Pemisahan profesi pengacara menjadi perdebatan peserta lokakarya RUU Pelayanan Hukum. Diam-diam pemisahan itu sudah berlangsung. SEJAK organisasi pecah dua, pengacara tampak makin tak tanggap dengan nasib mereka. Buktinya, ketika Pemerintah siap mengajukan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Hukum ke DPR, mereka malah adem ayem saja, sekalipun rancangan itu menyangkut nasib mereka. "Kami baru sempat membahas sekarang, karena selama ini perhatian tersita untuk konsolidasi organisasi," ujar Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Cabang Jakarta, Rudhy A. Lontoh, kepada TEMPO. Maka, AAI baru sempat memberi masukan bagi RUU itu lewat lokakarya "Beberapa Masalah Hukum dalam Pembentukan UU Pelayanan Hukum", yang diselenggarakan di Orchid Palace Hotel, Jakarta, Sabtu pekan lalu. AAI menampilkan lima pembicara dalam acara yang diikuti sebagian besar anggota organisasi baru itu. Pembicara Karni Ilyas, misalnya, mengkritik bahwa RUU Pelayanan Hukum itu penuh kewajiban yang harus dipatuhi pengacara. "Saya hanya menemukan satu hak pengacara yakni hak menerima imbalan jasa," katanya. Sisanya kebanyakan menyangkut kewajiban pengacara. Bahkan Pasal 13, yang mengatur tindakan terhadap pengacara, dinilai Karni bisa menjerat karena penafsirannya terlalu luas. Pasal itu antara lain menyebut: pengacara bisa dikenai tindakan jika berbuat tidak patut terhadap lawannya atau kuasanya. "Di mana batasan berbuat tidak patut itu?" tanya Karni. Tapi yang paling mendapat sorotan peserta adalah soal pemisahan antara konsultan hukum (non-litigation lawyer) dengan pengacara praktek, yang diatur dalam Pasal 1 RUU tersebut. Soalnya, belakangan ini santer dikabarkan akan ada asosiasiasosiasi pengacara yang mengkhususkan pada perkara tertentu. Selama ini kedua profesi itu hampir sulit dipisahkan. Umumnya, advokat sekaligus merangkap sebagai konsultan hukum. Apa pun perkara yang diajukan klien selalu ditangkap. Dengan adanya pemisahan itu praktis lahan mereka akan berkurang. Inti Pasal 1 itu adalah hanya penasihat hukum (advokat dan pengacara praktek) yang boleh tampil di muka pengadilan. Konsultan hukum tak diizinkan. Mereka hanya diperbolehkan memberi konsultasi hukum di luar pengadilan. "Pemisahan itu merupakan langkah mundur bagi dunia penasihat hukum Indonesia," kritik Rudhy Lontoh. Model seperti itu, katanya, hanya ada di negara-negara yang menganut sistem hukum Inggris (Anglo-Saxon). Tapi di sana dikenal ada barrister, yang khusus memberi bantuan hukum di pengadilan. Para barrister ini dibantu oleh tim ahli yang disebut solicitor, yang tugasnya membantu riset dan memberi masukan pada barrister. Satu lagi disebut legal consultant, yang hanya memberi nasihat hukum pada perusahaan-perusahaan tanpa harus ke pengadilan. Menurut Rudhy, walau sistem itu berasal dari Inggris, sejumlah negara persemakmuran seperti Singapura, Malaysia, dan Australia sudah lama meninggalkannya. Mereka justru meniru pola negara-negara penganut sistem hukum kontinental seperti Indonesia. "Sekarang kok terbalik, kita mau mengikuti sistem yang sudah ditinggalkan itu. Ini namanya langkah mundur," ujar Rudhy tegas. Yan Apul, Ketua Presidium Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia (Poperi), sependapat dengan Rudhy. Alasannya, di Indonesia jumlah pengacara masih kurang, baru sekitar 5.000 orang. Artinya, satu pengacara melayani 36.000 penduduk. Sedangkan di New York, yang berpenduduk 7 juta jiwa, sudah dilayani oleh 600.000 pengacara. "Pemisahan itu justru akan merugikan rakyat pencari keadilan," katanya kepada Ardian T. Gesuri dari TEMPO. Tak semua pengacara sependapat dengan mereka. Pengacara John Pieter Nazar, misalnya, justru lebih suka pemisahan itu. Alasannya, pengacara menjadi mahir di bidangnya masing-masing. Tidak seperti sekarang, umumnya advokat menerima semua jenis perkara yang masuk. Lepas pasal pemisahan itu masuk atau tidak, diam-diam pengkotakan profesi pengacara mulai tampak. Ada yang khusus berpraktek sebagai konsultan perusahaan, seperti Nono Anwar Makarim. Di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), malah sudah terbentuk asosiasi pengacara yang khusus menangani perusahaan yang akan go public. Malah akhir September akan lahir satu lagi asosiasi yang mengkhususkan diri pada perkara hak paten. Ini berkaitan dengan diberlakukannya UU baru tentang Hak Paten per 1 Agustus lalu. Pemrakarsanya terdiri 40 orang, yang kini tengah mengikuti kursus pendidikan konsultan dan pengacara paten di Fakultas Hukum UI selama satu setengah bulan. Seusai kursus, peserta akan mendapat sertifikat diploma dari Departemen Kehakiman. "Nantinya hanya pengacara anggota asosiasi yang boleh menangani kasus paten di Indonesia," kata John Pieter. Ia menambahkan, ide itu sudah mendapat dukungan dari Departemen Kehakiman. Gelagatnya, usaha para pengacara yang menentang pemisahan profesi itu akan sia-sia. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, dalam sambutan pembukaan lokakarya RUU Pelayanan Hukum itu, terang-terangan memberi isyarat akan ada pemisahan. "Agar yang memerlukan pelayanan hukum memperoleh jaminan pelayanan yang lebih profesional," katanya. Siapa tahu, Ismail Saleh benar. Aries Margono, Nunik Iswardhani, dan Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini