INI bukan lelucon awal tahun. Si "raja komputer" Jusuf Randy, Direktur Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika (LPKIA), Jumat siang pekan lalu ditangkap polisi Polres Jakarta Selatan. Ia diduga polisi telah memalsukan surat-surat identitasnya seperti tanda kenal lahir, KTP, dan paspor. Jelasnya, Jusuf Randy, yang selama ini seakan-akan warga negara Indonesia, ternyata adalah warga negara asing: Jerman Barat. "Jusuf sudah mengakui kesalahannya," kata sumber TEMPO di Polres Jakarta Selatan. Siapa tak kenal Jusuf Randy ialah tokoh yang lima tahun terakhir ini malang melintang di dunia komputer. Ia pimpinan sebuah lembaga pendidikan komputer terkenal di Indonesia, LPKIA. Namanya selalu muncul di media massa, sebagai seorang pakar komputer dan dermawan yang sulit dicari tandingannya. Ia punya ratusan orang anak asuh. Ia juga muncul sebagai khatib di mimbar masjid, pemrasaran di berbagai seminar khususnya yang menyangkut komputer. Bintang iklan, atau bintang tamu di drama terkenal TVRI, Losmen. Bahkan seorang sutradara terkenal saat ini telah menyiapkan skenario untuk Jusuf Randy. Siapa sangka sebagian besar "promosi" dirinya tak lebih dari "kecap dapur". Ia misalnya, di berbagai media massa mengaku anak petani dan telah ditinggal mati orangtuanya, ternyata itu cerita "isapan jempol" belaka. Ayahnya seorang pengusaha di Bandung hingga kini masih hidup (lihat Hikayat si Ucup dari Sumedang). Semuanya itu baru tersingkap Jumat pekan lalu. Ketika itu Jusuf, 47 tahun, lagi bersiap-siap hendak sembahyang Jumat dari kantor LPKIA Jalan Radio Dalam No. 60, Jakarta Selatan. Tiba-tiba dua orang tamu berpakaian preman, yang mengaku polisi, mengajaknya pergi. Sejak itu, ia dikenai penahanan dengan tuduhan tadi. Sampai awal pekan ini, keluarganya, termasuk istri keduanya, Yanti, belum diperkenankan menegoknya di tahanan. Ia hanya pernah diizinkan menjenguk rumahnya di Jalan Haji Nawi selama setengah jam -- dan setelah itu harus kembali ke kamar tahanan. Sementara itu, istri pertamanya, seorang Jerman, Elizabeth, dan anak tertuanya, Thomas Randy, juga sedang dicari polisi. Mereka, konon, juga melakukan kejahatan yang sama: memalsukan identitas dan kewarganegaraan. Sampai saat ini polisi belum berhasil menemukan tempat persembunyian ibu dan anak itu. Selain Jusuf, polisi juga menangkap seorang pimpinan LPKIA, Rochmani, dan seorang staf kantor Kelurahan Gandaria. Apa sangkutan mereka dengan kesalahan Jusuf ? "Saya belum bisa memberikan keterangan apa-apa. Insya Allah minggu depan terungkap," kata Kapolres Jakarta Selatan, Letkol. Drs. F. Arwien. Jusuf Randy sebenarnya bernama asli Nio Tjia Siang. Ia lahir di Sumedang, Jawa Barat. Tapi sejak 1960 ia menjadi warga negara Jerman dan menikah dengan Elizabeth membuahkan tiga anak. Sekitar 1983 Jusuf memboyong keluarganya ke Indonesia. Di tahun itu juga, Jusuf, yang mengaku sekolah komputer di luar negeri dan pernah bekerja di IBM, mendirikan LPKIA. Karena belum berstatus WNI, ia mencomot bekas pegawai toko roti Cerykop, Rochmani, untuk didudukkan sebagai pendiri LPKIA. Padahal, sungguh mati, Rochmani tak tahu apa-apa tentang komputer apalagi lembaga pendidikan. Bahkan Jusuf pun tak begitu dikenalnya. "Saya, sih, nggak kenal dengan Pak Jusuf Randy. Dia itu orang besar, saya kan orang kecil," kata Rochmani, 29 tahun. Sebab itu, ia hanya bisa mengangguk ketika dibawa Jusuf ke Notaris Nyonya Ananta Nitisastro, S.H. untuk menandatangani akta LPKIA. Selain Rochmani ada tiga "orang kecil" lainnya yang di akta pendirian LPKIA tercantum sebagai pendiri. Mereka adalah Suharsono, Resi Suryaputra, dan Agus Salim. Setelah lembaga itu berdiri, mereka di LPKIA tak duduk sebagai pimipinan, melainkan pegawai biasa. Rochmani, yang lulusan SMA, misalnya. Ia hanya bekerja di LPKIA sebagai resepsionis. Sebab itu, belakangan ia merasa cemas. "Kalau ada persoalan uang atau tanggung awab lainnya, kan saya bisa kena," kata Rochmani. Persoalan itu pernah disampaikannya kepada Jusuf. Tetapi lelaki berambut tipis itu dengan enteng menenangkannya. "Ah, itu kan cuma pake name lu aje. Tapi sebenarnya semua kan masih punya gue," jawab Jusuf. Rochmani pun akhirnya menerima saja keadaan itu. Tapi berkat bekerja di LPKIA, di tetangganya, di Menteng Dalam, nama Rochmani "melejit". Ia diangkat sebagai ketua RT. Nah, kesempatan itu dimanfaatkan Jusuf. Rochmani dimintanya membuatkan akta kelahiran putra-putrinya. Konon, Jusuf juga membuat KTP di Kelurahan Gandaria. Setelah semua beres, pada 1986, akta pendirian LPKIA itu diubah oleh Jusuf. Nama Rochmani dan rekannya dihapus dan digantikan Jusuf Randy. Notaris Hidayati Ananta merestui perpindahan akta itu, walau tanpa persetujuan Rochmani. Mengapa bisa begitu? "Pokoknya, ini saya anggap sudah selesai, Bung. Saya tidak mau memberikan komentar, karena sudah menyangkut rahasia jabatan," katanya menutup telepon. Tapi akibat perubahan akta itu Rochmani dan Jusuf ribut. Pengacara Rochmani, Abraham, dan pengacara Jusuf, Assegaf, mencoba upaya damai. Tapi, sebelum kesepakatan tercapai, Jusuf dan Rochmani keburu ditangkap. Kabarnya, penangkapan Jusuf antara lain berkat laporan anak buahnya yang sakit hati karena dikeluarkan dari LPKIA. Setelah itu berbagai cerita tentang Jusuf pun bermunculan. Sebuah sumber TEMPO misalnya, menuduh Jusuf terlibat kasus pengadaan barang Perumtel oleh Firma Marathon, milik adik kandungnya, Boy Tamzil. Barang berupa fotokopi merk Marathon buatan Jerman Barat itu diklasifikasikan khusus, tanpa melalui tender. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp2,3 milyar (dari 1979 sampai 1981). Pihak BPKP yang mengecek ke Jerman ternyata tak menemukan pabrik Marathon di sana. Boy Tamzil menangkis tuduhan itu. Pabrik itu, katanya, terletak di kota Munchengladbach, Jerman Barat. Pada 1984 perusahaan milik, Josep Gissen itu, katanya, sudah bangkrut. Wajar saja kalau BPKP tak menemukan pabrik itu (TEMPO, 10 September 1988). Tapi, menurut sumber TEMPO, Josep Gissen itu tak lain adalah Jusuf Randy sendiri. Bahkan sumber ini juga menyebut bahwa Jusuf pulang ke Indonesia karena menghindarkan pajak di Jerman. "Ia menggelapkan pajak 2 juta DM," katanya. Sayangnya, Boy belum mau mengomentari soal itu. "Tunggu saja, nanti akan saya buka semua," katanya. Berbagai sumber juga mengungkapkan berbagai kebohongan Jusuf "mempromosikan" dirinya dan LPKIA selama ini. Pada akhir Oktober 1984, markas marinir Cilandak, Jakarta Selatan, meledak. Berbagai sumbangan mengalir untuk korban musibah itu. Antara lain dari IBM Rp50 juta. Yang aneh, menurut Jusuf, ketika itu kepada TEMPO, sumbangan segede itu tak terpublikasi. Padahal, ia hanya berniat memberikan sumbangan Rp 5 juta. Apa akal? Uang Rp5 juta itu dibelikannya semen, diangkut 10 mobil pikap dengan poster LPKIA mencolok. Wartawan tulis dan TV diundangnya. Hasilnya, nama Jusuf Randy dan LPKIA mencuat. Semua "promosinya" memang tak lepas dari andil wartawan media cetak dan media elektronik. Hampir di setiap acara Jusuf, yang mengaku menguasai 17 macam bahasa komputer itu, selalu mengundang wartawan. Untuk itu idenya bagai tak habis-habisnya. Ia tercatat sebagai penyelenggara lomba catur melawan komputer, lomba games, dan bahkan lomba kaligrafi komputer. Untuk lomba kaligrafi yang diselenggarakan awal April 1988, di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta, Jusuf menyediakan hadiah Rp20 juta. "Lomba kaligrafi ini baru pertama kali diadakan di Asia bahkan mungkin di seluruh dunia," kata Jusuf, yang mengaku telah menekuni komputer selama 20 tahun itu, kepada wartawan. Suatu kali ia memperkenalkan komputer yang bisa mengalunkan suara 'Assalamualaikum'. Ia pernah mengutarkan niatnya hendak memasukkan ayat-ayat Quran dan Hadis serta terjemahannya ke dalam komputer. "Mau tahu apa hukumnya beristri empat, tinggal pijat tombol. Komputer akan menjelaskan ayat-ayat dan hadisnya," kata Jusuf. Pada akhir September 1987 itu, si "raja" komputer itu mendemonstrasikan kebolehannya mengidentifikasi wajah pelaku kejahatan. Di hadapan sebuah komputer, ia menekan tombol sesuai dengan rincian wajah, rambut, kerut-kerut serta ciri-ciri pelaku kejahatan. Lima menit kemudian, rekaan wajah itu muncul pada layar komputer, mendekati "asli"-nya. Penonton berdecak kagum. "Ini dapat diterapkan kepolisian kita untuk mempermudah pengusutan kasus kejahatan," katanya. Karena dianggap ahli itulah, Jusuf pernah ditampilkan sebagai saksi ahli pada persidangan pembobolan BNI 46 Cabang New York oleh tertuduh Rudy Demsy dan Seno Adji di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1988. Bahkan Badan Pembinaan Hukum Nasional pun pernah mengundangnya untuk berbicara dalam sebuah simposium tentang "Kejahatan Komputer" -- yang dihadiri pakar-pakar hukum pidana -- dalam rangka menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Berkat predikat "pakar komputer" itu pula banyak lembaga pendidikan yang mengundangnya untuk memberikan ceramah soal yang masih baru bagi orang Indonesia itu. Dan kesempatan itu tak disia-siakan Jusuf, termasuk untuk mempromosikan LPKIA-nya. "Selain bisa membanyol, penampilannya meyakinkan," kata seorang mahasiswa IAIN Jakarta. Untuk mempromosikan diri atau lembaganya itu, Jusuf memang tak tanggung-tanggung. Dalam sebuah tulisannya di Suara Pembaruan, 28 Desember 1987 -- yang berjudul "Anda Ingin Menjadi Manusia Genius" -- ia mengaku memiliki IQ 149. Dengan angka itu, menurut Jusuf, otaknya termasuk langka di dunia. Sebab, hanya 0,5 persen penduduk di dunia yang mempunyai otak di atas 140. Selain rajin "mempromosikan" diri, Jusuf ternyata juga rajin mengobral janji. Pada Oktober 1986, misalnya, selaku Ketua Yayasan Gema Indonesia (YGI) ia mengadakan kerja sama pembuatan ensiklopedi wayang -- dalam bahasa Indonesia dan Inggris -- dengan Museum Wayang, Nawangi, dan Senawangi. Ia, katanya, prihatin karena banyak anak-anak muda cuma gandrung Voltus atau Michael Jackson tapi buta tentang Srikandi atau Arjuna. Ensiklopedi ini, rencananya, dicetak lebih dari satu jilid di atas kertas HVS, berwarna. Biayanya tentu besar. Tapi Jusuf tidak gentar. "Soal biaya tak perlu dicemaskan," kata Jusuf waktu itu. Jilid pertama rencananya beredar pada 1990. Tapi para pencinta wayang boleh kecewa atau melupakan angan-angan besar itu. "Sampai sekarang kami belum menerima sepeser pun darinya," kata Ketua Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi), Pandam Guritno, S.H., M.A. Pada Februari 1988, ia atas nama Direktur LPKIA mengadakan kerja sama dengan Depnaker -- waktu itu menterinya masih Sudomo. Kerja sama menyangkut sistem pelatihan, penyediaan tenaga, dan bahkan sampai ke produksi komputer. Kerja sama, yang akan berlangsung selama 15 tahun, pada tahap pertama akan mendidik 100 orang tenaga penderita cacat di Balai Latian Kerja (BLK) milik Depnaker di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Nyatanya? Humas Depnaker, Supadi, mengaku tak tahu-menahu tentang kerja sama itu. Selama ini, ihwal berita penderita cacat yang dilatih di BLK Pasar Rebo pun tidak ada kelanjutan. Bekas Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerjas Drs. H. Tambunan, membenarkan kerja sama itu hanya di atas kertas. "Memang tak jalan, entah kenapa" katanya. Menko Polkam Sudomo, yang mengaku tak mengenal Jusuf Randy secara pribadi, malah kaget ketika diberi tahu bahwa Jusuf ditangkap. "Saya belum mendengar berita bahwa dia ditahan. Kok bisa, orang sebaik itu ditahan," kata Sudomo, yang di LPKIA duduk sebagai pelindung, kepada TEMPO. Anak cacat tunanetra di Wisma Tan Miyat, Cilandak, Jakarta Selatan, termasuk yang kecewa akibat promosi Jusuf. Februari 1988, Jusuf mengunjungi wisma itu -- tentu saja bersama wartawan tulis dan TV. Disitu ia memperkenalkan komputer kepada siswa tunanetra, sekaligus memberi kursus gratis kepada empat orang (dua cacat netra dan dua lainnya bisu tuli). Berkat kursus itu, mereka diwisuda, dengan dihadiri Menteri Sosial Nyonya Nani Soedarsono, S.H. Menteri bahkan menyerahkan hadiah satu set komputer baru merk Apple. Tapi, ternyata wisudawan itu tak bisa menunjukkan kebolehannya karena tak bisa memakai komputer Apple. "Akhirnya tak efektif karena nggak ada yang bisa mempraktekkannya," kata Staf Subseksi Pembinaan Mental dan Bimbingan Wisma Tan Miyat, Jadium Sebayang. Kebohongan Jusuf yang paling keterlaluan, agaknya, dalam kasus kunjungan ke LP Wirogunan Yogyakarta. Di sebuah harian Ibu Kota terbitan 3 Juni 1987, diberitakan Jusuf berada di LP itu. Berita itu dilengkapi foto seorang napi bersama Jusuf di depan komputer. Disebutkan pula napi Fadil dan Bambang berjanji begitu lepas dari bui akan belajar komputer d LPKIA. "Saya berjanji setelah bebas akan menekuni dunia komputer," kata Fadil. Ternyata, berita kunjungan Jusuf Randy itu bohong. Jusuf tak pernah ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan. "Berita itu sudah saya bantah satu setengah tahun lalu. Itu tidak benar. Itu foto palsu," kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Moeljo Wijono, S.H., kepada TEMPO. Bantahan itu juga sudah disampaikan Moeljo ke atasannya. "Berkunjung saja tidak pernah, apalagi kerja sama tambah Moeljo kesal. Lain lagi cerita Direktur Penerbit Pustaka Masjid Salman, ITB Bandung, Ammar Haryono. Ia licik, licin, dan lihai," kata Ammar. Kok begitu? Beberapa waktu lalu, sebuah robot bikinan mahasiswa ITB yang tergabung dalam Pustena (Pusat Teknologi Tepat Guna) Masjid Salman diserobot dan diaku Jusuf sebagai bikinannya. Robot itu menarik perhatian Jusuf, menurut Ammar, karena memenangkan lomba di kalangan Perhimpunan Mahasiswa Elektronika ITB. Jusuf lantas mengajak pembuat robot itu berpameran bersama di Jakarta. Ammar setuju. Robot itu diboyong ke Jakarta. Teryata, di arena pameran merk Pustena pada robot itu dicopot, diganti dengan merk LPKIA. Ketika disorot TV, tentu saja, nama Jusuf Randy bersama LPKIA yang berkibar. Dalam rangka "kedermawanan" Jusuf pernah mengagumkan penduduk Jakarta ketika, 12 November lalu, membuka Warung Basmallah di Pasar Blok A, Kebayoran Baru. Warung itu akan memberi makanan gratis kepada para kuli dan tukang becak. Dua hari sebelum warung dibuka diadakan semacam gladi resik. Bersama artis Doddy Sukma, Jusuf datang dengan Bab Benz-nya. Tapi begitu ia keluar mobil, masih di pelataran parkir, dua pemuda bergolok melukai "sinterklas" itu. Anehnya, tak satu pun barang atau uang milik Jusuf yang diambil perampok itu. Jusuf menduga komplotan itu sentimen padanya. Orang mau beramal kok dijahatin. Apalagi yang tidak beramal," kata Jusuf ketika dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah. Menurut Jusuf, akibat peristiwa itu, pipi kanannya dijahit dengan 17 jahitan dan kepala bagian kanannya dengan empat jahitan. Menariknya, Jusuf tak mau melapor ke POLISI kendati kasus itu diberitakan media massa. "Sudah saya ikhlaskan 100 persen, saya maafkan,' katanya. Lebih menarik lagi cerita tentang warung Basmallah Jusuf. Para kuli atau tukang becak hanya diwajibkan membaca Basmalllah, lalu dapat nasi bungkus gratis. "Dermawan" itu berjanji akan memberi nasi gratis kepada sekitar 1.000 orang, seminggu sekali. Jika donatir lancar, makan gratis itu akan ditingkatkan jadi tiga kali seminggu. Orang itu harus seperti pohon, makin besar makin banyak buahnya. Dan buah itu bukan untuk sendiri, tapi juga untuk orang lain," kata Jusuf kepada TEMPO ketika itu. Ternyata, janji Jusuf menurunkan "buah" itu seminggu sekali tinggal janji. Warung itu cuma dibuka sekali dan kemudian ditutup hingga kini. Waktu itu, "Paling juga habis Rp300 ribu. Ia pesan 350 bungkus dengan harga per bungkus Rp750," kata Kepala Pasar Blok A, Nirwan Sani. Sejak itu, tinggallah Nirwan yang kewalahan ditanyai wartawan, ditagih para kuli dan tukang becak. Mana warung gratis itu? "Semua hanya omong kosong," kata Nirwan. Semua itu belum seberapa. Jusuf di berbagai penampilan mengaku dan mencoba menunjukkan dirinya sebagai muslim yang saleh dan rajin beramal. Jusuf juga sering mempromosikan program komputer untuk kaligrafi dan Quran atau Hadis. Ia bahkan menurut sumber TEMPO di Medan, pernah berkhotbah di Masjid Agung Medan. Benarkah ia seorang Islam yang saleh? Ternyata, tahun lalu, ia muncul di Gereja Katedral Jakarta. Waktu itu, ia meminta pemberkatan perkawinan peraknya (25 tahun) dengan Elizabeth. Jusuf, yang mengaku sebagai orang Surabaya, meminta Pater Rudolphus Kurtis, 60 tahun, berkenan memberkatinya. Jika permintaan itu dikabulkan, ia berjanji akan menyumbang kepada kelompok kor pengiring misa itu. "Tapi saya menolak memimpin misa itu, saya ragu," cerita Pater Kurtis. Ia ragu, kata Pater Kurtis, karena Jusuf mengaku orang Surabaya. "Lo, orang Surabaya, kok, minta misa di Jakarta," katanya. Gagal meminta Pater Kurris, Jusuf menemui pastor yang lebih tua, Pater Wolbertus Daniels, 74 tahun. Pater Daniels ternyata mengabulkan permohonan itu. Khotbah, sesuai dengan keinginan Jusuf, disampaikan dalam bahasa Jerman. Pater Daniels baru kaget ketika diberi tahu Jusuf beragama Islam. "Kasihan, ya, kalau begitu," kata Pater Wolbertus Daniels. Sejauh mana kebenaran semua cerita di atas memang tak bisa dijawab Jusuf yang kini ditahan. Pengacaranya, Nyonya M. Hindasih Syafarudin, tak bersedia menjawab pertanyaan TEMPO sepatah pun. Begitu juga keluarganya yang berada di luar tahanan. Yang jelas, kita memang gampang terpesona, dan baru sadar bila segalanya telah terjadi. Setelah tahun lalu kita dikejutkan Jusuf Ongkowidjaja, tahun ini kita tersentak oleh Jusuf Randy. We are not the first, but... the best," kata Jusuf Randy berkali-kali. Boleh jadi, ia, sementara ini, benar. Tapi esok atau lusa besar kemungkinan akan muncul Jusuf-Jusuf lain yang lebih besar darinya. Widi Yarmanto, Moebanoe M., Ahmadhie T., I Made Suarjana, Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini