dalam acara "program pembinaan ketakwaan" dan April barusan diisi dengan kuliah umum Menteri Azwar Anas. Selain ada program ISTI, Integrasi Studi Tentang Islam, ditambah yang lazim: buka puasa bersama, bursa buku salat tarawih sampai pengajian. Kiranya, masjid ini menyusul pamor Masjid Arief Rachman Hakim (ARH) di Salemba yang sudah lama jadi pusat kegiatan. Yang lebih ingar ada di Yogyakarta. Seperti biasanya, jemaah Salahuddin UGM mengadakan RDK (Ramadan di Kampus). Kata ketua panitianya, Djoko Prasetyo, 21 tahun, kelebihannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah kegiatan dan peserta RDK kemarin tambah beragam, sehingga melibatkan 600 orang dalam kepanitiaan. Itu tidak hanya melulu dari lingkungan UGM, malah dari beberapa perguruan tinggi lain. Hampir seluruh mereka itu aktif menangani 20 macam kegiatan. Ceramah Ramadan sudah pasti tak terlupakan. Nama para profesor dari berbagai kota, seperti Mukti Ali, Mubyarto, Deliar Noer, atau Baharuddin Lopa terjadwalkan di sana untuk menghadapi 5-6 ribu jemaah. Agaknya, ciri RDK adalah acara macam Pesantren Komputer, Pesantren Ramadan, Pesantren Seni, Kuliah Menjelang Pernikahan, Bina Wanita dan Keluarga, serta sejumlah yang lain. Bahkan panitia RDK ikut menyediakan penceramah untuk berbagai masjid lain yang ada di Yogya. Suasana marak ini terasa pula di Masjid Universitas Airlangga Surabaya. Motornya adalah UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Ilam) yang berdiri sejak 1976. Demikian juga di Malang, seperti di Masjid Raden Fatah Universitas Brawijaya -- padahal masjid yang dibantu Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila seperti itu sering kurang laris di kalangan mahasiswa. Kegiatan serupa yang jauh muncul mialnya di Universitas Riau. Di lingkungan kampus itu, 250-an mahasiswa aktif dalam kelompok yang mereka sebut Remaja Masjid Akramunnas. Mereka bukan cuma mengadakan acara rutin, melainkan juga mendatangi sejumlah sekolah negeri di Pakanbaru yang melarang siswinya berjilbab, berdialog dengan kepala sekolahnya. Wajah keislaman juga masuk ke kampus swasta yang dahulu dianggap gersang, seperti di Universitas Trisakti Jakarta. Lima tahun lalu banyak dosen yang mengelak dirinya kentara sebagai muslim. "Khawatir konduitenya rendah," kata seorang pengajar. Kini malah mahasiswa muslim di Trisakti bisa menempelkan poster "Ramadan di Kampus" dan "Nuzulul Quran" sama tingginya dengan poster "Kebaktian Rohani Mahasiswa: Campus for Christ". Gelanggang Mahasiswa di Trisakti itu boleh pula dipakai untuk salat Jumat -- sama seperti untuk kebaktian. Bila Islam kian menyala, terutama di berbagai kampus umum, itu bukanlah sekadar karena sedang datang Ramadan. Ialu padam lagi usai lebaran. Lebih dari itu tak mustahil bahwa suasana tersebut sebagai pancang tumbuhnya gelombang baru Islam yang mirip dengan reformasi di Muhammadiyah pada awal abad ini. Ada beberapa fenomena yang menjadi pertanda. Salah satu adalah jilbab. Entah kapan persisnya awal muncul jilbab di Indonesia. Cuma sejak 1978 pemakaian jilbab itu dari Bandung menyebar ke kota-kota lain. Sebelumnya, atribut mahkota model ini kurang dikenal di Republik ini. Yang ada hanya kerudung biasa yang dipakai kaum wanita di beberapa tempat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, lalu menjadi identitas muslimah, terutama bila mereka mengaji dan mengikuti acara keagamaan -- seperti si pria berkopiah jika ke masjid. Memang, jilbab bukan sekadar identitas. Di tengah pemakainya, jilbab diyakini paling pas dengan yang disebutkan Quran. Yakni tiap perempuan muslim dewasa wajib menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan -- bukan hanya kalau hendak salat saja. Pendapat bahwa wanita harus menutup aurat datangnya dari yang berasal sekolah dan kampus umum. Otomatis pemakaian jilbab menyebar pesat, dan malah menjadi isu nasional di kala sejumlah sekolah melarang siswinya berjilbab. Gebrakan para remaja tersebut berhasil karena belakangan ini larangan itu diperlonggar. Sekarang jilbab tidak lagi janggal dikenakan di tempat umum. Menurut Nurcholish Madjid, peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), jilbab adalah simbol pernyataan? "inilah aku". Membanjirnya jilbab beriringan dengan kelahiran Remas, Remaja Masjid. Remas tumbuh hampir di setiap masjid terkemuka yang "bukan milik pemerintah dan yang tak dikuasai orang-orang tua saja". Terutama di kota besar di Pulau Jawa, lalu menyebar ke Lombok, Sumbawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan. Organisasi seperti ini bukan lagi monopoli kampus, melainkan sudah milik umum. Dan hampir semua Remas membentuk Usroh, kelompok persaudaraan (lihat Bila Usroh Dikerling Miring). Gelombang baru ini juga ditandai dengan ramainya penerbitan buku agama. Kehadiran Pustaka Salman, Mizan, dan puluhan penerbit lain, memberi napas baru pada penerbitan buku-buku agama yang selama ini dikuasai PT Bulan Bintang, Al-Ma'arif, atau Bina Ilmu. Tiba-tiba saja pasar buku Indonesia dipenuhi terjemahan karya Maududi, Maryam Jameelah, Sayyid Quthub, Yusuf Qardhawi, Ali Syariati, Muthahhari, Zianuddin Sardar, serta banyak buku tasawuf. Hingga saat ini Mizan telah menerbitkan 120 judul buku. Sedang Pustaka Salman 187 judul. Malah pasaran kitab kuning (diwakili Daar El-Fikr) mencapai titik teramainya kini. "Saya tidak tahu mana yang mempengaruhi," kata Jalaluddin Rakhmat. "Apakah iklim keagamaan sekarang mendorong terbitnya buku-buku, atau sebaliknya." Penerbit Mizan pernah mengadakan angket. Menurut Ali Abdullah, general manager penerbit di Bandung itu, "Tujuh puluh persen konsumen Mizan adalah mahasiswa dan kaum terpelajar." Pertanda lain: ada gerakan anti terhadap bunga bank yang dianggap riba, serta upaya membentuk lembaga ekonomi nonbunga. Dari lingkungan Masjid Salman Bandung lahir Baitut Tamwil Teknosa, lalu disusul Ridho Gusti di Jakarta. Lembaga itu menampung dan menyalurkan dana bukan karena bunga, melainkan berdasar kerja sama. Selain itu, beberapa tahun terakhir dikenal kewajiban yang disebut zakat profesi. Muhammadiyah getol mempopulerkan gagasan ini, namun kaum mudalah yang maju menyokongnya. Amien Rais, misalnya, berpendapat bahwa setiap penghasilan dalam profesi apapun wajib dizakati 20 persen. Bukan 2,5% seperti lazimnya. Itulah khumus. Dan itu dikenal di zaman Rasulullah. Sejumlah fenomena tadi agaknya menjadi bukti terhadap keislaman yang berbeda warna dengan sebelumnya. Keislaman kaum muda kali ini bukan seperti yang dianut kaum tradisionalis yang hanya mengharuskan umatnya salat, puasa, mengaji, patuh pada kiai. Keislaman telah membuat mereka, sebagai pemeluknya, bangga. Keislaman yang menurut Jalaluddin Rakhmat, diliputi ghirah. Maka jangan heran berjilbab bagi mereka sama seperti wanita lain yang bangga bila mengenakan gaun pesta. Pergi ke masjid lebih gagah ketimbang ke diskotek. Menenteng Quran bergengsi dibanding mengikuti reli mobil. Membaca buku dan membalik kitab kuning bisa menghibur daripada seabrek-abrek ke bioskop. Suasana dimaksud, ujar Jalal, menggambarkan adanya pergeseran pada gelombang kedua dengan gelombang ketiga dalam keislaman. Ia meminjam teori Alvin Toffler. Sedangkan gelombang pertama itu adalah keislaman tradisionalis, mencampurkan nilai agama dengan tradisi. Dan gelombang kedua adalah reformasi. Mengapa kebangkitan itu muncul di periode 80-an? " Ini hasil kemerdekaan," kata Nurcholish. Sewaktu menjajah, Belanda tak memberi kesempatan bagi umat islam untuk mendapat pendidikan umum. Yang ada hanya SR, Sekolah Rakyat, sehingga dapat dipahami mengapa kaum inteletual dulu jauh dari nilai islam. "Sekadar menjalankan salat, dulu sudah cukup alasan dicap ekstrem kanan". Hingga periode 50-an bahkan mahasiswa yang salat sering dicemooh: "Mahasiswa kok salat!". Setelah merdeka, terutama sejak 1950-an, kalangan muda islam mulai mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Hasilnya terasa ketika para dosen muslim "produk zaman merdeka" mewarnai kampus masing-masing. Dari tangan merekalah kemudian masjid kampus bermunculan -- dan akhirnya jadi pangkalan keislaman. Di masjid-masjid itu para dosen berangkulan dengan mahasiswa yang antusias mencari islam. Iklim semarak ini disusul meletusnya Revolusi Iran. Pada 1979, Khomeini yang "cuma" Ayatullah memimpin massa menggulingkan kekuasaan tiran yang kuat. Umat tersentak, seperti juga bumi dihentak. Sebab kekuatan islam yang semula hebat, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamiat Islami di Pakistan, malah rontok. Revolusi Iran tampil sebagai simbol baru perjuangan. Apalagi Iran memang tak menutupi napsunya untuk menularkan Islam ke seluruh jagat, sehingga yang sinis menyebutnya "hendak mengekspor revolusi". Pengaruh Revolusi Iran terhadap bangkitnya semangat keislaman para mahasiswa terlihat di kamar-kamar kontrakan. Sekitar 1981, janggut putih dan sorot tajam mata Khomeini menyembul di balik pintu kamar kos. Fatwa Ayatullah dihafal setiap kepala, supaya "yang tertindas bangkit melawan penindasan" -- suatu jargon khas Syiah mengingat pada kezaliman Yazid terhadap Imam Husain? cucu Nabi, di Karbala. Setelah ramainya polemik tentang Syiah, poster berjanggut itu lenyap di tengah mahasiswa. Memang, revolusi Ayatullah itu bukan satu-satunya yang mendorong mahasiswa menoleh Islam. Menurut R.A. Sahirul Alim, dosen UGM yang banyak berhubungan dengan kegiatan mahasiswa muslim, faktor lain karena adanya peralihan Abad Hijri. Slogan "abad kebangkitan Islam" itu diteriakkan di mana-mana, menyambut abad ke-15 Hijriah. Pada awal abad ke-15 ini, banyak mahasiswa saling mengucapkan "selamat tahun baru" justru di 1 Muharam, bukan pada 1 Januari. Berlakunya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), dan ini khas di Indonesia, juga memberi peluang pada kebangkitan tersebut. Ini menurut Jasril -- pembina remaja masjid di Universitas Riau. Karena Dewan Mahasiswa dibekukan, kata Jasril, "para mahasiswa jadi mati angin, dan mau tak mau mereka mencari peluang lain." Dan masjid memang tempatnya untuk memenuhi keinginan mereka, yang tak cuma mau belajar yang "sekuler" -- karena sejak zaman Nabi masjid sudah sebagai pusat ilmu. Entah mana yang dominan. Tapi maraknya semangat itu bukan hanya monopoli Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia. Lalu kalangan luar beranggapan. inilah saat kebangkitan fundamentalisme Islam -- satu sebutan yang memang tak dikenal di tengah Islam sendiri. Anggapan ini mendukung visi Jansen yang menulis buku Islam Militan beberapa tahun silam. Mungkin dia benar. Kejadian di IPB tiga tahun lalu merupakan ilustrasi yang boleh mendukung pendapatnya. Ketika itu, beberapa mahasiswa dari sebuah kelas di Tingkat Persiapan Bersama (Tingkat I) punya gagasan. Dalam mengikuti kuliah, menurut mereka, mahasiswi dan mahasiswa tak duduk berbaur, tapi terpisah. Gagasan itu dapat dukungan, dan dilaksanakan. Laki-laki duduk di satu sisi kelas. Tanita di sisi yang lain. Pemisahan tempat duduk itu menyebar ke kelas lain, mencakup lebih dari 1.000 mahasiswa dari berbagai agama. Ketika ada dosen mengecam praktek itu dan memaksa mereka berbaur lagi kalau ingin kuliah berlangsung, lalu seorang mahasiswa nyeletuk, "Saya memilih keluar kelas, memboikot kuliah." Mengherankan, semangat tersebut justru tak berkobar di IAIN, misalnya, orang cenderung menjawab gampangan: mahasiswa perguruan tinggi umum bosan menghadapi ilmu sekuler, lalu berpaling pada agama. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi Islam bosan dengan soal agama, lalu gandrung pada ilmu sekuler. Semua orang sudah tahu, kaum muda memang menyukai yang tidak lazim. "Mereka mencari yang bukan konvesional," kata Jalaluddin Rakhmat, dosen ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung. HMI, walau sampai sekarang tetap kuat, bukan lagi pilihan utama mahasiswa muslim. "Muhammadiyah bahkan sekarang sulit mencari kader," ujar Jalal lagi. Kenyataan ini dibenarkan Herman Widiananda, Ketua Umum PB HMI. "Memang pasaran HMI berkurang," katanya. Mahasiswa sekarang lebih suka berkutat di masjid kampus, ketimbang bermain dalam kancah organisasi. Mereka mengkritik bahwa seolah aktif di keorganisasian hanya cenderung akan menjadi birokrat. Tapi secara keseluruhan, anggota HMI sebenarnya tak terpisah dari arus gelombang keislaman. Para anggota HMI-lah, jika mau jujur, yang pertama menghidupkan masjid-masjid kampus. Mereka bahkan ikut memproses jilbabisasi -- dan mudah-mudahan ini tak cuma pernik luar saja. "Dulu ukuran sukses suatu latihan adalah berapa banyak wanita yang dapat dijilbabkan," ucap Herman. Bahwa kemudian mereka tercolet getah hasil rintisannya, banyak ditolak mahasiswa muslim, menurut Herman, itu justru akan membikin HMI lebih baik. "Sebab, kami dipaksa tegas apa yang akan digarap HMI." Awalnya ledakan semangat mereka tertuang dalam diskusi-diskusi politik dan ceramah yang menyerempet keras. "Dulu penceramah yang berbunga-bunga dan berani mengkritik pemerintah disukai di kampus," kata Hasan Rifai dari Masjid Al-Ghifari, Bogor. Sedang ustad yang bicara monoton, sambil membuka kitab kuning, tidak ditoleh sedikit pun. Belakangan trend itu berbalik. Menurut banyak mahasiswa, ada pembicara yang dua jam penuh ngomong yang berapi-api tetapi tak berisi apa-apa. Ini tak sebanding kalau 15 menit mengaji tafsir Quran atau kitab-kitab hadis, misalnya. Maka, sementara banyak mahasiswa IAIN tertarik mempelajari pikiran Karl Marx, justru mahasiswa di kampus umum gandrung mempelajari isi kitab-kitab kuning macam Jalalain, tafsir Ibnu Abbas, Ibnu Katsir serta Hadis Bukhari dan Muslim. Sementara itu, yang cenderung pada tasawuf terus menyimak Ihya Ulumuddin dari bahasa Arab, bukan yang terjemahan. Hanya kitab fikih agaknya kurang disukai. "Paling-paling yang ditengok Fikih Sunnah-nya Sayyid Sabiq," kata Hasan Rifai. Kalaupun berhubungan dengan fikih, yang mereka cari kebanyakan masalah praktis saja. Maka, kursus ibadat praktis, seperti yang diselenggarakan di Langgar Ar-rahman Banjarmasin, memang banyak peminatnya. "Baru sekarang saya tahu, bahwa cebok itu tak cuma byur . . . byur . . . byur," kata seorang peserta. Dari kecenderungan kaum muda seperti itu, maka sulit dihindari adanya kelompok eksklusif. Mereka masih fanatik pada ustadnya. selain mengembangkan identitas tertentu yang di mata orang luar terasa janggal. Misalnya salatnya, pakaiannya, malah dalam cara makannya. "Ada yang sama sekali menolak makan memakai sendok, karena menganggap itu tidak Islami," kata Herman. Lalu memilih cara makan bersama: semua tangan rame-rame menyiduk isi nampan, atau satu gelas dipakai oleh banyak mulut untuk minum. Karena itu, sulit pula menghindari peluang yang kemudian melahirkan kelompok ekstrem -- dan tak peduli nama Islam juga yang buruk. Dan hampir semua kekerasan sejenis tadi muncul dari kalangan yang sudah berjarak dengan masjid kampus -- dan memang gampang diselusupi segala kepentingan (lihat juga Suatu Hari dalam Hidup Bagong). "Adanya ekses seperti itu wajar," tutur Sahirul Alim. Sebab, Islam masih sangat muda dalam menikmati kebebasannya. Apalagi di kalangan ghirah-nya yang berlebihan. Banyak di antara anak muda itu yang tertarik atau baru "menjadi" Islam walau iman hanya Tuhan yang mengukurnya. "Mereka menghafal, menjalani, menganalisa, dan mengevaluasi agama pada saat yang sama," kata Hasan Rifai. Apa jadinya? Karena itu gampang menyimpang, entah fanatik mengkultus ustad maupun memilih menjadi keras. Namun, yang aneh-aneh begitu tak selalu mendominasi hati kaum muda. Masih tetap lebih banyak yang -- betapapun menggebu semangat keislamannya -- tak mengikatkan diri pada kelompok eksklusif. Apalagi selalu ada yang merangsang mereka untuk tidak terikat pada Islam konvensional. Suatu rangsangan buat melahirkan muslim, yang menurut Jalal tadi, "gelombang ketiga". Kemusliman mereka itu tak ingin terkotak-kotak dalam pikiran sektarian. Jalal sendiri mengaku "memberi saluran" pada anak-anak muda yang haus agama itu. Lewat Lembaga Penggunaan Ilmu-ilmu Islam (LPII), ia bermaksud memberikan Ulumul Quran, Hadis, Filsafat Islam, dan ilmu tradisional lainnya. Saluran serupa dibikin Dr. A.M. Saefuddin di Bogor dengan lembaga Ulil Albab-nya. Juga Amien Rais melalui Padepokan Budi Mulia di Yogya. Memang gelombang baru ini beragam warna. Menurut bilahan Jalal, ada yang cenderung aktif saja. Misalnya memperbanyak ritual atau berdikir-dikir, ada yang bercenderung intelektual saja. Atau ada yang menggabungkan keduanya, seperti dianut Jalal. Bagaimanapun ragamnya, ada kesamaan warna pada gelombang terakhir ini. Kalangan ini, menurut A.M. Saefuddin, sama-sama merasakan adanya konflik antara realitas lingkungan dan idealitas diri. Mereka sama-sama menemukan jawabannya pada masjid. "Mereka menjadikan Islam sebagai baju besi buat penangkal benturan-benturan sosial," kata Pak A.M. -- begitu orang dekat memanggil dia. Karena itu, di kalangan kaum muda, pendalaman keislaman sekarang dapat lebih substantif dibanding periode sebelumnya. Mereka sudah tak lagi tertarik dan "merasa sia-sia" untuk ikut berdemonstrasi. Agaknya kini mereka lebih baik ngaji daripada berpolitik. Walau demikian, mereka juga peka pada masalah sosial. "Hanya kami tak ingin bergagah-gagahan," kata Ainul Mustaqim, Ketua Badan Kerohanian Islam IPB. Kesadaran baru terhadap Islam lebih menyebar luas, tapi tanpa tokoh sentral dan tanpa berkomandan. Satu contoh kecil sebagai indikasi dapat disebut: ketika heboh lemak babi tempo hari. Mereka memboikot pasar. Yang mengomandoi mereka hanya keyakinan, dan Islamlah satu-satunya agama yang kitab sucinya (Quran) asli dari Tuhan -- dan mampu mengatasi persoalan dunia. Dan masyarakat turut mengambil manfaat dari gerakan kaum muda Islam kali ini. Semangat keislaman yang penuh daya pikat ini menarik ribuan kaum muda yang hampir atau entah memang sudah terjerumus dalam kehidupan hitam. Gerakan ini juga telah menyebarkan ribuan penganut yang berkeinginan hidup "bersih" dalam masyarakat.Zaim Uchrowi, Ahmadie Thaha, Syafiq Basri (Jakarta), Hedy Susanto, Ida Farida (Bandung), Slamet Subagyo, I Made Suarjana (Yogya), Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini