DI zamannya, bentuk masjid itu tak lazim. Atapnya datar, tanpa kubah, tanpa mahkota. Tiga bagian dindingnya hanya sekat kayu yang tinggi dan dapat dibuka lebar. Keadaan itu membuat suasana masjid jadi teduh. Apalagi malam, ketika lampu yang posisinya diatur begitu rupa untuk memberi efek cahaya tertentu, menyala temaram. Hanya di tempat imam lampu disengaja menyorot keras. Demikian sederhana, dan hening. Masjid yang bernama Salman itu dibangun 1963. Arsiteknya Ir. Ahmad Noe'man. Tapi siapa sangka bila kemudian hari masjid itu berperan pada perkembangan Islam di Indonesia -- setidaknya mendorong bangkitnya semangat keislaman di kampus dan kalangan anak muda dalam periode 1980-an sekarang. Ya, Noe'man dan para pendiri yang lain waktu itu baru cuma bikin masjid di lingkungan yang disebut "sekuler" itu. Tapi di Institut Teknologi Bandung (ITB) ada (almarhum) Prof. Ahmad Sadali, kakak Noe'man, Prof. T.M. Soelaeman, Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahiem, Ir. A.M. Luthfi, dan sejumlah nama. Malah selagi mahasiswa, Azwar Anas -- kini Menteri Perhubungan -- bergiat di masjid ini. Tapi mereka tak sekadar mendirikan masjid. Mereka bercita-cita panjang. "Dulu, kami ingin masjid ini menjadi laboratorium pendidikan Islam kampus ITB," kata Mohd. Hamron, Ketua Umum Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman. "Keinginan itu ternyata kesampaian. Walaupun masih dikritik di sana-sini. Peran Salman mencuat di tangan kombinasi Sadali yang kalem dan Imaduddin yang berapi-api. Rektor ITB Prof. Doddy Tisnaamidjaja (kini duta besar RI untuk Prancis) sangat menyokong Salman. Ia sesekali jadi khatib di sana. Namun, yang membuat banyak menarik minat kalangan muda ke Salman adalah Bang Imad begitu Imaduddin akrab dipanggil. Tahun 1974, Imaduddin melontarkan arena Latihan Muicihid Dakwah (LMD). Sekitar 50 mahasiswa digembleng di Ruang Serba Guna. Mereka diharapkan sebagai kader dakwah yang tangguh. LMD segera jadi api bangkitnya semangat keislaman di kampus-kampus. Yang lolos seleksi itu (dari IQ sampai motivasi) lalu masuk base camp di masjid. Selama tujuh hari suntuk, mereka tak berhubungan dengan dunia luar. Membaca koran bahkan tidak. Peserta diajak mengkhitmati Quran, Surah Al-Fath (ayat 27-29) yang mengisyaratkan titik balik kemenangan dakwah Islam melalui Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dan kaum jahiliyah Quraisy di tahun ke-6 Hijri. Peserta lalu disuruh menyantap habis berbagai materi, di antaranya sumber nilai Islam, Quran dan Sunnah, Nilai Dasar Islam, nilai-nilai dasar perjuangan yang milik HMI, Himpunan Mahasiswa Islam. Hasilnya segera tampak. Mahasiswa dari berbagai universitas di Jawa berdatangan ke Salman. Alumni LMD mulai meramaikan Islam di kampus masing-masing. Ini terjadi pada tahun 1976-1977. Di IPB, Badan Kerohanian Islam (BKI) bangkit, walau belum punya masjid. Di Jakarta, Masjid Arief Rahman Hakim (ARH) jadi basis kegiatan keislaman mahasiswa UI -- walau kemudian memunculkan Fahmi Basya yang membuat tafsir Quran One Million Fenomena. Kondisi serupa merebak di UGM Yogya, pada Jamaah Salahuddin. Semangat keislaman itu melebar pula ke ITS dan Unair, yang hampir seluruhnya lewat anggota HMI. Namun sejumlah mahasiswa menilai kegiatan itu "terlalu tinggi" dan "eksklusif' bagi khalayak. Padahal, Islam tak cuma di kampus. Maka, beberapa "dari kalangan Salman" seperti Toto Tasmara dan Bambang Pranggono membikin pangkalan lain. Mereka hinggap di Masjid Istiqamah Bandung. Toto juga melontarkan gagasan lain: membentuk Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM). Ramadan 1976 keinginannya itu tercapai. Utusan dari Surabaya. Yogya, Jakarta. dan Bandung berkumpul bersama K.H. E.Z Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia kala itu, mengukuhkan berdirinya BKPM. Toto terpilih sebagai ketuanya. Hampir semua aktivis BKPM adalah mahasiswa. Namun, selain aktif di kampus, mereka suka bergerak di masjidmasjid luar kampus. Merebaklah pusat-pusat kegiatan baru di tengah masyarakat umum, seperti di Masjid Istiqamah dan Mujahiddin di Bandung, Masjid Cut Mutia, Al-Azhar, dan Sunda Kelapa di Jakarta, Masjid Sudirman dan Syuhada di Yogya, Masjid Al-Falah dan Kemayoran di Surabaya. "Saya kira, setelah itulah muncul remaja-remaja masjid di seluruh pelosok tanah air," kata Toto. Hubungan antarkampus, antarmasjid, dan antarcabang HMI, diperkuat lagi dengan upaya di luar jalur organisasi. Misalnya kelompok Tony Ardie -- sebelum alumnis LMD itu menjadi penceramah keras. Tony mengembangkan cara latihan "cuci otak". Mula-mula ia, atau instruktur lain, akan berpura-pura benci dan menjelek-jelekkan Islam dengan cara yang kasar. Ia berargumen: "Tuhan tak ada." Kemudian setelah para peserta marah, Tony pelan-pelan baru membawa pikiran peserta mencari "X". Dan "X" itu harus absolute, distinc, dan unique. Itulah Allah. Cara penyajian Tony menarik minat siswa-siswa SMA, para mahasiswa tingkat awal. Sekitar tahun 1980-1981, metode itu berkembang pesat baik di kampus, di masjid, maupun di berbagai tempat training lainnya. Terutama pada saat libur sekolah, sejumlah SMA Negeri di Jakarta dan Bogor mengadakan training di kawasan sekitar Puncak. Hampir selalu, acara -- seperti itu mampu mengubah drastis sikap peserta, yang semula cuma mau hura-hura, menjadi mengagumi Islam. Pendekatan lain lagi dikembangkan Faisal Motik. Ical, begitu kerabatnya memanggil. Ia sangat kenal dengan kecenderungan remaja di kawasan Menteng, Jakarta. Kawasan tempat tinggalnya. Kebetulan di situ berdiri Masjid Sunda Kelapa, yang bentuk dan cara pengelolaannya sudah menunjukkan gaya Menteng: elite. Maka, ia dan sejumlah teman membentuk Riska, alias Remaja Islam Sunda Kelapa. Gaya Ical berbeda dengan Tony Ardie. Ia biarkan anak-anak Riska berhura-hura. Bahkan mereka yang bukan Islam boleh ikut kegiatan. Kejutan pertama yang dibuatnya adalah mengadakan lomba sepatu roda, 1974. Dan ketika mereka mengadakan pameran dan Pekan Olahraga Remaja Masjid Se-Jakarta (1978) 23 remaja masjid ikut menyemarakkan. Mulanya, cara itu dikecam pula. Antara lain oleh Pemuda Masjid Istiqamah Bandung. Mereka mempersalahkan Riska karena waktu itu masih membiarkan anggotanya memakai rok mini. Tapi Ical tetap bersikukuh. Kelompok yang toleran dan mengesankan "wah" itu dapat menarik minat kaum remaja dari keluarga menengah ke atas. Apalagi setelah Riska dipopulerkan Radio Prambors. Mereka percaya, dengan cara go public itulah mengubah kecenderungan remaja sekitarnya bukan dengan menjadikan diri eksklusif. "Yang penting mereka trtarik dulu pada masjid," kata Ical. Pola yang serupa dengan Ical adalah Remaja Masjid Al-Jihad (RMA) di kawasan elite Medan Baru. Kegiatan mereka ngepop, seperti bikin vocal group, camping, latihan taekwondo. Tidak apa. Setidaknya RMA punya arti penting. Hampir separuh anggota RMA berlatar belakang jelek. "Kini salat lima waktu kawan-kawan jarang bolong," kata T. Syahputra, 21 tahun. Dia adalah ketua kelompok itu. Jauh dari Medan ada RMA, Remaja Masjid Al-Falah Surabaya. Selain aktif di masjid di pusat kota itu, pun mewujudkan pangkalan bagi "remas-remas" yang berserak di Jawa Timur. Tahun 1981 anggota RMA mencapai 1.500 orang. Tapi setelah terjadi pembajakan pesawat "Woyla" yang melibatkan anggota Pemuda Masjid Istiqamah Bandung, jumlah itu susut dan hanya tinggal 300-an. "Banyak orangtua menjadi takut," kata Sayahid Haz, ketuanya kini. Kendati demikian, RMA masih jadi cermin kegiatan remaja masjid lain. Setidaknya di Surabaya. Dalam Ramadan barusan, mereka menyebarkan 20 mubalig muda sebagai imam dan penceramah di berbagai masjid dan musala. Di Jakarta, yang juga sudah tua usianya adalah Ricma Remaja Islam Masjid Cut Mutia. Bagi kalangan umum, organisasi ini tak setenar Riska. Mereka tak anti-ngepop. Tahun 1985, misalnya, mereka mengadakan "Malam Cita dan Citra 85" di Balai Sidang Senayan, yang dihadiri antara lain Jenderal Try Sutrisno. Dua tahun lalu Ricma mengadakan lomba maraton se-DKI yang diikuti 4 ribu peserta. Dan yang rutin, tapi serius, bila Ramadan mereka mengadakan "Pemberantasan Buta Huruf Quran". Masih di luar kampus, sekitar 1980, upaya lain lahir dari kelompok Pegangsaan. Pemusik Deby Nasution, adiknya Keenan, semula bergabung dengan Islam Jamaah (IJ). Dia kemudian memberontak, keluar dari kelompok kontroversial itu. Bersama sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas, Deby lalu mengembangkan pengajian dengan membahas ayat Quran dan Hadis secara langsung. Dan dari sini setidaknya mereka ikut merintis ketertarikan mahasiswa mengaji tafsir Quran dan Hadis, sehingga tak perlu mengikat dirinya pada organisasi tertentu. Secara keseluruhan, upaya-upaya itu mempunyai arah yang sama, yaitu mengajak remaja melangkahkan kakinya memasuki masjid. Seperti dikatakan Bambang Pranggono, BKPM sendiri melontarkan slogan, back to mosque. Seruan kembali ke masjid ini disambut hangat. Hampir setiap mahasiswa dari kalangan masjid kampus yang "pulang kampung" selalu berupaya membentuk remaja masjid, atau setidaknya sebuah usroh, di daerahnya. Mereka memang berusaha menularkan semangat itu di daerahnya. Gerakan ini rupanya mampu meyakinkan kaum muda: "Islam bukan agama yang mati". Tentu saja awalnya bukan masjid itu yang memikat para remaja. Namun, keprogresifan gerakan itulah yang menarik. Cara mereka mengajak kawannya secara spontan, antara lain, "Kenapa kamu nggak pakai jilbab. Kamu kan Islam? Katanya. keluargamu itu Islamnya kuat." Cara yang langsung seperti ini malah disukai. Banyak anak yang bermasa lalu hitam kemudian ingin menjadi seorang muslim yang baik. Tentang ini, ada kisah dari Amrizal (bukan nama asli). Ia kini 24 tahun, dan anggota Remaja Masjid Al-Jihad, Medan. Ia sejak kelas satu SMP sudah hebring menenggak minuman keras. "Saya beberapa kali merampok untuk beli minuman dan pil teler," katanya. Hingga 1985 ia belum bisa menghentikan kebiasaan buruk itu. Suatu ketika Amrizal diajak camping oleh anak remaja masjid. Itulah saatnya membuat tabiatnya berbalik. "Sekarang saya menolak dengan tegas kalau ada yang mengajak teler," katanya ketus. Kini ia banyak di masjid. Dan daya tarik semacam inilah yang "menyelamatkan" Harry Moekti. Sekarang ia penyanyi rock paling tenar. Semangat keislaman itu memang seperti juga dialami Rahardjo Priambodo. Seorang alumnus Universitas Asy-Syafi'iyah di Jakarta malah jadi kukuh sikapnya: memilih menghidupi sendiri istri dan dua anaknya di rumah kontrakan yang buruk. Ia menolak ditopang mertuanya. Lebih dari itu, ia menampik "makan riba", karena mertuanya kerja di bank. Gaji bank, yang diperoleh dari keuntungan setelah membungakan uang, ia nilai sebagai riba. Sikap ini cuma salah satu warna. Padahal, gerakan keislaman sedemikian beragam. Ada satu-dua kelompok yang kemudian keras. "Tapi saya tidak melihat adanya interest politik praktis pada mereka," kata Dr. Fuad Amsyari, Ketua cendekiawan Muslim Al-Falah (CMF) Surabaya. Pendapat itu diperkuat oleh Bambang Pranggono. Sejak mula, katanya, BKPM tak dimaksudkan untuk kepentingan politik, tetapi gerakan perbaikan moral. Dan jika ada kekurangan, menurut Toto, mereka lupa melobi pemerintah. Banyak pihak berupaya menunjukkan bahwa Islam itu agama yang merengkuh umatnya supaya "jangan tertidur kekenyangan, sementara tetangganya tidak tidur karena kelaparan". Kendati belum semua mereka itu dewasa beragama. "Masih ada yang bersikap seperti kura-kura, selain tidak cukup percaya diri," kata Nurcholish. "Begitu merasa diancam, mereka langsung berlindung di balik batoknya."ZU, Ahmadie Thaha, Syafiq Basri, Agung Firmansyah (Jakarta), Hedy Susanto (Bandung), Herry Mohammad (Surabaya), Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini