Pengacara Kartika mengeluarkan jurus mengagetkan. Pengacara Pertamina kewalahan dan meminta penundaan sidang. POSISI Pertamina dalam perebutan deposito almarhum Haji Thahir sebesar US$ 78 juta di Pengadilan Tinggi Singapura tiba-tiba terpojok. Dua pukulan pengacara Kartika, Bernard Eder Q.C., yang menggunakan taktik hit and run dengan dua amandemennya, telak merusak posisi Pertamina yang semula di atas angin. Tak ada jalan lain, pengacara Pertamina Michael Sherrad, yang sudah kewalahan, terpaksa meminta penundaan sidang. Setelah melalui perdebatan yang seru pada sidang Rabu pekan lalu, hakim yang memimpin sidang, Lai Kew Chai, menunda sidang sampai 20 Januari 1992. "Dalam kurun waktu penundaan diharapkan masing-masing mempelajari dalil-dalil yang diajukan, sehingga nanti tak akan ada penundaan lagi," ucap Lai. Serangan telak pertama bagi Pertamina datang Kamis pekan itu. Tiba-tiba Eder mengajukan amandemen yang membantah bahwa komisi yang diterima Tahir itu merupakan hak Pertamina. Dalam tangkisan Eder itu, yang dirugikan dalam kontrak perjanjian dengan kontraktor Jerman (Siemens dan Klockner) bukanlah Pertamina tapi PT Krakatau Steel. Sebab itu, Pertamina tak berhak menggugat Kartika. Kendati dalil Eder itu merupakan dalil lama Kartika, toh Sherrad minta sidang ditunda sampai Senin 19 Agustus lalu. Ketika Pertamina bersiap-siap menjawab amandemen pertama, Ahad pekan lalu, masuk facsimile. Inilah serangan kedua Eder. Pada reamandemen itu yang keesokan harinya langsung diserahkan kepada hakim, Eder tak tanggung-tanggung menyerang dalil-dalil Pertamina berdasarkan undang-undang Indonesia sendiri. Kali ini Eder lebih tegas menyebut klaim Pertamina atas deposito itu sama sekali tak berdasar hukum yang berlaku di Indonesia. Berdasar undang-undang antikorupsi, UU No. 3 Tahun 1971, demikian Eder, hanya Pemerintah yang berhak menuntut kembali uang hasil korupsi. Artinya, pihak swasta (Pertamina), kendati badan usha milik negara (BUMN), tak berhak menuntut. Seandainya pemerintah Indonesia hendak menuntut harta itu berdasar undang-undang antikorupsi, menurut Eder, juga sudah terlambat. Sebab, pasal 77 Kitab Hukum Pidana Indonesia (KUHP) menyebutkan kewenangan menuntut perkara pidana gugur begitu tersangka, Thahir, meninggal dunia. Selain itu, Eder juga mengulas pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata (tentang akibat persetujuan) dan dilanjutkan pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada seseorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut." Artinya, bila hendak menuntut deposito itu, Pertamina harus lebih dulu membuktikan kerugiannya akibat perbuatan Thahir. Reamandemen itu diterima pihak Pertamina lewat facsimile sehari sebelum sidang pada hari Minggu (18 Agustus). Karena datangnya demikian mendadak, pada sidang Senin, pihak Pertamina dengan alasan ingin mempelajari reamandemen minta penundaan sidang selama dua hari. Ternyata, pada sidang Rabu, pengacara Pertamina Michael Sherard masih juga belum siap dan meminta sidang ditunda lagi. "Anda tidak fair, selama ini Anda selalu mengatakan tim Pertamina selalu siap menjawab segala tangkisan kami," Eder menuding. Toh karena lawan sudah meminta ditunda, Eder mengajukan tiga alternatif penundaan sidang, sepekan kemudian, atau hingga pertengahan September dan terakhir 20 Januari 1992. Hakim kemudian memutuskan sidang ditunda sampai tahun depan. "Harap dicatat, bukan pihak kami yang meminta sidang ditunda," kata Eder. Seorang penulis buku literatur hukum, K. Wantjik Saleh, yang hari itu ikut menyaksikan sidang, mengakui undang-undang antikorupsi itu mengandung kelemahan karena tak mengatur secara tegas penuntut uang hasil korupsi, bila sang koruptor meninggal. "Para pembuat undang-undang waktu itu kurang mengantisipasi kemungkinan munculnya persoalan seperti ini," kata Wantjik Saleh. Tapi Prof. Soedargo Gautama, salah seorang saksi ahli Pertamina yang juga hadir dalam persidangan itu, punya pendapat lain. Dalam hukum perdata Indonesia, katanya, penuntutan harta korupsi bisa diteruskan pada ahli warisnya. Soedargo yakin bahwa komisi Thahir itu termasuk harta korupsi. Selain itu, Soedargo berpendapat, Kartika pun bisa diadili berdasar undang-undang antikorupsi. Kartika selama ini dinilai Soedargo sudah melanggar undang-undang itu karena menghalangi dan mempersulit pemeriksaan perkara korupsi. Pasal 29 undang-undang memang mengancam pidana 12 tahun, bagi siapa saja yang mempersulit persidangan perkara korupsi. Sementara itu, anggota tim Pertamina Albert Hasibuan mengaku tak gentar dengan amandemen Kartika. Alasannya, dalam proyek Krakatau Steel, Pertamina punya saham 60 persen -- sisanya Pemerintah. Ketika Pemerintah kesulitan uang, dengan Keppres No. 35 Tahun 1970, Pertamina ditugasi membiayai proyek Krakatau Steel. Ia juga tak menganggap penting masalah PT Krakatau Steel yang berstatus BUMN. Dalam berbagai kasus korupsi di Indonesia, katanya, Pemerintah atau BUMN diwakili jaksa -- dimungkinkan melakukan penyitaan. "Yurisprudensinya banyak, yang terakhir adalah kasus Bank Duta," kata Albert. Akuntan Pertamina, Dicky Turner, yang juga duduk dalam tim Pertamina, mengaku sudah siap menghadapi jurus Kartika, yang menyerang dari sisi perhitungan kerugian. Hingga kini ia mengaku hampir memperoleh seluruh bukti dokumen uang komisi, yang ditransfer ke rekening Thahir di Bank Sumitomo, dari para kontraktor Jerman. "Jumlah seluruhnya 19 rekening, kami baru memperoleh 90 persen," katanya. Baik Albert maupun Dicky menuduh apa yang dilakukan pengacara Kartika semata hanya manuver untuk mengaburkan pokok permasalahan. Caranya, mengembangkan materi sidang ke aspek hukum. "Apa pun yang akan dilakukan mereka, kami siap menghadapi," ujar Albert tegas. Buktinya kita tunggu tahun depan. Aries Margono dan Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini