Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fotokopi rekening bank itu tercecer dalam tumpukan berbagai benda di laci meja di bekas ruang kerja Asmadinata, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Di atasnya ada selembar fotokopi kartu tanda penduduk atas nama pemilik rekening. Di sebelahnya tergeletak kartu nama Asmadinata, lengkap dengan alamat dan nomor telepon.
Lembaran kertas itu tak diboyong pemilik meja yang sejak Maret lalu pindah kantor ke kawasan Manyaran, masih di Kota Semarang, tersebut. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Semarang menumpang di kantor Pengadilan Negeri Semarang. April lalu, sejumlah pegawai di kantor Pengadilan Negeri Semarang menemukan kertas yang tak sempat dirapikan pemiliknya itu.
Sejauh ini belum jelas apa hubungan pemilik rekening dengan Asmadinata. Belum juga bisa dipastikan ada-tidaknya transaksi "haram" lewat rekening itu. "Tapi itu mencurigakan," kata Eko Haryanto, aktivis Komite Pemantau dan Penyelidikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Kamis pekan lalu.
Dua pekan terakhir, Asmadinata dan kawan-kawan kembali jadi sorotan. Munculnya kesimpulan Komisi Yudisial soal adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh empat hakim Pengadilan Tipikor Semarang jadi pemicu. Komisi Yudisial memang belum menyebutkan nama-nama hakim yang melanggar, tapi Komisi sudah membuka sedikit ciri-ciri hakim itu. "Mereka kerap membebaskan terdakwa korupsi," kata Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Rabu pekan lalu.
Sejak awal berdiri, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang sudah membetot perhatian publik. Itu lantaran prestasinya dalam hal meloloskan para terdakwa korupsi. Mulai beroperasi 1 Januari 2011, hingga kini pengadilan itu sudah memvonis bebas tujuh terdakwa korupsi. Lima dari tujuh terdakwa itu divonis bebas oleh majelis hakim yang dipimpin Lilik Nuraini. Nah, anggota majelis hakimnya, selain Kartini Marpaung, adalah Asmadinata.
Lilik dan kawan-kawan, misalnya, memutus bebas bekas Bupati Sragen Untung Wiyono dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sragen. Padahal jaksa menuntut Untung sepuluh tahun penjara dalam kasus yang merugikan negara Rp 11,2 miliar itu. Dalam kasus ini, majelis hakim lain memvonis bersalah bekas Sekretaris Daerah Koeshardjono dan bekas Kepala Bidang Keuangan Sri Wahyuni.
Lilik cs juga membebaskan Agus Soekmaniharto, terdakwa kasus korupsi proyek jalan tol Semarang-Solo. Sebelumnya, jaksa menuntut dia dihukum tujuh setengah tahun penjara dan didenda Rp 500 juta. Dalam perkara dengan kerugian negara Rp 21 miliar itu, majelis hakim yang berbeda menghukum dua terdakwa lainnya.
Lewat putusan sela, Lilik dan kawan-kawan juga membebaskan Yanuelva Etliana, pengusaha yang diduga membobol fasilitas kredit Bank Jateng sekitar Rp 39 miliar. Pengadilan Tinggi Jawa Timur memerintahkan agar Yanuelva disidang lagi. Tapi jaksa belum menemukan Yanuelva, yang telanjur menghilang.
Hujan vonis bebas di Pengadilan Tipikor Semarang tak hanya menuai kecaman dari pegiat antikorupsi. Komisi Yudisial pun kebanjiran laporan dari Semarang. Yang melaporkan sepak terjang para hakim bukan hanya kalangan aktivis dan masyarakat umum. "Laporan dari internal pengadilan pun deras sekali," kata Suparman.
Ada dua jenis laporan yang masuk ke lembaga yang mendapat tugas undang-undang mengawasi integritas para hakim itu. Pertama, laporan seputar kebiasaan pribadi buruk para hakim. Kedua, laporan seputar penyalahgunaan kekuasaan. "Ada yang dilaporkan gemar mabuk dan main perempuan," kata Suparman, mencontohkan jenis laporan pertama.
Di Komisi Yudisial, awalnya ada yang menganggap hal seperti itu merupakan urusan privat si hakim. Tapi, belakangan, hakim yang sama juga dilaporkan menyalahgunakan kekuasaan. Misalnya ada laporan soal hakim yang sering makan bersama pengacara yang beperkara. Laporan lain menyebutkan ada hakim meminta uang kepada pengacara dengan dalih anggota keluarganya sakit. Lebih parah lagi, ada hakim yang dilaporkan menawari hakim lain uang puluhan juta rupiah yang tak jelas asal-usulnya.
Karena laporan yang banyak itu, Komisi Yudisial diam-diam menurunkan tim investigasi ke Semarang. Di samping mengamati gerak-gerik hakim di persidangan, tim menemui pelapor dan pihak lain yang disebut dalam laporan. Setelah ditelisik, menurut Suparman, lebih dari sepuluh laporan saling menguatkan. Padahal pelapor umumnya tak saling mengenal. "Bagi kami, itu lebih dari cukup untuk mengambil kesimpulan," ujar Suparman.
Kesimpulan akhir Komisi Yudisial, empat hakim diduga kuat melanggar kode etik. Tapi Komisi tak mengumumkan nama hakim itu. Suparman hanya menyebutkan satu orang berasal dari hakim karier dan tiga dari hakim ad hoc. Kini ada 16 hakim yang bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang. Delapan di antaranya dari jalur ad hoc. Mereka umumnya berlatar belakang pengacara.
Meski tak membukanya ke publik, Komisi Yudisial membeberkan nama hakim bermasalah itu kepada Mahkamah Agung. Komisi Yudisial pun merekomendasikan hakim nakal ditindak tegas. "Setidaknya mereka harus dipindah, agar tak menjadi virus bagi yang lain," ujar Suparman.
Menurut Djoko Sarwoko, Ketua Muda Bidang Pidana Korupsi Mahkamah Agung, jauh sebelum Komisi Yudisial membuat rekomendasi, pihaknya sudah menyeliÂdiki soal itu. Sebab, Mahkamah pun menerima laporan miring perihal sejumlah hakim itu. "Saya meminta Badan Pengawasan meneliti mereka," kata Djoko, Jumat pekan lalu, kepada Tempo. "Saya juga yang memberi tahu Komisi Yudisial."
Awal Juni lalu, empat orang dari Badan Pengawas Mahkamah Agung turun ke Semarang. Mereka memeriksa lima hakim dan tiga panitera. Dari kalangan hakim, yang diperiksa antara lain Lilik Nuraini, Asmadinata, Kartini Marpaung, dan Lazuardi Tobing. "Pemeriksaan Lilik paling lama, dari pagi hingga malam," kata sumber Tempo di Pengadilan Negeri Semarang. Komposisi hakim yang diperiksa Badan Pengawas itu nyaris klop dengan yang disebutkan Suparman. Di antara mereka, hanya Lilik yang berasal dari hakim karier. Sisanya dari unsur ad hoc, yang baru menjadi hakim pada Desember 2010.
Badan Pengawas Mahkamah Agung sejauh ini belum mengeluarkan rekomendasi. Tapi, khusus untuk Lilik, Mahkamah sudah mengambil langkah antisipasi. Sembari menunggu hasil investigasi Badan Pengawas, tim promosi dan mutasi Mahkamah Agung sepakat memindahkan Lilik ke Sulawesi Selatan. Di tempat baru, Lilik tak akan diizinkan mengadili kasus korupsi. "Kami tidak main-main," kata Djoko.
Adapun untuk hakim ad hoc-nya, Mahkamah berencana memindahkan mereka ke Pengadilan Tipikor yang terpencil dan sedikit kasusnya. Selain akan mengurangi peluang untuk bermain, menurut Djoko, mutasi seperti itu bisa membuat mereka tak betah. "Kalau mereka mangkir, tinggal kami pecat," ujar Djoko. Adapun bila Badan Pengawas menyimpulkan Lilik dan kawan-kawan bersalah, sanksi lebih berat menanti mereka. "Tak perlu menunggu bukti. Indikasinya kuat, bisa langsung dicopot," kata Djoko. Termasuk indikasi itu, misalnya, lonjakan kekayaan atau uang di rekening para hakim. Hanya, Djoko mafhum hakim nakal kian pintar menghapus jejak. Misalnya mereka bisa saja menyimpan uang suap di rekening atas nama orang lain. "Modus seperti itu makin banyak."
Sekretaris Forum Komunikasi Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Marsidin Nawawi mengaku prihatin karena hakim bermasalah didominasi hakim dari jalur ad hoc. Menurut dia, jika terbukti bersalah, mereka lebih baik dipecat. "Mutasi hanya memindahkan perilaku buruk mereka."
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Semarang Ifa Sudewi berpendapat senada. Dia meminta Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung menindak tegas hakim nakal itu. "Setelah dipangkas, kita lihat apakah di Semarang koruptor masih divonis bebas," kata Ifa.
Ditemui Tempo di kantor barunya pekan lalu, Asmadinata tak mau memberi keterangan apa pun. "Saya enggak mau komentar," katanya. Lilik idem ditto. "Tugas saya sudah selesai," katanya.
Jajang Jamaludin, Istman Musa Harun, Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo