PERNYATAAN Kadapol Sumatera Utara -- "sudah jelas ditemukan
bukti bahwa perdagangan bayi merupakan sindikat" - seperti
hendak membenarkan alasan kegelisahan penduduk di sana.
Desas-desus memang santer di Kabupaten Labuhanbatu, Asahan dan
Simalungun, bahwa Proyek Asahan meminta tumbal 700 kepala
manusia.
Lalu, 1 Desember lalu di Tapanuli Utara terjadi pergumulan,
antara seorang wanita yang dituduh penculik dengan seorang ibu
yang mempertahankan bayinya.
Pejabat pemerintahan di sana membantah perihal keinginan Proyek
Asahan akan segala macam tumbal. Namun, bahwa ada praktek
jual-beli bayi di Medan, polisi punya cerita nyata. Dimulai dari
sebuah informasi, berbentuk surat terketik rapi, dikirim
seseorang ke alamat Kepolisian (Kotabes) Medan: terjadi
jual-beli bayi dan seorang oknum polisi terlibat di dalamnya.
Nama dan alamat si penjual, si pembeli serta saksi, diberikan
secara lengkap.
Tak Mampu
Berangkat dari informasi penduduk di Jalan Lembing, Medan,
itulah polisi bekerja. "Si penjual", seorang wanita bernama
Martina, mengaku terus-terang bahwa bayinya diserahkan kepada
seorang oknum polisi, sebelum ia sempat membawanya ke luar dari
Rumah Sakit Wina II Medan. Penyerahan, disaksikan pimpinan rumah
sakit, disertai imbalan atau ganti rugi ongkos bersalin sebesar
Rp 350 ribu.
Menurut Nyonya Martina, hampir semua uang yang diterimanya
digunakan untuk membayar pesalinan, lebihnya cuma sekedar untuk
ongkos pulang ke rumah orang tuanya di Jalan Teuku Umar. Tak ada
yang memaksa agar menjual bayinya, katanya, kecuali karena ia
tak mampu memeliharanya. Bahkan biaya opname di Wina II di Jalan
Setiabudi pun, tak terbayar olehnya, sehingga ia harus tinggal
di sana selama dua bulan. "Itu semua gara-gara suami saya tak
bertanggungjawab," kata Martina.
Pimpinan RS Wina II, Nyonya N. Ketaren, membenarkan bahwa ia
menjadi saksi dalam perjanjian penyerahan bayi antara Martina
dengan oknum polisi. "Orang tua si anak jelas tak mampu menebus
biaya perawaan. Lantas, ada orahg yang mau menanggulangi, apa
salahnya?" ujar nyonya tersebut. Rumah sakitnya, kata Nyonya
Ketaren, sering dirugikan oleh pasien-pasien macam Martina.
Seperti diungkapkan polisi kemudian, ternyata anak Martina oleh
oknum polisi tadi dioperkan ke tangan Le se Ge, wanita berusia
24 tahun yang biasa dipanggil Susy. Dengan alasan tak sanggup
memeliharanya lebih lama, seperti dikatakannya kepada polisi,
Susy hanya mengurusnya tak lebih dari sebulan dan menyerahkan
bayi Martina tersebut kepada Tan Soe Sien.
Tapi, Soe Sien memeliharanya cuma sehari, alasannya sungguh tak
enak: "Sebab kurang cocok sama saya!" Perempuan setengah baya
tersebut menyerahkan bayi Martina kepada perempuan tengah baya
lainnya bernama Juni. Mengaku hanya bertindak sebagai perantara,
Juni menyerahkan bayi laki-laki itu dari Soe Sien ke tangan Lie
Suak Hua, yang tinggal di Jalan Cirebon.
Orang yang terakhir ini pun ternyata bukan "stasiun" terakhir
bagi si anak malang itu. Hua bermaksud mengirim anak tersebut
kepada adiknya di Jakarta. Dan untuk sementara, katanya kepada
TEMPO, ia menitipkannya kepada salah seorang familinya di Pulau
Brayan. Lie Nai Hiu, wanita berusia 58 tahun yang kini
memeliharanya, mengaku tak punya anak. Dialah, menurut polisi,
yang menebus bayi tersebut dari tangan Be Ge sebesar Rp 500 ribu
dan membayar uang-perantara antara Rp 15 ribu-Rp 40 ribu kepada
Soe Sien, Juni dan Suak Hua.
Nai Hiu sendiri tak merasa bersalah. "Suat serah-terima bayi
ada di tangan saya, kok," katanya kepada TEMPO. Di situ, kata
Nai Hiu, ada dicantumkan bahwa orang tua si bayi tidak
keberatan. Siapa orang tua bayi tersebut? Surat perjanjian yang
ada di tangan Nai Hiu menyebutkan Le Be Ge. Sesungguhnya Nai
Hiu, menurut Perwira Unit Vice Control Kotabes Medan Lettu S.
Sarah Kusnilawaty, hanya menginginkan bayi yan bukan pribumi.
Polisi kini tengah mengusut lebih lanjut lima
tersangka--termasuk seorang oknum polisi yang diperiksa provost.
"Kalau memang ada kekuatan hukumnya," kata Dantabes Letkol
Soehardi, "perkaranya akan segera kami limpahkan ke kejaksaan."
Tampaknya tak begitu mudah. Terlihat dari perkara sebelumnya,
dibongkar Kepolisian Deli Serdang (TEMPO, 4 Juli 1981), yang
hingga kini tak kunjung terlimpahkan ke kejaksaan.
Yang jelas, berbeda dengan pendapat Kadapol II Brigjen Hudioro
yang menyatakan bahwa perdagangan bayi dilakukan suatu sindikat,
Letkol Soehardi berkata "Pokoknya belum ada bukti ada sindikat
penjualan bayi. " Urusannya, menurut Soehardi lagi, sederhana
saja Di antara orang yang ingin punya anak--umumnya keturunan
Cina--dan orang yang tak mampu memelihara bayinya sendiri muncul
beberapa perantara. Karena ternyata keuntungan yang diterima tak
sedikit, seperti dituturkan Soehardi, maka para perantara aktif
mencari sasaran. Itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini