Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sidis

Pertumbuhan anak william boris sidis sangat hebat karena didesign ayahnya. diam-diam menolak masa depannya, memutuskan hubungan & mengembara dalam kerahasiaan. manusia bisa diarahkan, akhirnya berontak.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA umur lima tahun, anak itu sudah menulis satu risalah tentang anatomi. Pada umur delapan, ia memperkenalkan satu tabel logaritma baru. Pada umur 11, ia sudah masuk Harvard University dan memberikan ceramah yang menakjubkan tentang "jasad empat dimensional". Tak ada yang menduga bahwa William Sidis, jenius itu, pada tahun 1944 meninggal dalam keadaan menganggur, terasing, miskin. Orang kemudian teringat ayahnya, seorang ahli psikologi bernama Boris. Orang ini sedang dengan sengit mencoba memperkenalkan sebuah metode pendidikan baru, dan anaknyalah yang jadi contoh. Dalam sebuah buku yang diberi judul Pilistine and Genius -- sudah tentu dengan nada memancing kontroversi -- Boris Sidis menyerang pendidikan konvensional. Hanya dengan merangsang pertumbuhan anak sejak dini, kata Boris Sidis, kita dapat mencegah "kejahatan, perbuatan kriminal, dan penyakit". Boris sendiri memamerkan apa yang dipraktekkannya. Setiap kali anaknya, William, menampilkan kehebatan yang menakjubkan, sang psikolog dan ayah itu mengundang pers. Para wartawan pun meliput, dunia mendengarkan, dan semua orangtua Amerika menyimak, ingin meniru dan berharap bahwa anak yang diasuhnya juga akan jadi William Sidis. Tetapi bahagiakah William? Ia kemudian memang menyelesaikan pendidikannya di college. Tetapi anak ini dengan diam-diam menampik masa depan yang petanya sudah dibuat oleh ayahnya bagi dirinya. Ia semakin lama semakin merasakan publisitas yang menyoroti dirinya mengganggu. Ia bahkan merasakan bagaimana tak enaknya belajar hal yang selama ini dikenal sebagai kehebatannya, terutama matematika. William Sidis akhirnya meninggalkan pendidikan tingkat sarjananya, tanpa gelar. Ia memutuskan hubungan dengan keluarganya. Ia mengembara di dalam kerahasiaan, bekerja seadanya dari tempat ke tempat. Ia praktis ingin menghilang. Tetapi untuk hal yang terakhir ini pun ia ternyata tak bisa menang. Di tahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan satu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Esai itu, April Fool, ditulis oleh James Thurber, dengan nama samaran, berdasarkan suatu wawancara antara Sidis dan seorang wanita yang tak disebutkan namanya. Di sana tergambar bagaimana keadaan William Sidis, dalam kilasan yang menyedihkan. Waktu itu Sidis sudah berusia 39 tahun. Ia dilukiskan tinggal sendiri di sebuah kamar di ujung selatan Boston yang "kusam" dan "tak rapi". Di sana dilukiskan pula bagaimana William, sang jenius masa kanak itu, kini nampak kesulitan merumuskan kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Dan bila ia temukan kata itu, "ia bicara cepat, menganggukkan kepalanya seperti sentakan untuk menandaskan apa yang dimaksudkannya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi ketawa yang aneh". James Thurber memang seorang penulis yang pintar. Tetapi, bagaimanapun juga, lukisan diri Sidis di situ memang bisa menusuk. Lebih penting lagi: William, yang hendak bersembunyi dari publisitas dan masa lalunya, kini seperti harus kembali tampil di depan umum, dalam posisi telanjang, rudin, payah. Maka, ia pun mengadukan New Yorker ke pengadilan. Pengacaranya menganggap apa yang ditulis New Yorker sebagai suatu pelanggaran atas hak Sidis untuk menjaga kehidupan pribadinya dari sorotan umum. Terlebih lagi, di dalamnya ada kecenderunan mencemooh, merendahkan dan bahkan menghina. Si penulis April Fool harus dihukum. Tapi mahkamah mengalahkan Sidis. Orang tak punya wewenang, menurut hukum, menghapuskan kemasyhuran masa kecilnya. Lagi pula, pada saat seorang jadi tokoh masyarakat, makin sedikit ia datang mengklaim hak untuk privacy. Hidup pribadinya akan selalu disoroti. Tentu saja benar. Sidis telah jadi seperti halnya politikus dan bintang film dan sejenisnya. Tetapi bila kemasyhuran seorang pemimpin atau seorang bintang film merupakan hasil ikhtiar sendiri, bagaimana dengan kemasyhuran William di masa kecil? Bukankah itu hanya hasil desain ayahnya, yang waktu itu tak bisa ia tolak? Memang. Tetapi di situ pun nampak betapa tragisnya posisi Sidis. Ia ternyata juga tak bebas menolak jejak orangtua yang membekas di wajahnya, setelah begitu jauh ia melarikan diri. Sebenarnya, suatu hal yang mengagumkan, dan mengharukan, bahwa ia telah mencoba untuk jati dirinya sendiri dengan memilih hidup yang miskin dan tak dikenal. Tapi ia ternyata tak lagi punya hak. Di dalam kekalahannya yang terakhir, ia mati muda mungkin belum lagi 45 tahun, dan nestapa, dan jadi cerita: bahwa manusia memang bisa dikarbit, dicetak, diarahkan siapa bilang tidak. Tapi kelak, akhirnya, krisis akan menembak kita sebagai kita sendiri. Tanpa proteksi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus