Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hikayat Si Ucup Dari Sumedang

Jusuf Randy, direktur lembaga pendidikan komputer Indonesia Amerika. Kisah hidupnya dimulai di sumedang sampai ke jerman & berakhir di tahanan polisi. ia dituduh memalsukan surat-surat kewarganegaraan.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA pernah menjadi model iklan. Duduk di pinggir perangkat komputer yang sedang dimainkan oleh seorang perempuan muda, sementara tangan kanannya menggenggam sebuah cangkir. "Mereka yang sukses membagi saat-saat minum kopi mereka dengan Anda," demikian bunyi iklan kopi itu. Lelaki dalam iklan itulah yang disebut "mereka yang sukses". Lelaki yang mestinya dikenal banyak orang, karena ia memang "sukses". Dan siapa lagi bila bukannya yang bernama Jusuf Randy, seorang yang kini menarik perhatian karena ulahnya yang beragam. Mula-mula Jusuf, yang lebih sering tampil berdasi itu, tenar sebagai pemilik dan pendiri Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika (LPKIA) -- lembaga pendidikan yang mulai berjalan enam tahun lalu. Sebagai pendiri, Jusuf menjadi bahan pembicaraan di media massa. Maklum, LPKIA, tak sebagaimana umumnya lembaga sejenis, bisa berkembang dan diakui kualitasnya. Sampai tahun lalu lembaga itu memiliki 9 kampus, 287 dosen, 1.000 komputer, dan sebuah perpustakaan yang tergolong komplet. Dalam kata-kata sang tokoh itu sendiri, lembaganya adalah yang, "terbesar di Asia Tenggara." Itulah sukses pertama Jusuf Randy, anak Abah Awat dan Emak Sukaesih. Jusuf kecil, yang dilahirkan di Regol Wetan, Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 1942 biasa dipanggil si Ucup. Zaman berubah, masa berkembang. Panggilan "Ucup" agaknya dianggap kurang "komersial". Tutur si empunya nama ketika berceramah di kampus UII (Universitas Islam Indonesia) April 1988: "Karena saya ingin kaya seperti dia, maka saya mengubah nama jadi Jusuf Randy. Kalau Jusuf Randa (janda), 'kan tidak pantas. Jusuf Randy lebih-bergengsi." Siapa "dia"? Itulah, konon, seorang janda kaya raya di Sumedang waktu itu. Bayangan kekayaan, yang berarti uang bertumpuk, mobil berderet dan rumah berjejer, konon sudah mengejar-ngejar si Ucup sejak dini. Setiap kali abahnya bertanya, "Lamun geus gede maneh arek jadi naon?" -- Jika besar nanti kamu mau jadi apa? Jawab Jusuf kecil dengan gagahnya, selalu "Arek jadi juragan, Bah." -- Ingin menjadi saudagar, Bah. Lalu si kecil bercita-cita besar ini pun menempuh sekolah dasar di Bandung. Sebab, "Kami sekeluarga pindah ke Bandung tahun 1946," katanya, seperti dikutip oleh tiga majalah Ibu Kota. Di majalah Amanah, Jusuf rupanya menambahkan penjelasan. Katanya, pindah mereka ke Bandung lantaran didorong kepedihan hati setelah ayahnya, Abah Awat, meninggal. Di kota ini Jusuf mulai mengumpulkan sendiri uang sen demi sen. Itulah boleh dikata modalnya awalnya untuk menjadi seorang juragan. Memang bukan modal untuk langsung berdagang, tapi modal untuk membayar uang sekolah. Ia, anak kedua dari lima bersaudara, sadar benar bahwa orangtuanya cuma petani kecil yang hidup sangat pas-pasan, yang cukup sulit bila harus membayari uang sekolah semua anaknya. Kepada majalah Sarinah, Jusuf mengaku telah mulai mencari duit sendiri sejak umur 8 tahun. "Dari SD saya sudah membiayai diri sendiri. Saya dulu 'kan jongos sekolah. Tukang ngepel sekolah, makanya bisa sekolah cuma-cuma," tuturnya. Setelah bertambah usia, "pangkat" pun naik. "Saya jadi tukang catut karcis bioskop di sekitar alun-alun Bandung," ujarnya, menceritakan perjuangannya di masa remaja. Untuk itu, ia harus sudah berdesak-desak di depan loket ketika matahari berada di tengah. Itu berarti ia mesti bertahan di depan loket sekitar tiga jam, karena pemutaran film pertama pada pukul tiga sore. Bukan cuma tubuh kuyup oleh keringat, kemeja pun kadangkala sobek dalam berdesak-desakan itu. Tak diceritakannya berapa besar untung catutan karcis, dan untuk apa saja uang itu. Dan si tukang catut ini punya kegemaran lain. Yakni menjadi anak jalanan", tepatnya "anak jalanan kesetanan". Artinya, ia suka ngebut dengan catatan. Adapun catatannya itu adalah bahwa motor yang dipakainya terbang di jalan adalah motor pinjaman. Jusuf mengaku sudah sekian kali melalap jalan Bandung ke Lembang yang berkelok-kelok itu, di malam hari dan tanpa menyalakan lampu. Bila ia segar bugar sampai sekarang, di samping ketangkasan, tentulah karena nasib mujur. Sebagai angkatan 1940-an, ia pun mengalami masa perkelahian remaja. Dan itu berarti berkelahi secara "koboi", satu lawan satu bukan model keroyokan seperti remaja masa kini. Ia pun pengagum raja rock'n-roll berjambul bekas sopir truk yang bernama Elvis Presley. Jusuf mengaku pernah menjuarai adu gengsot rock'n roll se-Bandung. Logis juga bila lalu ia mengaku bisa menggandeng cewek berganti-ganti. Toh dalam diri berandal remaja ini tumbuh juga rasa kesetiakawanan. Umpamanya ketika sobat karibnya, Amat namanya, sakit keras. Si sobat adalah teman senasib di kota perantauan. Jangankan ke dokter, untuk makan saja Amat sudah susah. Demi sahabat itulah Jusuf lalu menjual bajunya. Celaka, di zaman susah itu baju bekas belum seharga sebungkus nasi. Hampir saja ia putus asa. Untung, terkilas bayangan sesajen dalam kelenteng. Jusuf pun pergi ke tempat ibadat agama Khong Hu Cu itu dan menyambar sejumlah penganan, untuk pengisi perut Amat yang sakit. Kisah Jusuf Randy muda memang bak cerita seorang pangeran yang terbuang di tengah rakyat biasa: lebih dari lingkungannya, pangeran itu memiliki kecerdasan, kreativitas, dan keberanian yang mengagumkan. Itulah. Melihat teman-teman sekolahnya tak mampu membeli buku pelajaran, ia lalu menyuruh mereka mengumpulkan buku-buku pelajaran yang sudah dipakai. Hasil gotong royong ini diserahkan kepada mereka yang memerlukannya. Tibalah saat Jusuf melangkah lebih jauh, yakni menuju kota terbesar di Indonesia, tempat beredarnya lebih dari 60% jumlah uang di seluruh Indonesia. Ketika itu ia berusia 19 tahun, duduk di kelas II SMA. Tapi godaan kota besar dan bayangan menjadi juragan lebih kuat daripada keharusan menyelesaikan sekolah. Maka, demikianlah kisah Jusuf menurut Jusuf sendiri, ia segera berangkat ke Jakarta, meninggalkan sekolahnya. Waktu itu kalender menunjukkan tahun 1961. Di Jakarta, Jusuf jatuh ke tempat yang bisa membawanya keliling dunia: ia diterima menjadi anak kapal. Mula-mula ia berlayar sampai Singapura. Hasrat hati melihat dunia, ia pun melompat ke kapal Eropa. Dan berlayarlah si Ucup yang Sumedang ke benua bule. Sampailah ia di Jerman Barat, demikianlah tutur Jusuf tentang dirinya sendiri. Dengan ransel butut dan 10 dolar di kantung, akhirnya ia melihat dunia. Di Jerman ini ia melanjutkan usahanya berdagang, artinya menjual tenaga. Ia nongkrong di muka supermarket atau mampir ke pasar-pasar. Begitu dilihatnya ada orang yang repot membawa belanjaan, didekatinya. "Helfen?" -- perlu pertolongan? -- ia menawarkan. Dengan bahasa "tarzan" itu ia mengaku bisa mendapat pekerjaan angkat-junjung barang berat. Sebagaimana lazimnya cerita pengembara tanpa modal, si petualang dari Sumedang ini pun mengaku lebih banyak tidur beratap langit dengan perut keroncongan. Sampai nasibnya bergeser sedikit. Yakni ketika ia diterima sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang pendeta. Sembari membantu majikan, Jusuf mulai belajar sendiri berbahasa Jerman. Ia mencatat sepuluh kata setiap hari. Dan itulah kerjanya -- sebelum tidur, sembari makan, atau sedang di WC -- ia menghafalkan sepuluh kata Jerman. Tiga bulan ia komat-kamit setiap hari menghafal bahasa Jerman, akhirnya Jusuf mampu berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Maka, "kisah anak ajaib" pun dimulai. Jusuf masuk sekolah di Hoehere Wirtschaftschule, semacam SMEA, di kota industri dan pelabuhan sungai, Duisburg. Di sini ia menghidupi diri dengan jualan koran. Penghasilannya, konon, bisa menutup kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan bersekolah. Demikianlah. Ia sikat sekolah tiga tahun hanya dalam tempo setengahnya, satu setengah tahun. Ia pun pindah ke Dusseldorf, dan masuk kursus komputer. Bukan kisah yang perlu diceritakan bila Jusuf lalu cuma tenggelam dalam belajar dan mencari nafkah. Ia tak lupa berdansa di tempat hiburan. Dengan sisa gaya Elvis Presley yang mestinya kala itu sudah ketinggalan zaman, toh ia masih bisa menggaet cewek bule. Di salah satu lantai dansa, begitu pengakuannya, Jusuf bertemu Elizabeth. Arah kisah sudah bisa ditebak. Mereka sama-sama tertarik, lalu pacaran. Tapi telanjur menjadi tokoh yang bukan biasa, Jusuf harus memilih calon istrinya secermat mungkin. Ini dia, ia melakukan serangkaian tes untuk calon nyonyanya. "Harus lulus uji dapur orang Sunda, yaitu menggoreng ikan asin," kata Jusuf. Selain itu, Elizabeth yang biasa dipanggil Sussie, harus tahan bau sengit makanan favorit Jusuf, yaitu petai dan jengkol. Dan tentu saja Sussie lulus tes. Dan sebagaimana kisah-kisah cinta dalam novel ketengan, Jusuf, ketika itu 21 tahun, mendapat tentangan dari calon mertua. Ia, katanya, pernah disiram air kencing oleh bapak Sussie. Kegusaran calon mertua dijawab Jusuf dengan aksi duduk di halaman rumah Sussie. Tak diceritakan aksi ini dilakukannya dalam berapa jam atau hanya berapa menit. Kisah pun lalu mengalir lancar: mereka menikah, pada 1963, dan dua tahun kemudian lahir Thomas, menyusul Robert pada 1967, dan Susan tiga tahun kemudian. Dan kisah sukses pun semakin nyata. Jusuf akhirnya lulus dari kursus komputer, lalu mendapatkan pekerjaan yang lebih bergengsi. Mula-mula sebagai programer pada perusahaan Kloekner & Co. Lalu naik lagi sebagai programming manager di International Harvester. Karier Jusuf bergerak terus. Ia menyebrang ke Inggris untuk bekerja pada Rank Xerox Ltd. Dari Rank pindah lagi ke International Computer Ltd. Dua tahun ia bermukim di Negeri Ratu Elizabeth itu. Dan kemudian berangkatlah Jusuf ke negeri yang konon paling demokratis di dunia: Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam inilah ia diterima di perusahaan komputer kondang, IBM, sebagai system manager selama tiga tahun. Lalu ia kembali ke Jerman Barat dan berkantor di Univac sebelum meloncat ke German Data Communication. Gajinya, ketika itu tahun 1970-an, sekitar US$ 200 ribu setahun. Kalau dulu di Bandung dia hanya ngebut dengan motor pinjaman, kini Randy sudah bisa melaju dengan Porsche Turbo atau Ferrary Sportnya. Artinya, meski dia belum jadi juragan, sebagian mimpinya ketika ingusan sudah kesampaian. Mirip kisah sang pangeran yang mengembara, yang akhirnya kembali juga ke kerajaan aslinya, Jusuf pulang ke negeri sendiri. Untuk apa? Jawaban mudah ditemukan dalam kisah-kisah di majalah-majalah atau buku populer: untuk menyebarluaskan ilmu yang diperolehnya di negeri seberang. Jusuf kembali ke Indonesia bersama istrinya, 1983. Ketiga anaknya ditinggalkannya di Jerman. Ia memilih membuka kursus komputer. Kebetulan waktu itu di Jakarta memang lagi populer kursus ilmu mesin pintar ini. Bermodalkan 27 komputer dan 9 tenaga pengajar, Jusuf mulai membangun masa depannya di Indonesia, tepat pada hari ulang tahunnya ke-41. Peresmian lembaga kursus itu, LPKIA atau Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika namanya, di Jalan Wijaya X, Kebayoran Baru, Jakarta, dilakukan oleh Sudomo, ketika itu Menteri Tenaga Kerja. "Saya beri nama Amerika karena lembaga ini punya kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan serupa di Amerika," kata Jusuf. Ia sebutkan, antara lain, University of Tennesse, Unversity of Texas, dan University of Washington. Bila -- LPKIA laris, mungkin salah satu sebabnya adalah Jusuf menambahkan tawaran istimewa lulusannya bisa langsung bekerja. "Kami telah menyalurkan 1.000 orang dengan penghasilan Rp200 ribu sampai Rp500 ribu," katanya, jauh sebelum ia ditahan polisi. Sejalan dengan makin banyaknya siswanya, konon, kocek Jusuf pun semakin tebal. Ia kini benar-benar jadi juragan bak mimpinya semasa ia masih dipanggil si Ucup. Ia punya usaha sendiri dan berkembang dengan baik. "Kalau saya pergi ke Ratu Plaza, saya bisa beli apa saja yang saya maui. Mobil yang lebih tinggi dari Mercedes 300 ada nggak? Di Indonesia nggak ada 'kan? Sudah mentok 'kan?" katanya menyombong, suatu ketika. Jusuf, kolektor ratusan dasi dan pemilik sepatu aneka warna, antara lain merah dan hijau, pernah terpilih masuk 10 Pria Berbusana Terbaik tahun 1985. Ia memang selalu tampak berpakaian rapi. Jusuf mengaku tak pernah lupa kepada Tuhan, meski Islamnya sekadar Islam KTP. Pada pengakuannya, "Aku pernah memusuhi Tuhan. Sikap itu kuambil ketika aku merasakan Tuhan tidak adil terhadapku," tuturnya. Ya, Tuhan dirasanya tidak adil ketika mengambil nyawa ayahnya, Abah Awat, ketika kelima anaknya masih kecil. Inilah kejadian yang membuat Jusuf membenci Tuhan. Tapi ketika seorang kakaknya dalam keadaan kritis, Jusuf teringat kembali kepada Tuhan. Di situlah ia melihat bukti keadilan Tuhan. "Jika Kau memang adil, buktikanlah sekarang," katanya. Ternyata kakak Jusuf selamat. Sejak itu Jusuf mengaku bertobat dalam mulai mendalami kembali Quran, yang pada akhirnya diketahuinya sebagai kompas yang menunjukkan jalan kepada manusia supaya tidak tersesat. Itu sebabnya Jusuf tak pernah melupakan anak yang kesusahan. Konon ia mempunyai 193 anak asuh. Ia juga dalam setiap kesempatan sering menyumbang ini dan itu kepada mereka yang membutuhkan. Misalnya pada ulang tahunnya dua tahun lalu Jusuf merayakannya dengan berpesta dengan seratus anak asuhnya di kawasan pinggiran Bintaro. Ia membagi kesenangan dengan memberikan anak-anak itu beragam hadiah -- dari baju sampai pistol mainan. Bahkan honorarium dari iklan Nescafe dinikmati oleh anak-anak asuhnya. Dengan uang itu Jusuf mengajak mereka ke Dunia Fantasi di Ancol. (Tapi sejak pekan lalu, pihak Grafik Advertising merencanakan mencabut iklan ini dari berbagai media massa). Adalah Farly, salah satu di antara anak asuh Jusuf. Farly ini ketika berumur empat tahun sudah bisa membaca surat kabar menguasai 400 kata bahasa Inggris, dan hafal nama-nama kepala negara di dunia. Anak itu oleh Jusuf diajari menggunakan komputer. Farly inilah membuat Jusuf, yang menguasai 17 bahasa komputer, ingin lebih banyak punya Farly. "Saya berambisi sekali mencetak Farly-Farly yang nanti bakal menjadi orang pintar Indonesia," kata dia. Maka, mimpi Jusuf yang baru, yang muncul di zaman ia sudah sukses, adalah ingin memiliki sebuah pulau. Di pulau itulah ia ingin mengumpulkan anak-anak dan mendidik mereka dengan berbagai keterampilan agar mereka siap mandiri. Beruntunglah Jusuf mendapatkan istri yang mengerti sifatnya. "Sekali-sekali kalau menyiapkan makanan untuk banyak orang, saya rancang dengan komputer," begitu Elizabeth pernah berkata dalam bahasa Indonesia patah-patah sebelum ia menghilang setelah suaminya ditahan. Selain tiga anak dari Elizabeth, Jusuf juga mempunyai seorang anak lagi dari Yanti, bekas sekretaris LPKIA. Nama orangtua Yanti itulah yang dijadikan nama kampus LPKIA cabang Yogyakarta: Soetomo Mangunsasmito. Jusuf menikahi Yanti, janda dengan tiga anak, dua tahun lalu. Kini anak mereka, Cindy, telah berusia 15 bulan. Perkawinan yang membuat ayah Jusuf, Abah Awat, berang. "Setelah dia kawin dengan orang sini, dan ketika itu beralih agama dari Katolik ke Islam, maka langsung saya katakan bukan sebagai anak lagi," kata Awat. Lho, Abah Awat? Ya, tak salah lagi. Tak seperti yang dikisahkan oleh Jusuf, ternyata si ayah masih hidup, tinggal di Bandung, menjadi agen mesin fotokopi. Awat tak kaget mendengar berita Jusuf ditahan, sebab ia telah "masa bodoh" terhadap anak keduanya itu. Anak yang kecilnya bernama Nio Tjia Siang ini dan kemudian jadi raja komputer, kini dituduh melakukan pemalsuan surat-surat kewarganegaraan dan kini dalam tahanan polisi.Bunga S. dan Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum