Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Edaran Penangkal Kebencian

Kepala Kepolisian RI membuat surat edaran tentang penanganan kasus ujaran kebencian. Dianggap terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT edaran setebal tujuh halaman itu sejatinya hanya menegaskan prosedur penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian (hate speech) yang telah diatur sejumlah undang-undang. Namun reaksi atas surat yang diteken Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 itu ibarat riak yang terus membesar jadi gelombang.

Hingga pekan lalu, sejumlah akademikus, pegiat hak asasi manusia, sampai advokat kebebasan berekspresi terus mempersoalkan surat edaran nomor SE/6/X/2015 itu. "Saya tidak menyangka tanggapannya bisa seperti ini," kata Badrodin, Kamis pekan lalu.

Surat edaran ini menyatakan ujaran kebencian meliputi segala pernyataan yang bertujuan atau berdampak pada diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial. Termasuk di dalamnya penghinaan, pencemaran nama, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, dan penyebaran berita bohong.

Meski resminya ditujukan untuk kalangan internal kepolisian, menurut Badrodin, surat edaran ini sekaligus mengingatkan semua masyarakat agar berhati-hati mengeluarkan pendapat. "Masih banyak yang beranggapan seolah-olah di era demokrasi orang bebas berbicara seenaknya," ujar Badrodin.

* * * *

STATUS Facebook yang diunggah pemilik akun Arif Kusnandar pada Agustus lalu meresahkan kalangan pengguna Internet. Dengan bahasa yang sangat kasar, status itu memaki-maki warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sembari mengaitkan mereka dengan ancaman krisis ekonomi. Pemilik akun itu pun menebar ancaman: bila nilai tukar dolar Amerika Serikat menembus Rp 15 ribu, kerusuhan Mei 1998 bakal berulang.

Forum Demokrasi Digital—yang terbentuk pada pertengahan 2014—menanggapi hasutan tersebut dengan menggalang petisi "Stop Kebencian Rasial" di situs Change.org. Dalam waktu 24 jam, petisi itu mendapat dukungan sekitar 26 ribu orang. Hingga akhir pekan lalu, pendukung petisi itu telah melampaui 50 ribu orang. "Pernyataan kebencian tak bisa terus dibiarkan, harus ada tindakan tegas," kata Damar Januarto, salah seorang pendiri Forum Demokrasi Digital, Senin pekan lalu.

Bukan hanya kalangan pegiat "Internet sehat" yang bergerak. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun melaporkan kasus ujaran kebencian melalui akun Arif Kusnandar kepada polisi. Namun, hingga kini, pengusutan kasus itu tak jelas ujungnya.

Maraknya penyebaran kebencian lewat media sosial, menurut Badrodin Haiti, memang menjadi salah satu alasan penerbitan surat edaran tentang penanganan hate speech. Namun ia menepis anggapan bahwa surat edaran itu merupakan sikap reaktif polisi atas perkembangan di media sosial. Menurut Badrodin, rancangan surat edaran dibahas sejak 2013 oleh tim yang dibentuk Wakil Kepala Polri saat itu, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna. "Waktu itu diadakan seminar, mengundang para ahli dan pakar," ujar Badrodin.

Sejauh ini, menurut Badrodin, polisi mendeteksi sekitar 180 ribu akun di media sosial kerap menebar ujaran kebencian. Setelah surat edaran hate speech keluar, penyidik Markas Besar Polri sudah memanggil tiga pemilik akun. Namun Badrodin tak membuka identitas mereka. Ia hanya menyebutkan ketiga orang itu diduga memiliki belasan akun samaran. Dua orang di antaranya berasal dari Pekanbaru dan Sukabumi.

Polisi pun tampaknya tak akan menyeret ketiga pemilik akun tersebut ke jalur pidana. Polisi hanya meminta mereka membuat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya. "Kami memanggil bukan untuk menindak, melainkan mencegah," kata Badrodin.

Surat edaran Kepala Polri memang tidak mendorong anak buahnya bergegas melakukan penyidikan. Sebaliknya, bila terjadi kasus ujaran kebencian, polisi daerah diwajibkan mempertemukan dulu pelontar ujaran kebencian dengan pihak yang diduga menjadi korban. Selanjutnya, polisi harus berusaha menganjurkan perdamaian di antara para pihak. "Kami mencari solusi dan memberi pemahaman mengenai dampak pernyataan kebenciannya," ujar Badrodin.

Bila semua upaya mediasi gagal, polisi baru membawa kasus ujaran kebencian ke ranah pidana. Rujukannya sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara Suwahju, menilai surat edaran Kepala Polri telah mencampuradukkan ketentuan penyebaran kebencian dengan berbagai tindakan lain yang tidak saling berkaitan. Ujaran kebencian semestinya tak mencakup pencemaran nama, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan penyebaran berita bohong.

Menurut Anggara, dalam hukum pidana Indonesia, penyebaran pernyataan kebencian terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah penyebaran kebencian terhadap pemerintah, seperti diatur Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Pasal-pasal ini telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Kelompok berikutnya adalah penyebaran kebencian berdasarkan perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Perbuatan itu dilarang Pasal 156 dan 157 KUHP serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. "Bila berfokus memerangi kebencian berbasis ras dan etnis, polisi layak mendapat apresiasi," kata Anggara.

Mediasi dalam penanganan perkara ujaran kebencian, menurut Anggara dkk, juga bisa disalahgunakan. Alih-alih melindungi korban, proses mediasi bisa meloloskan kalangan tertentu yang kerap menyebar ujaran kebencian. Lazimnya proses mediasi hanya dilakukan pada perkara delik aduan, seperti penghinaan dan pencemaran nama. "Pernyataan kebencian termasuk delik biasa, bukan delik aduan," ujar Anggara.

Adapun pengacara senior Todung Mulya Lubis mengatakan surat edaran Kepala Polri semestinya tidak menimbulkan kekusutan dalam penegakan hukum. Apalagi, dari sisi isinya, surat edaran itu hanya mengutip ketentuan yang sudah ada dalam berbagai undang-undang. "Tanpa edaran tersebut, aturan soal hate speech sudah ada," ujar Todung. Yang harus dipastikan Kepala Polri, menurut Todung, jangan sampai edaran itu malah disalahgunakan aparat kepolisian di level bawah untuk membatasi kebebasan berekspresi.

Yuliawati, Larissa Huda


Hate Speech Versi Polisi

MENURUT surat edaran Kepala Kepolisian RI, ujaran kebencian yang dilarang meliputi:

  • Bentuk: Penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong.
  • Dampak: Tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial.
  • Basis: Perbedaan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, orientasi seksual.
  • Medium: Orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa (cetak ataupun elektronik), dan pamflet.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus