SUDAH sering terdengar munculnya fenomena baru di Bali. Yaitu mera~jalelanya pria tunasusila alias "PTS". Menurut istilah internasional, ia ini lebih populer disebut gigolo. Tapi untuk mengukuhkan kenyataan tersebut belum pernah dilakukan studi khusus, sehingga ada yang mempercayainya, serta ada pula orang yang menampiknya. Toh ~gi~golo -- yan~g tumbuh sejak zaman Romawi -- itu sudah merembet kemari. Mereka dianggap sebagai kelompok yang membawa bala. Justru itu, dalam rencana menyusun kampanye menangkal AIDS, secara resmi gigolo dicantumkan sebagai kelompok risiko tinggi. Sebelumnya, pelacur dan kaum homoseks saja yang dianggap kelompok risiko tinggi. "Kenyataannya, gigolo benar-benar ada di Bali," kata ahli penyakit dalam ini. Ia baru saja meneliti sejumlah anggota masyarakat di sana -- yang punya risiko terkena AIDS. Di antara respondennya adalah gigolo. Maka, tidak diragukan lagi, gigolo memang ada di Bali. Hanya jumlah persisnya yang masih samar. "Penelitian saya bukan untuk studi sosial," katanya. Dari studi inilah kelak akan disusun strategi penyuluhan bagi pencegahan AIDS. Beberapa waktu lalu, Tuti Parwati, seorang dokter lulusan Universitas Padjadjaran, di tahun 1974, mengikuti Pelatihan Epidemiologi AIDS di Fakultas Sarjana Kesehatan Masyarakat, UI, Depok. Ia mendapat keahlian spesialis penyakit dalam dari FK Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1984. Penelitiannya sejak Desember 1989 hingga Juni 1990. Ia dibantu oleh empat peneliti lapangan dan mendapat bimbin~an Dr. Abby Ruddick da~i Amerika Serikat. Respondennya meliputi pemandu wisata, karyawan dan karyawati homestays dan hotel, karyawati panti pijat, karyawan restoranbar-diskotek, kaum homoseks, pemakai obat bius, WTS, dan PTS atau gigolo tadi. Kawasan pariwisata Kuta, Sanur, dan Ubud dijadikan sasaran penelitian. Di samping perilaku, penelitian Tuti menguji pula pengetahuan mereka tentang AIDS. Katanya, di Bali, ada dua macam pria tunasusila. Yang dikenal duluan adalah pelacur pria yang melayani pria homoseks. Dalam s~al AIDS, pelacur jenis ini sudah lama jadi sorotan. Diperkirakan bahwa merekalah yang membawa AIDS, dari Afrika ke Karibia kemudian merambah ke AS. PTS kedua adalah gigolo yang melayani wanita iseng. Mereka itu bukan homoseks dan tidak pernah melayani pria. Sebenarnya, kata Tuti, sulit menandai gigolo -- karena gonta-ganti mitra seks juga dilakukan kebanyakan pria yang bukan gigolo. Dan di lingkungan gigolo juga tidak semua profesional -- dalam arti khusus untuk yihu demi mendapatkan imbalan. Walaupun begitu, Tuti mencatat ada dua motivasi yang mendorong gigolo memburu mangsa. Pertama, yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga terpaksa melacurkan diri. Kedua, karena merasa tak ada salahnya mengomersialkan kesenangan. Artinya, mereka memang hobi main cewek sembari sekaligus mencari penghasilan dari kerja itu. Mangsa gigolo profesional, atau kelompok pertama, kebanyakan turis asing. Ya turis bule, ya turis Jepang. Pokoknya, turislah. Gigolo yang beroperasi lantaran kebutuhan duit ini, kebanyakan bukan asli orang Bali. "Supaya laku, mereka mengaku orang Bali. Yang dari luar Bali itu ya, Ujungpandang, Bandung, Surabaya, Semarang, dan daerah lain," tutur Tuti. Sedangkan kelompok kedua, yang mengomersialkan kesenangan, kebanyakan orang Bali asli. Kelihatannya, mereka tidak terlalu butuh imbalan uang. Yang penting, agaknya, suka-sama-suka. "Sasarannya bukan orang kita, tapi turis-turis asing juga," Tuti menambahkan. Toh gigolo pencari kesenangan ini sangat memilih turis asing yang layak ditawari kencan. Nah, di kalangan mereka ini, "pembeli jasa" hampir selalu turis bule -- khusus turis Australia. Sedangkan turis Asia sangat Jarang. Kini praktek gigolo terbilang sudah terbuka di Bali. Mereka berkumpul bukan di tempat biasa, tapi kebanyakan di pusat-pusat pariwisata. Praktek ini berbeda jauh dengan pelacur pria yang melayani homoseks. Operasi pelacur jenis ini tidak mencolok meski mereka mencari lelaki bule yang juga kebanyakan turis. Selain operasi "tembak langsung" dengan memburu mangsa, ada juga gigolo yang tidak punya tempat mangkal khusus. Lalu, cewek bule bagaimana tahu? "Mereka mendatangi tempat-tempat turis berkumpul, kemudian mengedarkan kartu di mana tercantum nama mereka," kata Tuti. Dan nama "bisnis" tentu saja bukan nama sebenarnya. Yang masih samar adalah cara para turis bisa saja menemukan gigolo. Barangkali ia memakai kode, atau dengan cara melihat ciri-ciri khusus. Namun, yang pasti, nama para gigolo itu sudah tersebar karena mereka populer di kalangan turis yang doyan jajan seks. Informasinya disampaikan dari mulut ke mulut, di antara para cewek penyewa itu. Para gigolo umumnya berlatar belakang pendidikan tamatan SLTA. Ciri mereka lainnya kebanyakan berkulit hitam, punya ekspresi perkasa, dan pandai main surving. Awal mereka terjun ke dalam gelanggang gigolo juga umum. Mulanya, berprofesi sebagai pemandu wisata. Kemudian, karena kenal akrab dengan seorang cewek bule, baru berkenalan dengan profesi gigolo. "Semula, sekadar memberi servis tambahan," ujar Tuti sambil tertawa. Akhirnya, mereka menjadi PTS profesional. Tarifnya? "Wah, ini yang sulit dijawab," katanya. Baik gigolo yang sudah mantap maupun yang cuma iseng sering kali mengaku bahwa ia cukup ditraktir saja. Di balik itu, siapa tahu, ada cara imbalan canggih. "Dan berseni, halus, serta tidak mencolok," kata dr. Tuti Parwati. Jim S~upangkat~
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini