PESAWAT telepon di ruang piket kepolisian Kosek 704-01,
Kebayoran Lama di Jakarta Selatan berdering Ketua RW (Rukun
Warga) 03, Kelurahan Cipulir, melaporkan kejadian yang
mengundang tanda tanya Syamsu Basri, warganya yang mengobati
Mutiar dengan pengobatan cara dukun, belum juga selesai dengan
pekerjaannya. Padahal ia bekerja sejak pagi hari--2 Desember
lalu. Malahan si pasien nampak gawat ia mengerang dan wajahnya
berdarah.
Empat petugas polisi segera datang ke rumah Syamsu di Jalan
Kebun Mangga. Rumah tembok dalam gang yang cukup besar itu sudah
dikerumuni para tetangga. Ayah si pasien, Sufi, dan istrinya
yang bernama Yasni yang menggendong bayi, pun ada di sana.
Polisi menjumpai Mutiar terbaring di lantai. Kepalanya berbantal
Al Qur'an dan di atas perutnya juga ada sebuah Al Qur'an. Wajah
Mutiar, 23 tahun, pedagang kelontong di Pasar Kebayoran Lama itu
penuh torehan. Rambutnya di bagian depan tampak seperti bekas
dipotong. Darah mengalir dari kedua telinganya.
Komandan Kosek 704-01, Kapten Pol. Adang Darajatun, segera
diberitahu. Perwira muda lulusan Akabri sepuluh tahun lalu itu
segera datang. Di tempat kejadian Adang menjumpai Syamsu, 35
tahun, yang berbadan sedang, sedikit tegap dan berkulit kuning
itu, tengah berada di atas loteng tempat menjemur pakaian. Ia
memegangi keris sembari mulutnya komatkamit. Ia berteriak
lantang ketika polisi menyuruhnya turun: "Jangan ganggu dia
(maksudnya Mutiar). Pukul 7 nanti dia bangun.
Mula-mula polisi menuruti kemauannya. Tapi sampai lewat pukul
19.00 korban tak juga bangun. Polisi sekali lagi memerintahkan
Syamsu turun. Syamsu akhirnyamenurut tanpa perlawanan. Ia lalu
dibawa ke kantor polisi.
Bagi para tetangga Syamsu, peristiwa hari itu terasa ganjil.
Syamsu, sehari-harinya berdagang barang kelontong (gelas, panci,
kompor dan lain-lain) di Pasar Kebayoran Lama, boleh dibilang
sebagai "dukun kaget". Ditemui di Kosek 704-01, ia mengaku belum
pernah berguru ilmu perdukunan kepada siapa pun. "Saya sejak
kecil tidak pernah tertarik ilmu begituan," katanya sembari tak
henti-hentinya mengisap rokok.
Syamsu lahir di Bukittinggi. Berdagang kelontong sejak lima
tahun lalu. Sehari, katanya, ia bisa membawa pulang keuntungan
sekitar Rp 5.000 - Rp 10.000 -- cukup untuk menghidupi istri dan
delapan anaknya. Rumahnya yang cukup bagus itu dibangun pula
dari hasil berniaga.
Sejak empat bulan lalu, ia mengaku, mengerjakan sembahyang lima
waktu tadinya tak pernah teratur. Pada malam Kamis, 19 November
lalu, ia bermimpi bertemu dengan seorang berjubah putih yang
memperkenalkan diri bernama Syech Maulana Malik Ibrahim.
"Roh"nya konon ada dalam keris milik Syamsu. Yaitu keris kecil,
sepanjang kurang lebih 20 cm, pemberian seorang kiai asal
Cirebon bernama Nasuki. Ia ketemu kiai itu waktu pergi ke
Palembang sekitar tiga tahun lalu.
"Kuburan saya ada di Masjid Agung Cirebon," kata orang berjubah
itu. Ia meminta agar Syamsu merawat keris yang dipunyainya,
dengan menyediakan: selembar kain putih, satu kotak cerutu,
kembang tujuh rupa, kemenyan minyak wangi, beras, jeruk nipis
dan sebuah Al Qur'an. Besok malamnya, malam Jumat Kliwon, keris
itu harap ditaruh di dekat benda-benda itu. Setelah keris
dirawat, kata orang berjubah, Syamsu akan bisa mengobati segala
macam penyakit. Syaratnya. dia tidak boleh minta bayaran.
Syamsu pun lalu menyiapkan semua benda-benda yang disebut dalam
mimpinya. Memang betul, katanya, setelah melaksanakan pesan
dalam mimpi dia merasa punya "ilmu". Ia, yang tak pernah belajar
mengaji, merasa bisa menerjemahkan ayat-ayat Al Qur'an. Bila
mendengar orang adzan, katanya, "mulut saya kontan menerjemahkah
artinya."
Syamsu ingin membuktikan ilmunya. Kebetulan seorang adiknya,
Syamsi, dijangkiti penyakit: mabuk asmara pada seorang pelacur
yang sudah punya anak tiga. Keinginannya itu ditentang semua
keluarganya--termasuk Syamsu.
Setelah sembahyang dhuhur, Syamsu langsung menghampiri adiknya,
lalu menepuk kepala serta kupingnya. Dan Syamsu lalu berkata
bahwa hubungan Syamsi dengan pacarnya akan putus hari itu juga.
Seperti tersadar dari suatu pengaruh, Syamsi menyangkal pernah
jatuh cinta pada WTS beranak tiga itu.
Makin Buruk
Beberapa hari kemudian, 2 Desember lalu, di pagi buta Mutiar
datang ke rumahnya, dalam keadaan ketakutan dan merasa badannya
panas. Mutiar mengaku pernah berguru agar punya ilmu kebal.
Sebab di pasar ia sering bertemu dengan jagoan yang suka
memungut pajak tak resmi dengan paksa. Oleh gurunya, ia disuruh
minum darah anjing dan babi. Mutiar, saudara sepupu Syamsu, kini
sadar dan ingin melepaskan ilmunya itu.
Karena Mutiar merasa panas, Syamsu mempersilakannya masuk ke
dalam ember besar dengan kaki terlipat. Sebuah Al Qur'an ditaruh
di kepala dan yang sebuah lagi di dada. Lalu Syamsu mengguyurnya
dengan air. Setelah diguyur berulang-ulang, sampai sekitar pukul
14.00, keadaan Mutiar agak membaik. Tapi ia lalu kumat lagi.
sadannya kejang dan tangannya menggigil. Ia minta agar rambut
dipotong. Karena, katanya, "penyakit"nya ada di sana.
Syamsu, menurut pengakuannya, lalu mencari gunting dan memotong
rambut. Tapi Mutiar malah minta rambutnya diseset. Kejang-kejang
korban ternyata berkelanjutan. Seperti ada yang menyuruh,
katanya, Syamsu mengambil kerisnya, lalu menempelkannya di
tangan, wajah dan dada Mutiar. Keris itu bergetar keras. serarti
"penyakitnya ada di situ," ujar Syamsu kemudian.
Sembari memainkan keris, Syamsu tak henti-hentinya menyebut
kebesaran nama Tuhan. Tapi keadaan Mutiar makin buruk. Maka
Syamsu memanggil tetangganya yang bisa membaca Al Qur'an.
Seorang tetangganya lalu mengaji.
Motif Lain
Selama proses pengobatan itu, ayah korban ikut menyaksikan.
Begitu juga istri korban yang menggendong bayinya.
Menurut keterangan beberapa saksi, Syamsu tak hanya menempelkan
kerisnya di atas tubuh Mutiar. Ia juga menorehkan ujung
kerisnya, yang nampak kotor karena tak terawat, ke wajah dan
kepala bagian bawah si korban. Syamsu, begitu ceritanya, juga
memukuli kepala Mutiar, hingga telinga si korban mengeluarkan
darah. Dan yang keterlaluan Syamsu juga menginjak-injak dada kor
korban.
Sampai pukul 16.00, keadaan korban tak juga membaik. Syamsu
segera naik ke loteng. Dan meneruskan ikhtiarnya di sana. Tapi,
melihat keadaan suaminya sudah sedemikian rupa, sang istri tak
tahan. Ia lapor pada Ketua RW di situ -- yang lalu meneruskannya
ke polisi.
"Saya sangat menyesal. Mungkin Mutiar ditakdirkan meninggal
waktu saya obati," ujar Syamsu. Tapi, katanya lagi, sebenarnya
Mutiar tidak bakal mati kalau saja di petanghari itu--setelah
keadaan Mutiar makin gawat -- semua yang melihatnya
tenang-tenang saja. Tapi, katanya, ternyata "ada yang bilang
inna lillahi . . . berarti ada yang ikhlas kalau dia meninggal,
akibatnya dia meninggal."
Kapten Adang Darajatun, nampak tak habis pikir menyaksikan kasus
seperti itu. Sejak ia menjabat Dan Kosek, setahun lalu, baru
pertama kali itu ia menghadapi kasus yang aneh.
Peristiwa yang menimpa Mutiar, katanya, "mungkin karena Syamsu
ingin mencoba ilmunya itu." Tapi ia tak menutup kemungkinan ada
motif lain di balik itu. Yang jelas hubungan Mutiar dan Syamsu
nampaknya cukup akrab. Di samping masih punya hubungan famili,
mereka pun sama-sama berdagang di Pasar Kebayoran Lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini