Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, bersama kuasa hukumnya, AH. Wakil Kamal, kembali mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka melaporkan anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, terkait dugaan gaya hidup mewah, termasuk penggunaan pesawat jet pribadi super mewah Gulfstream 650ER dengan kode pesawat N588SE.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara ini, Ubedilah masih menunggu verifikasi dari KPK mengenai bukti-bukti yang bisa ditambahkan. "Tentang bukti-bukti, kemarin kami sampaikan bukti-bukti permulaan. Untuk selanjutnya nunggu verifikasi dari KPK untuk kami kirim bukti tambahan," ujar Ubedilah kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2024. Namun, ia menyatakan untuk sementara ini belum ada bukti yang bisa diberikan kepada publik. "Belum bisa saya share ke publik ya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari 2022, Ubedilah Badrun melaporkan dua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke KPK. Laporan ini berawal dari dugaan keterlibatan kedua putra presiden dalam kasus pencucian uang yang melibatkan perusahaan berinisial PT SM, yang sebelumnya menjadi tersangka dalam kasus pembakaran hutan pada 2015. Perusahaan tersebut sempat dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan nilai ganti rugi sebesar Rp 7,9 triliun.
Namun pada Februari 2019, Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp 78 miliar. Ubedilah menduga bahwa pada waktu yang hampir bersamaan, Gibran dan Kaesang memiliki perusahaan yang menjalin kerja sama dengan PT SM. Ia menyatakan kedua putra Jokowi menerima kucuran dana sebesar Rp 99,3 miliar dalam dua kali transaksi, dan kemudian membeli saham di sebuah perusahaan dengan nilai mencapai Rp 92 miliar.
Dalam laporannya ke KPK, Ubedilah Badrun mengaku telah membawa bukti-bukti berupa data perusahaan serta pemberitaan yang berkaitan dengan dugaan penyertaan modal dari Ventura. Namun, KPK menyatakan bahwa laporan tersebut masih dianggap sumir. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menjelaskan bahwa informasi yang diberikan Ubedilah tidak cukup kuat untuk mendukung dugaan tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang melibatkan penyelenggara negara. Oleh karena itu, KPK memutuskan untuk tidak melanjutkan penyelidikan atas laporan tersebut.