Menurut Dicky, ia terpaksa bermain valas untuk menyelamatkan Bank Duta akibat kerugian yang dibuat bawahannya. Tapi siapa yang menyelianya? SETELAH 44 saksi, sebagian besar memojokkan Dicky Iskandar Di Nata, kini tibalah giliran terdakwa menjawab. Pada persidangan Rabu dan Sabtu pekan lalu hingga Senin pekan ini, bekas wakil direrktur utama Bank Duta itu menyangkal kerugian Bank Duta dalam permainan valas US$ 419,6 juta atau Rp 780 milyar semata-mata akibat kesalahannya. Tampil di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat semakin gagah, necis, energetik, dan pintar berargumentasi -- berbeda dengan keadaan selama ini yang sakit-sakitan -- Dicky mengatakan bahwa kerugian sebesar itu merupakan akumulasi kekalahan perdagangan valas yang dilakukan chief dealer waktu itu, Risanto Sasmoyo, dan belakangan oleh tim dealer yang dipimpin oleh Mustari Calam -- yang salah seorang anggotanya adalah Dicky sendiri. Sebagai Direktur Kredit yang membawahkan juga bidang treasury (atau surat-surat berharga), Dicky mulai membuka posisi perdagangan valas sejak akhir 1987. Tapi ia tidak mengetahui adanya borok yang tersimpan di bagian itu. Borok itu baru diketahuinya, katanya, pada Juni 1989, ketika aparat treasurury, yang terdiri atas Mustari Calam, Endang Sariwening, dan Ray Kathy Panjilie, tergopoh-gopoh menemuinya. Mereka melaporkan transaksi Bank Duta yang dibuka oleh chief dealer Risanto Sasmoyo sudah sebesar US$ 250 juta. Ini jumlah yang tidak sedikit karena mengandung kerugian sekitar US$ 20 juta. Karenanya, Dicky kaget bukan main, "Seumur hidup saya tak berani bermain valas sebesar itu, kok ini anak berani amat." Dicky lalu mengadakan pemeriksaan di dealing room, tempat transaksi dilakukan. Terungkaplah bahwa selama ini banyak dealer yang melakukan pelanggaran bermain di atas limit yang ditentukan, US$ 10 juta untuk sekali main. Standar manual operasi treasury mereka langgar. Parahnya lagi, tidak ada yang tahu bahwa selama ini bagian treasury menyembunyikan kerugian dari perdagangan valas, dengan membukukannya ke dalam rupa-rupa aktiva. "Baru saya tahu kalau peranan unit lain, yaitu audit dan operasi treasury, itu tidak berfungsi. Makanya, prosedur yang membatasi perdagangan tak bisa dilaksanakan," ujar Dicky. Akibat kebobolan itu, Bank Duta terpaksa mentransfer uangnya US$ 3,5 juta ke Citibank Jakarta, melalui Duta International Finance Limited (DIFL) Hong Kong. "Dana itu untuk membayar kerugian Bank Duta dalam transaksi valas di Citibank Jakarta," kata kepala perwakilan DIFL Hong Kong, Farid Rahman, di persidangan. Di pembukuan, transfer itu -- untuk mengelabui pemeriksaan Bank Indonesia -- dilaporkan sebagai penempatan dana, atau lebih dikenal sebagai dummy placement. Sebetulnya, untuk menutupi kerugian perdagangan valas yang dibuat Risanto itulah Dicky membentuk tim Mustari. Sayangnya, cerita Dicky, yang terjadi sebaliknya, kerugian bank itu semakin membengkak dari US$ 20 menjadi US$ 419,6 juta. Dari jumlah tadi, posisi (semacam rekening transaksi valas) atas nama nasabah Edwin Boy Adam menyumbang kerugian US$ 221 juta lebih. Selebihnya, kerugian US$ 198 juta, ditimbulkan dari posisi Bank Duta sendiri yang ditangani oleh tim Mustari. Posisi Boy Adam, sahabat lama Dicky sejak di Citibank itu, memang pernah ditangani wakil dirut itu. Tapi, menurut Dicky, ia telah menutup posisi Boy Adam sejak Agustus 1989 dalam keadaan untung bersih US$ 7 juta. "Dan hasilnya sudah dinikmati oleh Boy Adam," tambahnya. Sebab itu, "Saya kaget karena tiba-tiba muncul potential loss sebesar US$ 221 juta itu pada posisi Boy Adam." Rupanya, tanpa setahu dia, kata Dicky, transaksi itu hidup lagi karena tim dealer mengalihkan posisi Bank Duta yang besar ke posisi-posisi nasabah. Kekacauan itu memperburuk keadaan karena sebelumnya Bank Duta tertimpa musibah jatuhnya harga dolar AS di bursa Dow Jones, AS. Perintah Dicky untuk men-square-kan posisi Bank Duta itu ternyata tidak bisa dipenuhi oleh anak buahnya, dengan alasan pasar sudah sepi sehingga tak bakal dapat harga. Akibatnya, harga tambah turun sehingga potential loss di posisi Bank Duta memuai jadi US$ 70 juta. "Di Bank Duta, banyak sekali perintah direksi yang tidak dilaksanakan," keluh Dicky. Sadar tak bisa lagi menangani sendiri, akhir Oktober 1989, Dicky melapor ke direksi, termasuk Dirut Abdulgani, agar sistem audit, penyeliaan (supervisi), dan kontrol diperbaiki. "Tapi Gani hanya memerintahkan, keep silent, jangan beri tahu siapa-siapa. Koordinasi dengan Bey Yusuf untuk menyelesaikan persoalan," katanya. Namun, keruntuhan Bank Duta sudah tak tertolong lagi hingga National Bank of Kuwait di Singapura meng-cut loss, memutuskan transaksinya, pada 15 Agustus 1990 gara-gara perang di negerinya. Ketika itulah muncul angka kerugian perdagangan valas Bank Duta sebesar US$ 419,6 juta. Kendati berdalih terpaksa ikut bermain valas untuk membantu memecahkan masalah di situ, Dicky terpojok akibat pertanyaan Hakim Saragih. "Kalau dalam bertransaksi itu Saudara masih merasa sebagai direktur eksekutif, bagaimana direksi lain bisa mensupervisi Saudara? Kalau begitu, Saudara mensupervisi diri sendiri?" tanya Saragih beruntun. Dicky pun berkeringat dingin. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini