Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Djoko Menuju <font color=#6699FF>’Seragam Biru’</font>

DARI urusan ”energi biru”, Djoko Suprapto tampaknya makin dekat menuju komunitas ”seragam biru”—alias penghuni rumah prodeo. Berkas pemeriksaannya sudah selesai. Ia terancam hukuman empat tahun penjara lantaran dianggap menipu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, lewat proyek listriknya yang ternyata tak ada hasilnya itu.

Tapi urusan Djoko mungkin tak sebatas Yogyakarta. Jejak ”proyek listrik”-nya ternyata juga tersebar sampai ke Surabaya dan Jakarta. Di Surabaya, sebuah perusahaan sudah melaporkannya ke polisi karena merasa ditipu. Di Jakarta, muncul pula seorang wanita yang mengaku korban pria Nganjuk tersebut.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK lama lagi, Djoko ”Blue Energy” Suprapto bakal manggung di pengadilan. Setelah sekitar tiga bulan diperiksa tim Reser­se Kriminal Kepolisian Daerah Yogyakarta, kini berkas pemeriksaan ”pesulap-air-jadi-minyak” itu sudah rampung.

”Sudah lengkap,” kata Kepala Satuan Pidana Khusus Reserse Kriminal Kepolisian Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Agung Yudha Wibowo. Pekan ini berkas itu dikirim ke Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, dan segera meluncur ke pengadilan negeri.

Berkas itu memuat sekitar 60 jawaban Djoko untuk pertanyaan polisi, berkaitan dengan kemampuan dan janjinya membuat pembangkit tenaga listrik. Polisi menetapkan pria 48 tahun ini sebagai tersangka penipuan terhadap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dengan dalih bisa membuat pembangkit listrik murah yang ia beri nama Jodhipati, Djoko mengeruk duit salah satu universitas swasta terkemuka di Kota Gudeg itu Rp 1,5 miliar. Jodhipati ternyata hanya bualan Djoko. ”Perbuat­annya itu diancam hukuman empat tahun penjara,” ujar Agung Yudha.

Nama Djoko Suprapto ”semerbak” ketika, pada awal Mei lalu, ia tiba-tiba lenyap. Padahal, ketika itu, ia punya tugas penting. Pria Nganjuk, Jawa Timur, ini harus mempresentasikan hasil temuannya—mengubah air jadi bahan bakar—pada 18 Mei, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebuah tim Detasemen Khusus 88 Markas Besar Kepolisian saat itu dike­rahkan mencari pria yang dikenal dekat dengan Heru Lelono, staf khusus Presiden bidang otonomi dan pengembangan daerah, itu. Polisi akhirnya menemukan Djoko terkulai di Rumah Sakit Soedono, Madiun, Jawa Timur.

Ia mengaku sakit jantung dan ”tak berdaya”. Sejak itu, kepastian Djoko bakal memperagakan mengubah air jadi minyak di depan Presiden makin tak jelas juntrungannya. Belakangan tersiar kabar: Universitas Muham­madi­yah­ mengadukan Djoko ke polisi lantar­an­ merasa ditipu oleh pria yang memiliki hobi menanggap wayang kulit itu.

Polisi langsung bergerak. Pada awal Mei, 12 saksi, termasuk saksi ahli, dipanggil polisi. Pihak universitas menyatakan, janji Djoko membuat pembangkit listrik berkekuatan tiga megawatt ternyata hampa belaka.

Selain menyita dokumen proyek ber­na­ma Banyugeni (air api), polisi­ me­ngumpulkan semua komponen Jo­dhipati. Pada pertengahan Juli lalu, secara resmi polisi menetapkan Djoko sebagai tersangka.

”Teknologi” Jodhipati itu membuat terperangah sejumlah pakar listrik Universitas Gadjah Mada. Ketika polisi membongkar Jodhipati yang dipendam di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah, yang muncul dua buah benda semacam stabilizer berukuran sekitar 60 x 90 sentimeter.

Sarjiya, pakar elektro yang ikut pembongkaran, memastikan alat itu sama sekali tak punya kemampuan membangkitkan tenaga listrik. ”Alat-alat dalam kotak itu semuanya statis. Harus ada energi lain,” ujar dosen teknik elektro Universitas Gadjah Mada itu.

Namun, membongkar pengakuan Djoko memang tak semudah membongkar Jodhipati. Ia mengaku sakit, tak bisa memenuhi panggilan polisi. Wartawan yang menengoknya di rumahnya di Dusun Turi, Nganjuk, juga melihat penampilan Djoko yang kusut dan pucat. Baru pertengahan Juli lalu, didampingi beberapa pengacaranya, Djoko memenuhi panggilan polisi.

Pemeriksaan pun tersendat-sendat. Pada hari pertama pemeriksaan, baru sampai delapan pertanyaan, Djoko langsung terkulai dan diangkut ke Jogja International Hospital, sekitar 200 meter dari markas Kepolisian Yogyakarta.

Kini ia masih terbaring di Rumah­ Sakit Bhayangkara di Jalan Solo, Yogya­karta. Di sana ia mendekam di kamar kelas II-B dengan penjagaan polisi. Ketika diintip Tempo, Kamis pekan lalu, wajahnya terlihat segar. Sesekali ia batuk sembari memegang dada.

Menurut Badrul Munir, dokter polisi yang merawatnya, kondisi jantung Djoko sudah stabil. Setiap hari Djoko mendapat suntikan insulin agar kadar gulanya terkontrol.

Istri Djoko, Windamirah, baru menjenguk suaminya tiga kali. ”Saya meng­urus anak-anak,” kata ibu empat anak itu. Ia menolak membicarakan kasus suaminya. Menurut Windamirah, suami­nya harus berobat jalan selama tiga bulan, dan setiap hari makan enam jenis obat.

Pengacara Djoko, Susantio, sebelumnya pernah meminta penangguhan penahanan kliennya itu. Ketika itu, Rektor Universitas Muhammadiyah, Khoiruddin Basyori, dan mantan pembantu rektor, Priyono Puji Prasetyo, bahkan bersedia menjamin. Belakangan, keduanya mencabut kesediaan itu.

Djoko kini melancarkan ”serangan balik” ke Universitas Muhammadiyah. Dua pekan lalu, lewat pengacaranya, ia melaporkan tindakan perusakan barangnya, Jodhipati, oleh Universitas Muhammadiyah ke polisi. Agung Yudha menganggap pengaduan itu hak Djoko. ”Silakan saja mengajukan tuntutan,” katanya.

l l l

SEBETULNYA, bukan kali ini saja Djoko berurusan dengan polisi dalam urusan listrik. Lima tahun silam, perusahaan Keramik Diamond Indonesia, Surabaya, juga terpukau oleh Djoko, yang menjanjikan bisa menyediakan trafo ”murah dan dahsyat”.

Menurut sumber Tempo, ketika itu Diamond mengangkat Djoko sebagai tenaga ahli, dan memberinya fasilitas tempat tinggal di Perumahan Citra Pakuwon serta sopir pribadi. ”Dia juga sudah menerima gaji puluhan juta,” ujar sumber Tempo di pabrik keramik itu.

Ditunggu berbulan-bulan, pembangkit listrik itu ternyata tak kunjung tercipta. Merasa ditipu, Diamond melaporkan Djoko ke polisi. Kepala Kepolisian Sektor Driyorejo, Ajun Komisaris Sugeng, membenarkan, ”Pada 2003, kami menerima pengaduan itu.”

Menurut Sugeng, kasus Djoko ini kemudian dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Hingga sekarang, kasus itu masih menggantung di sana.

Di Nganjuk, Zoenarto, warga Dusun­ Garu, Kecamatan Baron, juga terti­pu oleh Djoko gara-gara terpikat peng­akuannya yang mampu membuat pembangkit listrik 1 megawatt. Zoenarto menyepakati harga yang ditawarkan, Rp 2,5 miliar. Rencananya, pembangkit itu bakal dipasang di Graha Loka Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, permukiman yang dibangun Zoenarto.

Namun, setelah uang panjar Rp 500 juta diserahkan, Djoko tak kunjung ”menciptakan” listrik itu. Juni lalu, didampingi pengacaranya, Sunarno Edy Wibowo, Zoenarto melaporkan Djoko ke Kepolisian Resor Nganjuk. Djoko kemudian bersedia mengganti uang Zoenarto dengan tanah. ”Sudah damai,” kata Sunarno.

Di Jakarta, seorang pemilik perusahaan di Cibubur juga mengaku teperdaya. Kepada Tempo, pemilik perusahaan itu menyatakan sedang bersiap mengadukan Djoko ke polisi. Di Ibu Kota ini pula, seorang wanita bernama Lailah Masriah mengaku harus menanggung sejumlah utang Djoko setelah pria ini membawa kabur mobil yang disewa dan dibelinya (lihat: ”Lailah Belum ke Yogya”).

Melihat ”rekam jejak” Djoko, tampaknya urusan tak hanya selesai di Yogya. Bisa jadi ia akan digelandang dari satu kantor polisi ke kantor polisi lain. Heru Lelono sendiri tak bersemangat lagi membicarakan ”proyek blue energy”.

Ketika dimintai konfirmasi perihal rencana Djoko yang kabarnya akan datang pada 17 Agustus untuk mempertunjukkan ”atraksi”-nya yang tertunda, Heru menyatakan rencana itu tidak ada. ”Dia tidak kooperatif,” ujar pria yang mengenalkan Djoko ke Presiden Yudhoyono itu.

Martha Warta (Jakarta), Muhamad Saifullah (Yogyakarta), Dwidjo Maksum, Fatkurrohman Taufik (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus