Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tumbal Kepala Bayi ?

Beda pendapat antara Kadapol II Brigjen Hudioro dengan dantabes Medan, Letkol Soehardi mengenai sindikat perdagangan bayi. Kasus jual beli bayi di Medan & seorang oknum polisi terlibat di dalamnya.(krim)

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNYATAAN Kadapol Sumatera Utara -- "sudah jelas ditemukan bukti bahwa perdagangan bayi merupakan sindikat" - seperti hendak membenarkan alasan kegelisahan penduduk di sana. Desas-desus memang santer di Kabupaten Labuhanbatu, Asahan dan Simalungun, bahwa Proyek Asahan meminta tumbal 700 kepala manusia. Lalu, 1 Desember lalu di Tapanuli Utara terjadi pergumulan, antara seorang wanita yang dituduh penculik dengan seorang ibu yang mempertahankan bayinya. Pejabat pemerintahan di sana membantah perihal keinginan Proyek Asahan akan segala macam tumbal. Namun, bahwa ada praktek jual-beli bayi di Medan, polisi punya cerita nyata. Dimulai dari sebuah informasi, berbentuk surat terketik rapi, dikirim seseorang ke alamat Kepolisian (Kotabes) Medan: terjadi jual-beli bayi dan seorang oknum polisi terlibat di dalamnya. Nama dan alamat si penjual, si pembeli serta saksi, diberikan secara lengkap. Tak Mampu Berangkat dari informasi penduduk di Jalan Lembing, Medan, itulah polisi bekerja. "Si penjual", seorang wanita bernama Martina, mengaku terus-terang bahwa bayinya diserahkan kepada seorang oknum polisi, sebelum ia sempat membawanya ke luar dari Rumah Sakit Wina II Medan. Penyerahan, disaksikan pimpinan rumah sakit, disertai imbalan atau ganti rugi ongkos bersalin sebesar Rp 350 ribu. Menurut Nyonya Martina, hampir semua uang yang diterimanya digunakan untuk membayar pesalinan, lebihnya cuma sekedar untuk ongkos pulang ke rumah orang tuanya di Jalan Teuku Umar. Tak ada yang memaksa agar menjual bayinya, katanya, kecuali karena ia tak mampu memeliharanya. Bahkan biaya opname di Wina II di Jalan Setiabudi pun, tak terbayar olehnya, sehingga ia harus tinggal di sana selama dua bulan. "Itu semua gara-gara suami saya tak bertanggungjawab," kata Martina. Pimpinan RS Wina II, Nyonya N. Ketaren, membenarkan bahwa ia menjadi saksi dalam perjanjian penyerahan bayi antara Martina dengan oknum polisi. "Orang tua si anak jelas tak mampu menebus biaya perawaan. Lantas, ada orahg yang mau menanggulangi, apa salahnya?" ujar nyonya tersebut. Rumah sakitnya, kata Nyonya Ketaren, sering dirugikan oleh pasien-pasien macam Martina. Seperti diungkapkan polisi kemudian, ternyata anak Martina oleh oknum polisi tadi dioperkan ke tangan Le se Ge, wanita berusia 24 tahun yang biasa dipanggil Susy. Dengan alasan tak sanggup memeliharanya lebih lama, seperti dikatakannya kepada polisi, Susy hanya mengurusnya tak lebih dari sebulan dan menyerahkan bayi Martina tersebut kepada Tan Soe Sien. Tapi, Soe Sien memeliharanya cuma sehari, alasannya sungguh tak enak: "Sebab kurang cocok sama saya!" Perempuan setengah baya tersebut menyerahkan bayi Martina kepada perempuan tengah baya lainnya bernama Juni. Mengaku hanya bertindak sebagai perantara, Juni menyerahkan bayi laki-laki itu dari Soe Sien ke tangan Lie Suak Hua, yang tinggal di Jalan Cirebon. Orang yang terakhir ini pun ternyata bukan "stasiun" terakhir bagi si anak malang itu. Hua bermaksud mengirim anak tersebut kepada adiknya di Jakarta. Dan untuk sementara, katanya kepada TEMPO, ia menitipkannya kepada salah seorang familinya di Pulau Brayan. Lie Nai Hiu, wanita berusia 58 tahun yang kini memeliharanya, mengaku tak punya anak. Dialah, menurut polisi, yang menebus bayi tersebut dari tangan Be Ge sebesar Rp 500 ribu dan membayar uang-perantara antara Rp 15 ribu-Rp 40 ribu kepada Soe Sien, Juni dan Suak Hua. Nai Hiu sendiri tak merasa bersalah. "Suat serah-terima bayi ada di tangan saya, kok," katanya kepada TEMPO. Di situ, kata Nai Hiu, ada dicantumkan bahwa orang tua si bayi tidak keberatan. Siapa orang tua bayi tersebut? Surat perjanjian yang ada di tangan Nai Hiu menyebutkan Le Be Ge. Sesungguhnya Nai Hiu, menurut Perwira Unit Vice Control Kotabes Medan Lettu S. Sarah Kusnilawaty, hanya menginginkan bayi yan bukan pribumi. Polisi kini tengah mengusut lebih lanjut lima tersangka--termasuk seorang oknum polisi yang diperiksa provost. "Kalau memang ada kekuatan hukumnya," kata Dantabes Letkol Soehardi, "perkaranya akan segera kami limpahkan ke kejaksaan." Tampaknya tak begitu mudah. Terlihat dari perkara sebelumnya, dibongkar Kepolisian Deli Serdang (TEMPO, 4 Juli 1981), yang hingga kini tak kunjung terlimpahkan ke kejaksaan. Yang jelas, berbeda dengan pendapat Kadapol II Brigjen Hudioro yang menyatakan bahwa perdagangan bayi dilakukan suatu sindikat, Letkol Soehardi berkata "Pokoknya belum ada bukti ada sindikat penjualan bayi. " Urusannya, menurut Soehardi lagi, sederhana saja Di antara orang yang ingin punya anak--umumnya keturunan Cina--dan orang yang tak mampu memelihara bayinya sendiri muncul beberapa perantara. Karena ternyata keuntungan yang diterima tak sedikit, seperti dituturkan Soehardi, maka para perantara aktif mencari sasaran. Itu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus